"Ich Liebe Dich?" Zike bertanya seolah kepada dirinya sendiri. Alexi menganggukan kepalanya lirih sambil tersenyum.
"Zike, ijinkan aku menyayangimu, melindungimu!" seru Alexi.
Zike menatap Alexi dan berkata, "Baiklah, tak masalah. Itu terserah padamu."
"Siapa pun boleh menyayangi dan melindungiku, bukankah itu bagus?" tanya Zike. Dia tidak ingin terlalu berharap lebih.
"Zike, aku seriuus! Tak mengertikah apa maksudku?" Alexi mulai kesal lagi.
Zike menggelengkan kepalanya, meski harus diakui saat ini dadanya berdegup kencang dan merasa bahagia atas pernyataan pria yang duduk di hadapannya itu. Namun, Zike tetap saja merasa tidak sampai hati jika harus melukai perasaan Meilia sahabatnya.
"Ale ... maafkan aku!" bisiknya dalam hati sembari melirik ke arah Alexi. Pria muda itu bergerak perlahan untuk mendekati Zike yang masih duduk mematung.
"Zike ... mku mencintaimu." Alexi berucap lirih yang seketika membuat Zike terkejut sekali atas pernyataan jujur Alexi. Mata gadis itu membelalak lebar dengan bibir yang terbuka. Mereka bertatapan dan saling terdiam untuk beberapa lama.
"Maafkan aku, Zike!" Alexi seperti tersadar dan segers berbalik membelakangi gadis cantik yang masih merasa tak percaya pada pernyataan Alexi.
Alexi menundukan wajahnya yang memerah karena menahan malu dengan hati semakin tak karuan. Dia sendiri tidak tahu, apakah Zike akan membencinya atau akan menerima cintanya.
"Kau ... kau pasti membenciku sekarang!" ucap Alexi sembari menundukan wajahhya tanpa berani melihat ke arah Zike.
"Kau mungkin tak menyukaiku, aku bukan pria idamanmu, kau mung ...."
Perkataan Alexi terhenti saat sebuah pelukan tiba-tiba menyergap tubuhnya dari belakang. Zike berucap sambil memeluk pinggang ramping Alexi. "Kau salah Ale!"
"Salah?"
"Aku juga menyukaimu, sangat menyukaimu!" bisik Zike yang membenamkan wajahnya di punggung Alexi.
Alexi masih merasa sangat tak percaya, matanya terbelalak dengan bibir terbuka. "Zike, mimpikah ini?"
"Hei, Alexi kau sedang tidak tidur kan? Hei banguuun!" Alexi berseru sambil menepuk beberapa kali pipinya sendiri dengan konyol.
Zike menarik pelukannya seraya mencubit pinggang Alexi dengan cukup keras. "Bangun! Dasar pemimpi!"
"Aawww sakiiiit!!" pekik Alexi sambil memegangi pinggangnya yang terasa perih, panas dan nyeri. Alexi segera membalikkan badan. Sekarang keduanya berhadapan, saling bertatapan dan sama-sama tersenyum malu dengan rona wajah memerah.
"Zike, bisa kau ulangi lagi kata-katamu yang tadi?" tanya Alexi dengan mata berbinar penuh harap.
"Kata-kata yang mana?"
"Yang mana lagi? Yang tadi ituuuu. Pliiis katakan lagi!" pinta Alexi sambil memegang kedua lengan Zike.
"Ooohh." Zike menganggukan kepalanya dan berseru, "Bangun! Dasar pemimpi!"
"Bukan yang itu!" Alexi mulai kesal karena merasa Zike dengan sengaja mengerjainya.
"Terus, kata-kata yang mana?" bertanya Zike sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Yang kau bilang katanya kau menyukaiku."
"Itu, kamu sudah bilang sendiri. Kenapa aku harus mengulanginya lagi? Apa yang tadi masih belum cukup jelas?"
"Aku cuma ingin mendengarnya lebih banyak lagi darimuuu!" Alexi merasa gadis ini semakin membuatnya gemas. "Kalau perlu, kau katakan berulang kali."
