Cling!
Sebuah notifikasi dari Sms banking Isti masuk. Pemberitahuan, jika gaji Fikri telah cair hari ini. Wajah Isti semringah bukan main, bukan karena nominalnya, tapi karena memang Rani memerlukan banyak biaya untuk kuliahnya kali ini. Tapi, wajah semringah itu begitu cepat kembali menjadi lesu, tatkala Fikri mengirim Wa untuknya.
"Is, gaji sudah masuk?"
"Sudah." jawab Isti dengan singkat.
"Is, aku minta transferkan untuk Naya. Dia juga berhak atas gajiku, Is."
"Aku hanya akan memberikan hakmu sebagai pencari nafkah. Sedangkan yang lain, itu hak Rani dan Zalfa." balas Isti. Tapi sepertinya jawaban itu membuat Fikri geram, dan langsung menelponnya.
"Iya, kenapa?" tanya Isti lagi.
"Tolonglah Is, transferkan sebagian gajiku itu, itu hak Naya. Dia juga perlu uang untuk kebutuhan hidupnya. Bekerja pun, gajiannya masih bulan depan." bujuk Fikri padanya.
"Nanti akan ku kirim Tiga juta untukmu." balas Isti, dengan nada datar.
"Hey, kamu bergurau, Is? Gajiku Lima belas juta, kenapa kamu memberi Naya Tiga juta? Itu ngga adil, kamu egois jika mau menguasai uangku."
"Kau bilang aku tak adil? Aku egois? Wow, hebat sekali cara bicaramu sekarang, Mas? Adil bukan berarti membagi semuanya secara rata, Mas. Kebutuhan kami berbeda. Tiga juta, itu biasanya cukup untuk kehidupan sepasang suami istri tanpa anak."
"Is, tapi itu pas-pasan. Dia menikah untuk mencari bahagia, bukan ku deritakan seperti ini. Ayolah."
"Itu sudah adil, kau tahu? Sedangkan aku disini, harus membagi dengan yang lain. Kuliah Rani, berobat Ibu, sekolah Zalfa, dan semua kebutuhan lain. Lantas, apalagi? Kau akan bilang aku bisa mencukupi kebutuhanku sendiri, karena aku bekerja?"
"Lah, kenyataannya memang begitu Is. Kau punya pekerjaan dan gaji yang tinggi, apalagi?"
"Kalau kau berprinsip seperti itu, ceraikan aku. Sekalian saja aku tak punya suami, dan aku tak perlu mengurus Ibu dan adikmu. Biar dia saja yang mencoba menggantikan tugasku itu." tantang Isti pada Fikri.
Fikri pun hanya bisa diam, tak mampu melawan lagi. Entah kenapa, Isti begitu pandai memutar dan melempar balik kata-kata yang Ia lontarkan saat ini.
Jika Isti saja bisa menemani Fikri dari titik terrendah hingga saat ini, maka Naya juga harus merasakan apa yang Ia rasakan kala itu. Mengatur semua yang ada dengan baik meski mepet, dan serba pas-pasan. Dan bahkan harus merasakan bagaimana ketika harus bahu membahu bersama demi kehidupan yang layak.
"Jika kau ingin masuk, merusak dan berharap langsung bahagia dengan rebutanmu itu, kamu salah. Aku yang menemaninya memanjat, dan kau tak bisa seenaknya menunggu diatas dan mencoba menjatuhkanku." ucap Isti, yang sedang memainkan lagi Hpnya.
Ia kini membuka Mbanking, dan mentransfer Uang sebesar Dua juta lima ratus ribu pada Fikri, yang nantinya akan mereka bagi bersama untuk biaya mereka berdua.
" Sudah ku lebihkan. Bukankah itu adil? Aku bahkan mampu hidup dengan biaya Satu juta denganmu, kenapa dia tak boleh?" ucap Isti, pada kiriman bukti transfernya.
Ini jam makan siang, Fikri yang sedang di rumah Naya, langsung memberikan kartu ATMnya pada Naya untuk berbelanja keperluannya.
"Isti memberi Tiga juta setengah, untuk kita." ucap Fikri.
"Tiga juta setengah, berdua? Mas, mana cukup?" keluh Naya padanya.
"Setidaknya, dia telah menambahkan Lima ratus ribu tadi. Awalnya akan memberi Tiga juta saja."
Naya terlihat memijit pelipisnya dengan kuat. Bingung, kesal, dan ingi marah rasanya ketika Ia diberi uang pas-pasan seperti itu. Bukan ini yang di angankannya, ketika mau dipinang oleh Fikri, Sang mandor degan gaji yang besar. Karena yang Ia tahu, pasti gaji Fikri diatas UMR di kota itu saat ini.
