Sepanjang acara, Fikri terus saja menatap Isti yang kini duduk terpisah dengannya. Isti bersama para rekan medisnya, sedangkan Fikri bergabung bersama yang lain yang seprofesi dengannya. Bukan hanya hari ini, tapi memang sejak dulu seperti itu, dan tak pernah berubah. Hanya perasaan Fikri saja yang sedikit sensitif untuk malam ini.
Isti bersama para rombongannya sedang berbincang dengan begitu akrab, terutama dengan Firman sang dokter baru. Isti secara pribadi meminta Firman agar mau membantu Laras untuk operasi pengangkatan gumpalan darah di otaknya saat ini, dengan Isti sebagai penanggung jawabnya.
"Saya mohon, kasihan dia. Orang tuanya, sudah tak mau urus dia lagi. Dia anak broken home." pinta Isti dengan begitu tulus.
"Kenapa tak hubungi yayasan saja, untuk membantu mengurusnya. Kenapa harus anda?" tanya Firman yang sebenarnya kagum dengan permintaan Isti itu.
"Saya mencoba mencari. Tapi, biayanya terlalu besar. Yayasan pun butuh donatur untuk melakukan itu semua. Saya siap, jika gaji saya dipotong. Jika saya menjadikannya anak asuh, dia akan masuk ke Faskes yang saya miliki, benarkan?"
"Saya akan cek anak itu dulu, seberapa parah dia, dan bagaimana cara penanganannya nanti. Jika memang benar-benar parah dan biayanya banyak, saya akan berusaha membantu sebisa saya." ucap Firman, yang sontak membuat Isti tersenyum gembira.
Tapi, senyuman itu di artikan lain oleh Fikri. Ia yang tersulut api cemburu, lalu menghampiri Isti dan mengajaknya pergi.
"Is, pulang." ajaknya dengan gaya sok cool didepan orang banyak.
"Mas, acara belum selesai. Sebentar lagi."
"Pulang aku bilang." kali ini Fikri berucap dengan anda keras, bahkan menarik dan menyeret lengan Isti untuk keluar dari acara itu.
Malu, dan kesal. Itulah yang Isti rasakan saat ini. Bahkan Ia tak sempat berpamitan dengan para rekan yang ada disana. Apalagi harus pulang dengan cara seperti itu.
"Ganjen kamu, Is. Suami ada di sana, tapi kamu ngegodain laki-laki lain yang lebih muda dari kamu. Kayak ngga ada harga dirinya."
"Ya, harga diri ku udah kamu ancurin, Mas. Apa bedanya aku sama kamu? Kamu pun cari yang lebih muda dari aku, yang ****, dan lebih cantik."
"Is... Laki-laki itu berhak memiliki lebih dari satu istri, itu namanya poligami. Sedangkan kamu itu wanita, ngga boleh berdekatan dengan pria lain. Bahkan meski sah bercerai pun, harus melewati masa iddah dulu."
Isti menatap tajam Fikri, dan mendekatinya perlahan hingga benar-benar berhadapan mata dengan mata.
" Tahu rumus islam rupanya. Bisa menasehatiku? Tapi kenapa tak memahami rumus islam tentang poligami, yang jika suami memang harus menikah lagi, itu harus dengan seizin istri sahnya."
Fikri diam, Ia tak mempuanyai jawaban lagi saat ini. Baginya, semua alasan telah Ia utarakan secara gamblang, mengenai alasannya menikahi Naya secara siri. Tapi, entah kenapa Isti tak juga mau memahami itu
" Capek aku jelasin sama kamu, Is. Semua yang aku katakan, selalu kamu balas. Kamu ngga pernah lagi dengerin apa kataku. Kembalilah kau kesana, dan bergabunglah dengan para sahabatmu. Aku akan ke rumah Naya."
"Kesanalah, tapi jangan bawa mobilku. Bersenang-senanglah, dan aku juga akan bersenang-senang dengan para sahabatku." jawab Isti, dengan tersenyum dan mengambil kunci mobil dari saku jas Fikri. Ia pun kembali masuk ke dalam, dan bergabung bersama sahabatnya yang lain.
Melihat Isti yang bersikap semakin acuh, membuat Fikri menjadi galau. Awalnya, Ia fikir dengan ancaman itu Isti mengalah dan mau ikut bersamanya. Tapi nyatanya salah. Alih-alih membuat Isti sadar akan kesalahannya, justru membuat Isti semakin menjadi-jadi.