"Okay! Dengar baik-baik yaaaa?" Zike berkata sambil berdiri. "Alexi, aku ...."
Mata gadis itu melirik arloji yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam sudah menunjukkan waktu untuknya bekerja. Alexi juga bangkit dan masih menunggu perkataan Zike yang sangat ingin didengarnya lagi.
"Ale, aku pamit!" ucap Zike secara tiba-tiba dan tentu saja itu bukan perkataan yang ingin didengar oleh Alexi.
"Apa! Pamit?" Alexi merasa sangat kecewa atas ucapan gadis ini.
"Ini sudah sore, Ale. Dan sebentar lagi aku harus bersiap untuk berangkat kerja," ujar Zike menjelaskan tentang keharusannya.
"Bilang saja, kau tak mau mengatakannya padaku sekali lagi!" Alexi bersungut-sungut dengan raut wajah yang terlihat sangat kecewa.
Zike tersenyum seraya mendekati Alexi yang berdiri menjulang di hadapannya. Gadis itu harus berjinjit untuk bisa menyampaikan bibir ranumnya di sisi telinga kanan Alexi, lalu dia berbisik dengan suara sangat lembut.
"Aku menyukaimu, Ale." Zike lalu mencium dengan lembut pipi pemuda yang seketika menjadi seperti membeku di tempatnya berdiri. Setelah mencium Alexi, Zike berlari keluar kamar itu dengan cepat dengan wajah memerah akibat merasa malu atas perbuatannya.
"Zike, tungguuuu!" teriak Alexi yang baru saja tersadar dari lamunannya. Dia lalu melihat ke arah pintu Namun, gadis itu telah hilang entah ke mana.
"Zi-Zike, Zike dia ... menciumku?" Alexi bertanya sembari memegangi pipi kanannya dengan rasa tidak percaya. Sentuhan bibir Zike masih sangat terasa begitu lembut dan hangat hingga membuat degup jantungnya bertaluan lebih cepat dari biasanya.
"Dia bilang menyukaiku dan juga menciumku! Dia, dia ternyata ...."
"Ternyata Zike juga mencintaiku seperti aku mencintainya!" Pemuda itu masih sangat tidak percaya. "Tā shì wǒ de!"
"Dia milikkuuuuuu!"
"Zike, tā shì wǒ deeeee!"
Alexi merasa sangat bahagia, hingga tanpa sadar pemuda itu melompat ke atas tempat tidur dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang baru mendapatkan beberapa permen. Saking senangnya, Alexi melompat-lompat sampai terdengar suara kayu patah dan disusul tubuh Alexi yang terperosok masuk ke dalam lubang yang tercipta secara dadakan. Tempat tidur kayu itu, jeblos oleh ulahnya.
"Aaaaaww!" Alexi terpekik kesakitan saat kakinya terjepit di tengah lubang hasil karyanya itu.
"Aah, kenapa aku apes lagi hari ini?" Alexi bersungut-sungut sambil berusaha menarik kakinya dari potongan kayu-kayu yang menjepitnya.
"Sakit sekali!" Alexi meringis seraya memegagi kaki kirinya yang terasa sakit dan luar biasa nyeri.
"Sial! Pasti kualitas kayunya yang buruk sekali dan lagi, kasur busanya juga tipis begini!" Alexi menggerutu seraya menyingkap serpihan kasur busa tipis yang ikut rusak.
Alexi keluar dari lubang yang menjebaknya, ia berjalan terpincang-pincang menuju kursi kayu yang tak jauh dari tempat tidur rusak. Dia meyingsingkan celana jeans yang terkoyak akibat terkena patahan kayu. Sekarang kaki kirinya terlihat sedikit bengkak dan memar.
"Tidur di mana aku nanti malam?" tanya Alexi dalam hati. Alexi bahkan tak tahu cara memperbaikinya.
"Aahh! Panggil saja pelayan penginapan, lebih baik ganti rugi uang saja dan memperbarui ranjang itu." Alexi bergumam seraya meraih ponselnya, ia segera menghubungi pelayan penginapan untuk melaporkan kejadian itu.