"Gaji totalmu berapa?" tanya Naya dengan lirih.
"Lima belas juta, dipotong biaya asuransi."
"Harusnya aku dapat setidaknya Tujuh juta, Mas. Itu baru adil, bukan segini. Dikira aku anak kecil? Ketika aku masih kamu sembunyikan, kamu bahkan bisa memberiku lebih dari ini. Tapi sekarang, ketika dia sudah tahu hatimu terbagi, kenapa jadi begini?" omel Naya pada Fikri, yang tampak tak berpendirian.
"Terima saja, Nay. Mas janji, setelah ini akan rajin lembur agar dapat bonus. Dan nanti bonusnya buatmu."
"Lalu, kamu akan jarang menemuiku? Ya janganlah Mas. Kamu tahu, aku ngga bisa terlalu lama jauh dari kamu." rengek Naya, membuat Fikri semakin menjadi serba salah dengan posisisnya.
Isti sudah sulit di bujuk dengan segala kekuatan di hatinya. Sedangkan Naya, begitu sulit untuk mengerti keadaan saat ini. Meski awalnya, Naya begitu sadar akan posisi, tapi sepertinya sudah begitu banyak tuntutan yang Ia utarakn pada suaminya.
Fikri sudah membicarakan dengan gamblang, apa saja yang menjadi tanggung jawab Isti dengan uang gajinya itu. Tapi, ada saja alasan untuk Naya berkilah.
"Jika memang dia begitu sayang Ibu dan adikmu, maka biaya mereka harusnya di tanggung bersama sebagai suami istri. Itu namanya keluarga." ucapnya dengan lantang.
Fikri hanya bisa kembali diam, di sanggah pun tak mungkin, karena hanya akan menambah keributan nantinya. Naya dengan tuntutannya, dan Isti dengan keras kepalanya. Itu semua, membuat kepala Fikri ingin pecah, dan berteriak sekuat tenaga melepaskan semua yang mengganjal dihatinya itu.
"AKU HANYA INGIN BAHAGIA!" pekiknya dalam riuh suara mesin pabrik sawit, tempatnya bekerja itu.
*~*
Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa, sudah waktunya bagi Isti pulang dari dinasnya. Tapi, Ia belum ingi pulang jika belum bertemu dan mengetahui kabar terbaru dari Laras. Isti pun menunggu hingga beberapa saat, sampai anak itu kembali dan bertemu dengannya.
"Ibu, belum pulang?" tanya Laras, yang melihat Isti melamun di ruang kerjanya.
"Belum, Ibu nunggu kamu. Gimana, hasilnya?" tanya Isti pada Laras.
"Biar, Bapak aja yang bilang. Laras ngga ngerti." jawab Laras, yang kemudian pergi, meninggalkan Isti dan dokter Firman mengobrok berdua.
"Dok, gimana?"
"Biayanya besar, Mba Is. Donatur itu hanya mampu memberi sebagian, bahkan tak sampai setengahnya. Kita harus cari lagi, agar bisa mencukupi dan segera ditangani. Laras sudah mulai mengeluh sakit kepala."
"Apa? Sudah bereaksi? Berapa beliau bisa memberi dari keseluruhan totalnya?"
"Hanya memberi Lima puluh juta, dari Seratus lima puluh juta." jawab Firman, yang menunjukkan sebuah cek pada Isti.
"Tak apa, setidaknya sudah ada sedikit, dan tinggal mencari sisanya." jawab Isti, yang kemudian memberikan Cek itu pada Firman.
"Dokter saja yang menyimpan, itu akan lebih aman. Saya takut, nanti ada apa-apa di tangan saya." ucap Isti, lalu Firman menerimanya sembari mengulas senyum ramah pada Isti.
Firman diam-diam mengagumi sosok Isti, sosok wanita tanggung yang begitu perduli dengan pasiennya. Jarang, ada perawat yang bisa dengan sabar mau ikut menjaga pasien yang dari awal sudah terlantar, dan bahkan mau menjadi salah satu wali untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Yuanita Ratyaning Siwi
Sinting 🤬🤬
2023-01-07
0
Wakhidah Dani
kan emang nyari yg ngga mandiri , manja jadi merasa d butuhkan. bukan begitu pak Fikri?
2022-07-12
0
Arin
si Naya itu iblis,mau duitny bnyk dan si setan juga pnginya slalu di sisi dia....wah hebat si iblis ini
2022-07-09
0