Seluruh tubuhnya sakit, dan darah keluar dari dalam mulut dan hidungnya. Melinda yakin sekali itu bukan mimpi, tapi kenapa setelah bangun dari pingsannya dia tak punya luka apa pun.
Dia hanya punya luka dikepalanya, yang diakui oleh ibundanya adalah perbuatan wanita yang menjadi panutannya itu.
Kejadian itu memang aneh, tapi apa iya karena hal itu. Melinda harus menjalani sebuah ritual yang bahkan dia tak dikasih tau.
"Kalau nanti kau mau mandi lagi. Akan ibu rebuskan air di kompor dulu, Mel!" kata Ibundanya.
Tapi Melinda sudah masuk kamar, dia merebahkan dirinya di kasur dan mulai mengotak-atik hpnya.
Untung meski sedikit dan lemot masih ada sinyal yang mau nyangkut di perangkat pintarnya.
DESA AIR KERUH
Dia menulis itu di kolom pencarian, Melinda tampak melebarkan manik matanya. Dia terkejut dan sekarang bulu kuduknya mulai berdiri.
Bagaimana tidak baru tadi pagi ada khasus pembunuhan di Desa ini. Gadis yang tak pernah membaca atau menonton acara berita itu, akhirnya melanjutkan bacaannya.
"Gila?!
"Desa sarang pembunuh!
"Dan gue di sini sekarang!" ucap Melinda setelah membaca semua berita itu.
"Melllll, keluar!
"Kita kerumah nenek!" Lastri sudah mulai memanggil Melinda.
Melinda yang sudah di ujung kemarahannya pun segera keluar. Dia menyerahkan ponselnya pada ibundanya.
"Bun, apa ini?
"Banyak bun cara untuk mati, tapi nggak harus--kan kita mati konyol di sini?!" bentak Melinda.
Lstri membaca artikel berita di ponsel Melinda sejenak. Dosen Hukum itu tampaknya tak mengira, jika anaknya itu berotak cukup cerdas.
"Mel, dengerin ibu dulu!" ujar Ratih.
Melinda segera duduk di kursi tamu, tepat di depan omnya Ardian.
"Mel, jadi gini. Kamu lihat tanda lahir di lengan kiri kamu?" tanya Ibunda Melinda.
"Kenapa?" tanya Melinda.
"Itu adalah sebuah kutukan!" kata Lstri.
Lastri memutuskan untuk memberi tahu saja Melinda apa adanya. Karena berbohong pada Melinda juga bukan--lah hal yang bisa dia lakukan. Sebagai seorang ibu, dia juga tau kehendaknya tak bisa ia paksakan pada diri anaknya.
"Kenapa aku dikutuk, pasti ada alasannya--kan?" ujar Melinda.
Gadis muda belia ini ingin tau penyebab dia dikutuk. Karena gadis cantik itu yakin, jika ada sebab dan akibat di setiap kejadian.
"Dahulu almarhum Mas Yanuar ayahmu. Sempat menggagalkan ritual penumbalan di Desa ini, Melinda!" kata Adrian.
"Lalu apa aku harus bertanggung jawab?!" tanya Melinda.
"Karena itu kau sebagai anaknya. Akhirnya terkena kutukan!" penjelasan adik ayahnya itu sama sekali tak membuat Melinda puas.
Dia merasa ada yang masih mereka sembumyikan darinya. Melinda masih saja tak percaya dengan apa yang di katakan oleh kedua angota keluarganya itu.
"Apa Bunda percaya?" tanya Melinda.
Wajah imut gadis itu sudah memerah, dia merasa keadaannya benar-benar tak bisa ditolong lagi.
"Bunda nggak mau percaya, tapi ini adalah kenyataan Melinda.
"Bunda maksa kamu untuk datang ke sini, hanya untuk mencabut kutukan itu!" kata Lastri.
Wanita berusia 42 tahun itu juga sedih, matanya berkaca-kaca. Lastri tak henti-hentinya memandang ke arah anaknya.
Wanita itu akhirnya berdiri dan jongkok di dekat kaki anaknya.
"Bunda mohon Mel, bunda enggak mau kehilangan kamu Nakkk!" mohon Bundanya.
Melinda tak tau harus berkata apa, ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan susah payah. Kenapa sampai bersimpuh seperti ini, gadis belia itu tau benar ibunya yang seorang Dosen di fakultas Hukum itu sangat menjunjung tinggi harga dirinya.
Tapi kenapa dengan mudahnya wanita yang amat disayangi oleh Melinda itu menjatuhkan martabatnya begini.
"Aku perlu waktu Bunda, aku harus berpikir!" kata Melinda.
Gadis belia itu merebut ponselnya dari tangan bundanya dan dia langsung pergi ke kamarnya.