"Semua gara-gara aku terlalu bahagia tadi," gumamnya dengan perasaan geli dan kesal yang bercampur aduk.
"Bahagia karena ... akhirnya aku memiliki cintanya." Alexi tersenyum kembali dan seperti sudah lupa pada nyeri di luka memarnya.
...Di tempat lain .......
Zike kembali ke rumah kontrakannya yang tak begitu jauh dari penginapan Cheng Feng. Sepanjang jalan gadis itu terus tersenyum-senyum, saat teringat jikalau ternyata Alexi menyukainya.
"Ternyata, perasaanku selama ini tak bertepuk sebelah tangan," gumam Zike sambil terus berjalan menuju rumah kontrakannya. Langkah Zike terhenti saat melihat seorang gadis cantik berpakaian seksi sudah menunggu kedatangannya. Dia pun tersenyum kepada gadis itu, akan tetapi gadis itu hanya menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian.
"Meilia, sudah lama di sini?" bertanya Zike dengan sikap ramah.
"Zike! Ngapain kamu di kamar Alexi begitu lama?" Meilia bertanya tanpa basa-basi sambil masih berdiri di depan pintu kontrakan. Kedua tangan gadis itu bersedekap dengan tubuh bersandar di dinding.
"Dari mana kamu tahu aku dari kamar Alexi?" Zike balik bertanya dengan perasaan heran.
"Jelas tau lah! Banyak yang liat kamu mapah Ale ke kamar." Meilia tampak sangat tidak suka atas apa yang diceritakan oleh orang-orang.
"Ooh yang itu. Tadi dia terjatuh di pelataran, jadi aku membantunya berjalan sampai ke kamarnya." Zike berkata dengan jujur.
"Membantunya, tapi mengapa kau lama sekali berada di dalam? Atau jangan-jangan, kalian melakukan sesuatu?" tanya Meilia penuh kecurigaan.
"Tidak! Percayalah Mei, tidak ada apa-apa antara aku dan Ale." Zike berusaha menutupi tentang peristiwa tadi.
"Bohong! Kau menyukainya juga kan?"
"Mei, maafkan aku!" Zike tertunduk dan merasa bersalah.
"Zike, ternyata kamu benar-benar mengkhianati aku! Bukankah kita sudah sepakat, kalau kita tidak akan menyukai dan berebut pria yang sama?" Meilia berteriak dengan sangat marah sambil mencengkeram kerah baju Zike.
"Tapi, Mei ... dia! Dia bilang menyukaiku." Zike tak ingin berbohong pada orang yang telah menolongnya ini.
"Lalu, kamu tidak menolaknya? Kamu menerimanya?" tanya Meilia dengan mata melotot lebar. "Kamu juga menyukainya!"
"Maafkan aku, Mei!"
"Hehh, Zikeee! Kurasa kamu sengaja mengabaikan semua peraturan di geng kita!" seru Meilia
"Mmh, aku ingat Mei." Zike tetap berusaha tenang.
"Oh ya, aku mau masuk dan berganti pakaian. Aku harus segera berangkat kerja," kata Zike lirih seraya meraih handle pintu, akan tetapi Meilia menghalanginya.
"Mei, apa maksudnya ini?"
"Maksudnya adalah ... mulai hari ini, kamu tidak usah bekerja di tempatku lagi. Kamu segera kemasi barang-barangmu dan cepat pergi dari sini!" seru Meilia dengan nada mengusir.
"Kau mengusirku, Mei?" tanya Zike.
"Ya! Karena kamu sudah melanggar aturan geng kita dan kamu juga sudah menyakiti hatiku!" teriak Meilia seraya melepaskan cekalannya pada kerah kemeja Zike. Meilia mendorong dengan keras tubuh Zike hingga gadis itu terhuyung-huyung ke belakang.
"Mei, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku ...."
"Aku sudah tahu semuanya, Zikeeee! Kamu diam-diam juga menyukai Alexi. Kamu terus bersamanya hingga tak ada kesempatan buatku untuk mendekatinya!" Meilia kini menangis. "Aku benci teman sepertimu! Zike, kau mengkhianati aku!!"
