Hingga makan malam tiba, Fikri tak kunjung pulang ke rumah Isti. Entah takut, atau memang masih ingin bersenang-senang dengan istri mudanya itu. Entahlah, Isti tak ambil pusing dan tak perduli rasanya. Hanya saja, kasihan Ibu mertua dan anaknya yang mulai gelisah. Ibu ynag serba tak enak hati dengan Isti, dan anak yang masih begitu rindu dengan ayahnya.
"Ayah mana sih? Kok belum pulang?" tanya Zalfa pada Isti.
"Mungkin lagi sibuk kerja, sayang. Tungguin aja, ya." bujuk Isti pada anaknya itu dengan begitu manis.
Bu Laksmi hanya menatapnya haru, karena begitu bisa Isti menyembunyikan fakta buruk itu di hadapan sang anak.
"Ia memikirkan hati Naya yang sakit, Ia menghibur Naya yang sedang gundah disana. Sedangkan Zalfa? Apa dia menghiraukannya? Kenapa tak memikirkan anaknya untuk saat ini?" gumam Isti dalam hati, dengan memeluk anaknya yang mulai terlelap dalam pelukannya.
Dalam diamnya, suara Hp kembali membuyarkan lamunan Isti. Ia pun segera meraih Hpnya di nakas, dan membukanya.
Isti kembali menangis, dan hatinya kembali perih. Bukan karena Fikri kali ini, tapi karena balasab dari Mama Laras yang menyayat hati lewat pesan di Wa nya.
"Itu tanggung jawab Papamu. Mana dia? Kenapa tak mengurusmu hingga harus kembali menghubungiku. Aku disini sudah punya anak dan keluarga baru, jangan kau ganggu aku lagi"
Sebuah kata-kata yang kasar, jika memang diperuntukkan untuk seorang anak seperti Laras.
"Mama kenapa nangis?" tanya Zalfa
"Kok Zalfa belum tidur?"
"Zalfa masih nungguin Papa, pengen cium Papa. Mama kenapa?"
"Ini, ada seorang anak seumuran Zalfa yang sedang Mama rawat. Papa dan Mamanya pisah, dia ngga keurus karena udah punya keluarga baru. Mama sedih aja lihat dia."
"Zalfa juga takut, kalau Mama sama Papa pisah. Zalfa pasti harus milih, mau ikut siapa. Zalfa ngga mau, kalau nanti harus punya Mama tiri, atau Papa tiri. Temen Zalfa bilang, Mama tiri itu jahat."
"Huuust... Ngga boleh gitu. Zalfa ngga boleh ngomong macem-macem. Mama sama Papa ngga akan ninggalin Zalfa kok, Zalfa tenang aja." peluk dan cium Isti untuk Zalfa.
Setelah Zalfa tidur, Isti keluar untuk mengambil mium di dapur. Dan betapa terkejutnya dia ketika Fikri ternyata sudah pulang dan duduk di kursi ruang makan.
"Bukankah kau besok bekerja? Kenapa belum tidur?" tanya Isti, dengan nada datarnya.
"Kenapa kamu jadi seperti ini, Is?"
"Kenapa, tak ada yang berbeda kan? Apa yang kamu mau dariku? Aku menjambaknya? Mempermalukan dia di depan umum dan menganiaya dia sepuas hati? Tidak, aku bukan wanita seperti itu."
"Tapi caramy seperti ini juga bisa menyiksanya perlahan, Is. Kamu menyerang perasaannya."
"Lalu? Apa kamu tak menyerang perasaanku? Bahkan kamu menyerang perasaan semuanya, Ibu dan Rani yang bahkan trauma dengan sifatmu itu."
"Setidaknya kalian bersama, sedangkan dia sendiri."
"Dia tidak sendiri, dia kau lindungi. Sedangkan kami tidak. Ya, benar katanya jika dia berharga bagimu. Tapi aku tak perduli itu. Tidurlah, aku tak mau kau telat bekerja dan bahkan dipecat. Aku tak mau menambah beban hidupku dengan menyusui maduku."
Isti kembali ke kamar Zalfa, dan meninggalkan Fikri yang masih tetap ditempatnya.
Pikiran Fikri semakin runyam terhadap semua perubahan sikap Isti padanya. Isti yang lembut, penyayang dan pengertian, seolah musnah menjadi Isti yang penuh ego dan keras hati. Meski Fikri faham, jika Isti memang memiliki watak itu semua. Kini, Fikri saat ini bagai membangunkan singa tidur, yang kapan saja bisa menerkamnya dengan lahap.