Melinda bahkan tak bisa menitikan air mata saat ini, meski dia merasa dipermainkan oleh sesuatu. Gadis belia itu masih tak mau percaya dengan kata-kata kutukan dan ritual.
Dia akan mencoba mencari jawabannya sendiri.
.
.
.
.
Tubuh kurus membungkuk, rambut hitam panjang yang basah. Langkah kaki yang pelan dan terseok-seok. Kaki kurus kering yang kotor itu berjalan menyusuri kedalaman hutan.
Derapnya terdengar nyaring, karena dedaunan kering yang dipijaki kaki telanjang yang kotor itu.
Renta tapi masih punya tenaga, tanpa bantuan dan tanpa keyakinan. Hening suasana malam, bahkan jangkrik tak berani bersuara di dekat mahluk itu.
Pucat seakan tak punya darah, warna kulitnya membiru dan menghitam. Nyawa yang mungkin telah meninggalkan sosoknya dan iblis telah berkuasa atas raganya yang merana.
Tungkai kaki itu terhenti. Wajah yang tertunduk itu akhirnya mendongak, membelah rambut hitam panjangnya yang basah.
Cahaya merah memenuhi matanya, wajahnya yang pucat pasi tanpa rona dan mulutnya yang sudah membusuk itu tersenyum.
Di depannya sudah berdiri kokoh sebuah pondok. Bangunan dari kayu itu memang dibuat untuk bersemayamnya mahluk itu.
Mahluk yang dipercaya bisa melindungi Desa Air Keruh.
.
.
.
.
Malam itu Melinda sama sekali tak bisa tidur, tubuhnya hanya berguling ke sana dan kemari. Dia sama sekali tak bisa tenang.
Ketika mata Melinda akan terpejam, sayup-sayup dia mendengar namanya dibisikkan oleh sebuah suara.
"Melindaaaaaa!" suara itu menggema di seluruh ruangan kamarnya.
Seketika gadis itu pun terbangun dan duduk di atas kasur empuknya.
Manik matanya menyapu seluruh sudut di kamarnya, dia merasa suara itu sangat dekat tadi. Melinda yakin dia mendengar suara perempuan yang memanggilnya.
"Melinda keluarlah!" suara itu kembali menggema di telinga Melinda.
Gadis belia itu tampak mendelik takut, tapi ekspresi wajahnya yang ketakutan itu berlawanan dengan kata hatinya. Dia penasaran akan suara itu.
"Cepat keluar Melindaaaaa, jika aku ingin hidupppp!
"Keluarlahhhh!" suara itu makin jelas.
Suara itu seperti suara teriakan dari luar.
Melinda pun memberanikan dirinya untuk berdiri. Perlahan tapi pasti langkahnya mengantarkan jemari gadis belia itu untuk meraih gagang pintu kamarnya.
Beberapa kali Melinda memutar gagang kunci yang terpasang di hendel pintu kamarnya.
Gadis itu mengunci pintu kamarnya agar bundanya tak masuk dan menggangunya dengan masalah ritual dan kutukan.
"Cepat Melindaaaa!" Suara itu makin kentara.
Jegrekkkkk
Pintu kamar Melinda sudah dia buka, langkahnya masih pelan. Dia masih tak percaya jika orang memanggilnya di waktu yang sudah lewat tengah malam begini.
Siapa yang memanggilnya, siapa yang mengenal dia di sini. Semua pertanyaanya itu berputar di ronga kepala Melinda. Tapi rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.
Akhirnya Melinda sudah berada di dekat jendela ruangan paling depan di dalam rumah itu.
Sedikit dia singkap hordeng yang menutupi bingkaian kaca bening itu.
"Hahhhhhhhhhh!" Melinda terkejut.
Seakan tak percaya, Melinda dapat melihat sosok itu dengan jelas.
Gadis belia itu menutup mulutnya dengan ketat. Dia tak mau suara gaduhnya membuat mahluk itu menemuinya.
"Keluarlah, Nak! Ada yang ingin kukatakan!" suara wanita itu kembali didengar oleh Melinda.
Rasa takut di dada Melinda sedikit luntur, dia melepas dekapan telapak tangannya dari mulutnya dan kembali menyingkap hordeng di depannya.
Apa dia manusia, apa hantu, kenapa suaranya sangat mirip dengan manusia. Melinda terus bertanya di hatinya.
"Aku manusia!" suara itu kembali terdengar.
Manik mata Melinda pun bisa menangkap gerakan bibir mahluk di depannya.
Wanita kurus dengan pakaian ibu-ibu biasa, rok dan kemeja. Rambutnya rapi dikucir ke belakang.
"Siapa dia?" Melinda tentu saja tak mengenal sosok yang berdiri di luar rumahnya.
___________BERSAMBUNG_____________
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Deri Ap
Andian atau Adrian???
Udah muncul 2 monster lagi, hantu kah🤔🤔🤔
2021-11-25
0