Isti ikut pergi, setelah mereka pergi. Ia meninggalkan mertua dan adik iparnya di rumah, dan mempercayakan rumah tercintanya pada mereka. Meski sering di larang untuk melakukan tugas beres-beres, tapi mereka tetap melakukannya, karena ikhlas membantu Isti yang lelah bekerja.
Isti sudah ingin memperkerjakan seorang Asisten Rumah tangga, tapi Rani melarangnya.
"Mending Rani aja yang kerjain, kalau Mba Is ngga enak, Kasih uang lebih aja buat Rani. Rani perlu, soalnya, buat tambahan ngerjain skripsi. Kan, gaji Mas di kantor udah di bagi-bagi sama perempuan itu. Angap aja, sebagai tebusan rasa bersalah keluarga kami sama Mba Is juga." ucap Rani, ketika Isti melontarkan keinginannya itu.
Mereka semua memang saling menyayangi, bahkan semua orang tahu itu. Semua orang mengangumi hubungan persaudaraan mereka yang kental. Saat ini, begitu jarang ketika melihat seorang menantu akur dengan mertua, atau iparnya. Seperti dalam novel-novel tentang mertua dan Ipar jahat yang membuat emosi jiwa bagi setiap pembacanya.
.
.
.
"Zaza belajar yang baik ya sayang, biat pinter, dan naik. Kelas dengan nilai yang baik." ucap Fikri pada anaknya, ketika telah sampai di gerbang sekolah.
Zalfa hanya mengangguk dan mencium tangan Fikri sebelum Ia membuka pintu mobil dan keluar.
Dilihatnya Zalfa langsung menghampiri seorang sahabat. Yang tampaknya, mereka sudah begitu akrab antar satu sama lain. Fikri pun beryukur, karena Zalfa setidakya tidak kesepian selama di sekolahnya.
"Loh, itu bukannya mobil Pak Bardo?" gumam Fikri, ketika mengetahu sahabat Zalfa keluar dari sebuah mobil pajero berwarna hitam itu.
Ia sangat mengenal pemiliknya, yaitu Bosnya sendiri di pabrik sawit tempat Ia bekerja saat ini. Dan bahkan, seluruh perkebunan sawit yang pernah Di mandori olehnya, itu adalah miliknya sendiri.
Ingin sekali Fikri menyapa, tapi Ia takut telat ke kantor. Apalagi, harus mampir ketempat Naya sebentar. Setidaknya untuk menyapanya pagi ini. Wanita muda itu benar-benar telah menggetarkan hati dan gairah hidup Fikri, Hingga buta akan semuanya.
*~*
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam, Mas.... Mampir toh, kirain langsung ke ke kantor?" jawab Naya yang langsung menyambutnya dengan pelukan hangat.
"Sebentar aja, cuma pengen lihat kamu. Sehat kan?"
"Sehat, Mas. Aku siapin sarapan, ya?"
"Ngga usah, Mas udah sarapan di rumah tadi. Tahu sendiri, Mas ngga kau Zalfa banyak tanya. Naya ngerti kan maksudnya."
"Iya, Mas. Ngerti, ngerti banget malahan. Tapi, nanti siang makan disini, ya. Naya kangen, Mas udah jarang banget kesini."
"Mas usahakan, ya. Soalnya, kalau di kantor itu ngga sesantai jadi mandor. Tapi kalau jadi mandor, pastinya akan jauh terus dan jarang pulang karena selalu di oper."
"Tapi enak jadi mandor, Mas. Meski kamu jauh, tapi Mba Isti ngga bisa mengekangmu seperti ini." batin Naya, galau.
"Mas berangkat lagi, ya. Udah hampir telat soalnya."
"Mas... Aku keterima kerja lagi, jadi SPG kometik." ucap Naya pada Fikri.
"Mas, kalau Naya ngga kerja, kebutuhan ngga tercukupi. Naya tahu, Mas berusaha menyisihkan, tapi Naya juga butuh banyak, Mas."
"Mas ngga suka kamu dandan **** lagi, Nay."
"Naya janji, ngga ****. Disana, Naya pakai setelan panjang kok meski ngga hijab." bujuk Naya pada Fikri.
"Baiklah, Naya boleh kerja. Tapi ingat, jaga diri selama disana. Mas belum bisa menjaga Naya sepenuhnya."
"Iya, Naya sadar diri, Mas." ucap Naya, mengakhiri percakapan.