Fikri akhirnya menyerah dengan semuanya, memilih masuk ke kamar, dan tidur sendirian di tempat tidur besar itu. Tak ada lagi Isti di sampingnya, yang selalu memeluk dan membangunkannya dengan lembut di pagi hari.
.
.
.
Seminggu telah berlalu dari semua kejadian itu. Seperti yang telah direncankaan, Isti terlihat biasa saja ketika anak mereka di rumah. Isti dan Fikri akan terlihat seperti biasa ketika orang lain melihat mereka. Tersenyum berdua, memperlihatkan kemesraan di depan umum, tapi melepas genggaman ketika keadaan sudah sunyi. Dan senyumpun digantikan dengan wajah kusut Isti lagi.
"Is... Kenapa jadi seperti ini?"
"Ini yang kau minta, dan ini yang terbaik untuk hubungan kita. Bukankah, kau tak ingin cerai? Lakukan apa yang aku minta."
"Oke, akan ku lakukan apapun yang kau mau. Asal jangan ke pengadilan negri untuk bercerai. Aku tak mau."
Isti pergi dari hadapan Fikri, dan pergi mempersiapkan sarapan mereka semua. Rani ikut membantunya, sedangkan Ibu Laksmi membantu menyiapkan Zalfa untuk ke sekolahnya.
Mereka kini sudah siap sarapan bersama, Fikri keluar dari kamarnya dan menyapa Zalfa dengan ramah. Rani dan yang lain ikut menyapa, meski rasanya begitu enggan.
"Papa, hari ini antar Zalfa ke sekolah, ya."
"Hmmm, Ayah mau buru-buru ke kantor, sayang. Gimana ya?"
"Sama Tante aja, ya?" bujuk Rani.
"Sejak ayah pulang, ayah belum pernah antar Zalfa ke sekolah. Bahkah, ayah juga jarang pulang ke rumah. Ayah tidurnya dimana? Kan udah ngga pergi jauh lagi?"
Celoteh gadis kecil itu spontan membuat semua orang dewasa yang ada didekatnya itu bingung untuk menjawab. Hanya diam, dan menundukkan kepalanya di hadapan Zalfa.
" Zalfa inget kan, waktu Mama masih dinas siang, sore, sama malam? Nah, kalau Malam, Papa tidur di kantor, kayak Mama yang tidur di Rumah sakit." jawab Isti pada gadis kecilnya itu, membuat yang lain bernafas lega.
"Memang berlian yang sempurna. Memang begitu sulit, untuk meyakinkan seekor lalat, jika ada yang lebih indah dari sampah."
"Rani...." tegur Fikri, yang merasa telah di sindir oleh adik kandungnya sendiri.
Rani hanya menggoyangkan kepalanya, dan melanjutkan sarapan tanpa memperdulikan Sang Kakak dengan tatapan kemarahan untuknya.
Fikri seolah tak ada harganya lagi untuk adik yang selalu menyanjungnya selama ini. Harapan dan cinta Rani pada sang Kakak, sepertinya sudah benar-benar hancur tak tersisa lagi hingga ke dasar hati yang paling dalam.
"Bagaimana jika Isti akhirnya nekat mengajak berpisah? Apa mungkin, Ibu dan Rani justru akan memilih tinggal bersama Isti, daripada aku?" gumam Fikri dalam hati.
"Yaudah, Ayah anter. Tapi ngga nyampe ya? Cuma sampai gerbang depan aja. Zalfa kan udah gede, jadi ngga harua di kawal sampai tempatnya." ucap Fikri, menyanggupi permintaan sang anak.
Zalfapun begitu gembira, dan semakin bersemangat untuk berangkat ke sekolahnya. Isti pun menyambut gembira senyuman Zalfa itu, senyuman dari gadis kecil yang begitu lugu, dan tak mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya.
Isti mempersiapkan Zalfa, dan merapikah pakaian Fikri agar semakin rapi. Setidaknya, itu yang dilihat Zalfa setiap pagi sejak dulu. Dan Isti tak ingin jika Zalfa mempertanyakannya lagi nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Nur Cahya
kata2 rani selalu benar..
kalo lalat ttp akan milih sampah yg kotor dari pada berlian yg berkilau..
2022-01-08
0
Sri Yani
hancur semua tanduk kepemimpinan mu sebagai laki" dimata ke 4 bidadari di istanamu
2021-12-30
1
⏤͟͟͞R ⸙ᵍᵏℰℒℒᎽhiatus✰͜͡w⃠
rela membuang berlian demi seonggok sampah menjijikkan
2021-12-07
1