Fikri yang awalnya mantap ingin pergi, kini menjadi galau. Ia terbayang-bayang ketika Isti menjadi tatapan para pria disana dengan semua kecantikannya. Apalagi, dokter muda itu menatap Isti dengan tatapan yang berbeda. Dokter muda yang tampan itu, menatap Isti seperti seorang yang sedang saling mengagumi satu sama lain.
"Brengsek! Semakin ku lupakan, semakin menjadi-jadi rasa cemburuku padanya."
Fikri pun meraih Hp, dan menelpon Naya yang sudah menunggunya di rumah.
"Nay... Maaf, Mas belum jadi nginep di sana. Mas masih ada urusan."
Singkat, padat dan jelas. Fikri langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Naya. Ia pun segera menyusul Isti, untuk kembali masuk ke dalam lingkungan pesta itu. Fikri dengan percaya dirinya, kembali masuk dan bergabung dengan yang lain. Duduk, dan mengobrol dengan santai, tapi tatapannya selalu tertuju pada Isti yang ada diseberang tempat duduknya. Masih berbincang dengan dokter muda nan gagah itu.
Tiba waktu berpamitan, semua orang saling bersalaman dan kembali mengucap selamat bergabung pada dokter Firman. Ulasan senyum yang kembali terpancar, berbanding terbalik dengan keadaan Fikri yang kusut dan bahkan tak mampu menggerakkan bibirnya. Hanya terdiam kaku menatap keceriaan Isti yang benar-benar tak takut lagi akan dirinya.
"Pulang...." ajak Fikri, yang lagi-lagi menyeret lengan Isti.
"Udah, ngga usah nyeret. Memang udah waktunya pulang, ya aku akan pulang." jawab Isti dengan santai, dan melepaskan tangan Fikri dari lengannya.
Mereka berjalan beriringan, tak semesra ketika baru datang dengan bergandengan tangan. Orang lain pun menatapnya wajar, karena perlakukan Fikri barusan, dan tak menganggap semua itu menjadi masalah.
"Wajar, mereka udah lama ngga ketemu. Sering jauhan kan ngga bikin cemburu, giliran deket gini malah banyak godaannya." ledek salah seorang dari mereka.
Kini, Fikri dan Isti telah berada di dalam mobil mereka lagi. Bersiap pulang, dan Fikri yang menyetir, sedangkan Isti duduk diam di sebelahnya. Sepanjang jalan tanpa sepatah katapun, karena rasa yang mereka miliki sekaran sepertinya sudah begitu berbeda. Terlebih lagi Isti, yang sudah begitu sakit dibuatnya.
Sementara itu. Rasa kecewa yang teramat sangat kini sedang menghinggapi hati Naya. Ia bahkan telah mempersiapkan dirinya dengan begitu baik malam ini untuk menyambut suaminya. Tapi semua gagal, dengan alasan yang tak Ia ketahui.
"Aaaarrrrgggh! Kenapa jadi begini? Kenapa jadi aku yang tersingkir!" amuknya dengan merusak tempat tidurnya yang telah tertata rapi itu.
Ia kini hanya bisa meratapi nasibnya. Marah, kesal, cemburu. Itu yang menghinggapi dirinya, begitu perih yang Ia rasakan, ketika Ia tak dapat menuntut apapun dari sang suami. Ia pun menangis meringkuk hingga lelah, hingga Ia tertidur di lantai yang berantakan Tanpa naik ke ranjangnya. Hingga pagi menjelang, dan sukar membuka mata karena bengkak akibat tangisannya semalam.
Terdengar bunyi pintu yang terbuka. Sudah jelas itu Fikri yang masuk ke dalam, dan menghampirinya sebelum berangkat bekerja.
"Untuk apa kesini sekarang, jika hanya singgah tanpa mau duduk dan bercengkrama denganku, barang sebentar saja." ujar Naya, dengan segara kegusarannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Arin
syukurin pelakor emng enak,itu blm sbrpa
2022-07-09
0
bunda syifa
klo alasannya kasian, kenapa gc semua gadis yatim piatu kau nikahi, janda" nya juga sekalian
2022-04-05
0
Inaqn Sofie
baru segitu Naya..kamu udh kecewa berat sm suamimu..gimn kalo km ada di posisi isti..
2022-01-31
0