Kini, Naya bagaikan seorang malaikat yang penuh kasih sayang bagi Fikri. Sedangkan, Isti bagai iblis yang bisa menghancurkan dirinya kapan saja Ia mau. Fikri pun tak habis fikir, kenapa Isti bisa sampai seperti itu pada dirinya. Padahal, wajar saja jika suami beristri lebih dari satu, bahkan banyak ulama yang menikah dengan Empat orang wanita.
Fikri pun melanjutkan perjalanannya ke kantor, karena sudah benar-benar telat di tambah kemacetan tadi.
Setelah tiba di kantornya, Fikri dengan cepat memarkirkan mobil, turun dan berlari kencang menuju ruangannya. Beberapa orang menatapnya dengan heran, karena perubahan sikap yang di perlihatkan Fikri belakangan ini.
Orang yang biasanya selalau tepat waktu, bekerja dengan baik, dan tak pernah melakukan kesalahan sama sekali itu, kini seolah berbalik dari sebelumnya. Pekerjaannta kacau, dan sering telat berangkat bekerja. Bahkan, beberapa pekerjaan pun Ia lakukan dengan kurang baik.
"Pak Fikri, anda ini bekerja di bagian pengecekan barang loh. Kalau kerjanya begini, sawit ngga diteliti dengan baik, produk kita yang akan turun kualitasnya." tegur seorang kepala bagian.
"Ma-maaf, Pak. Saya janji, ngga akan ngulangin lagi."
"Pak... Padahal kinerja Bapak selama ini baik, dan bahkan sempat ingin di promosikan menjadi seorang kepala cabang. Tapi kalau seperti ini, mending mundur aja deh."
"Mundur? Tidak. Tak boleh seperti ini, aku tidak boleh mundur, dna bahkan tidak boleh gagal diangkat menjadi kepala cabang. Bagaimanapun caranya, aku harus tetap mendapatkan posisi itu. Demi Naya dan kehidupan kami." gumam Fikri dalam hati.
Dalam hatinya berfikir, jika Satu istri dapat mendoakan hingga Ia sukses seperti sekarang. Maka harusnya dengan doa Dua orang istri, Ia akan lebih sukses lagi. Ia akan membahagikan keduanya dengan cara itu, meski Ia tahu akan sulit untuk membujuk Isti.
Fikri pun mulai bersemangat lagi karena pancingan dari obsesinya itu. Ia berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya dan seprofesional mungkin selama di kantor. Meski tubuh dan hatinya berlawanan keadaan. Resiko memiliki Dua istri.
*
*
*
"Ibu, tak adakah kabar dari Mama saya?" tanya Laras yang menghampiri, setelah mendapatkan pengobatan dari dokter spesialisnya.
"Be-belum, sayang. Nanti kalau ada, pasti Ibu kabarin Laras." jawab Isti, meski dengan berat hati ketika harus berbohong pada gadis kecil itu.
Isti tak tega, jika harus jujur tentang balasan itu padanya. Pasti rasanya sakit, dan begitu kecewa ketika dirinya harus dioper kesana kemari bagai bola yang sedang di mainkan. Apalagi, bola itu dalam keadaan rusak di bagian dalamnya. Tak seperti bagian luar yang terlihat mulus.
"Laras, mau jadi anak asuh Ibu?" tanya Isti..
"Ibu kan sudah punya anak. Laras ngga mau, bikin anak Ibu iri dan benci sama Laras karena merebut perhatian Ibu. Ngga usah ah." jawab Laras, dengan senyum polosnya.
Bukan tanpa alasan Isti ingin mengadopsinya sebagai anak asuh. Ia ingin menjadi penanggung jawab atas biaya Laras selama di Rumah sakit. Karena kecelakaan itu menyebabkan cidera kepala yang membuat darah menggumpal tepat di otaknya. Ia harus segera di operasi agar tak semakin parah, atau bahkan kehilangan nyawanya.
"Hidupku pahit, tapi setidaknya aku punya Zalfa, Ibu dan Rani. Tak sepertu Laras, yang belum tahu apa-apa tapi hidupnya begitu berat dan keras." gumam Isti, yang menatap Laras duduk di samping jendela nenatap langit yang begitu cerah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Caramel Latte
tapi kan kamu bukan ulama om fikri, jadi ulama dulu gih sana,
2022-07-05
0
iin
istri banyak emg boleh asal jujur & adil bambang! Nah lo pny istri baru diem2 bae... berarti sebenernya lo nyadar kalo apa yg lo lakuintu salah ye kan 😒
2022-05-02
0
L A
gila Lo 🤣🤣
2022-04-29
0