Zike merasa membeku di tempatnya berdiri. "Baiklah, Mei ... maafkan aku!"
"Sekarang terserah padamu. Kalau kamu ingin aku pergi, maka aku juga akan pergi." Zike berkata seraya membuka pintu dan bergegas masuk serta mulai mengambil kopernya.
Zike mulai membereskan barang-barangnya dengan hati sedih dan kecewa atas sikap Meilia yang tak mau memaafkannya. Tak terasa buliran air bening mulai mengembun disudut-sudut matanya. Setelah selesai membereskan benda apa saja yang bisa dibawanya, gadis cantik itu mengangkut semua barang-barangnya ke sebuah sepeda motor yang sudah dimodifikasi.
Sebelum melajukan motornya Zike berkata, "Mei, aku pergi. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menampungku hingga hari ini. Aku juga banyak berhutang budi padamu." Zike berucap lirih. "Maafkan aku, Meilia!"
"Pergilah! Dasar pengganggu!!" Meilia tak menoleh sedikit pun kepada Zike. "Ingat Zike! Kita sudah tidak ada hubungan apa pun lagi mulai hari ini!"
"Oh ya, ke marikan ponselmu!" bentak Meilia dan dengan kasar gadis itu merampas ponsel Zike yang memang berasal darinya.
"Mei, mau kau apakan ponselku?" Zike bertanya dengan perasaan khawatir.
Tanpa banyak bicara Meilia membanting ponsel milik Zike dan menginjak-injaknya hingga ponsel itu mengalami kerusakan parah. Itulah usaha Meilia untuk memutuskan hubungan antara Zike dan Alexi agar tidak bisa lagi saling berkomunikasi.
"Mei, teganya kamu!" Zike menatap Meilia dan ponselnya secara bergantian. Hati gadis itu merasa sangat sedih, karena Meilia sekarang sangat membencinya.
"Pergilah!" seru Meilia tanpa perasaan kasihan sama sekali.
Meilia memang sangat membenci Zike sejak dirinya sering mendapat laporan-laporan dari para mata-matanya yang dia suruh untuk mengawasi gerak-gerik Alexi. Ia tak menyangka, jika ternyata mereka menjadi semakin akrab setiap harinya. Hati Meilia sungguh merasa sakit karena Alexi kerap menolaknya. Namun, justru itulah yang membuatnya semakin bertekad untuk mendapatkan Alexi, bagaimanapun caranya.
"Baiklah Mei, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik!" Zike masih berpesan pada sahabatnya ini, sedangkan Meilia membuang wajahnya dengan sikap cuek. Zike kemudian melajukan motornya meninggalkan area penginapan Cheng Feng secara perlahan. Dia bahkan tak berniat sedikit pun untuk memberitahukan kepada Alexi tentang kepergiannya.
"Selamat tinggal, Ale! Jika kamu memang mencintaiku, kau pasti akan menemukanku." Zike berucap dalam hati.
"Haruskah aku pulang ke rumah?" tanyanya dalam hati sembari melajukan kendaraannya di atas jalanan beraspal. "Aku rindu mama, juga papa, tapi ...."
"Aahh, tidak! Mereka pasti akan memaksaku lagi!" Zike benar-benar tak ingin kembali ke rumah orang tuanya. Rupanya dia juga sama seperti Alexi yang juga tak mau pulang ke rumahnya karena suatu alasan.
Ke mana Zike akan pergi?
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Tang Lian
sejauh yg aku baca, novel ini beda dari yg lainnya,, semakin lama semakin menarik dan seperti ada plot yg disembunyikan penulisnya agar yg baca terus bertanya, penasaran dan ingin menggali lebih lanjut,, apalagi di prolog heroin nya ditinggalkan oleh mc villain .... hmm makin ingin tahu ada apa sebetulnya
2022-08-27
1
Tang Lian
maaf, anda tidak punya kualifikasi untuk mendapatkan Alexi 😎
2022-08-27
0
Tang Lian
elu tuh yg penggangu, lucknut!
2022-08-27
0