Fikri membuka bagasi mobilnya, dan mengambil pakaian kotor yang ada disana. Tak lupa, Ia mengecek barang lain yang sering Ia tinggalkan di dalam mobil, termasuk Hpnya yang semalaman telah Ia matikan itu.
Dipencetnya tombol On, dan dibukanya Wa dan pesan.
"Siapa tahu, Naya ada kirim pesan." ucapnya.
Namun, ketika Ia buka dan Ia teliti, ternyata semalaman Ia telah salah membawa ponsel masuk ke dalam rumah. Ponsel yang Ia pegang saat ini adalah ponsel untuk keluarga, dan rekan kerjanya. Sementara yang terbawa, adalah ponsel khusus Naya, Wanita simpanannya.
"Mati aku.... Salah ponsel!" ucapnya yang syok, sembari menepuk jidatnya dengan kasar.
Tanpa fikir panjang, Fikri langsung berlari kembali pada Isti. Ia takut jika sesuatu terjadi padanya saat ini, apalagi jika Naya ternyata menelponnya untuk menagih janji.
Braaakkkk! Fikri membuka pintu dengan kasar. Tatapannya langsung tertuju pada Isti yang masih duduk di depan Tvnya. Diam, dan tanpa suara sedikitpun meski Fikri baru saja membuka dengan keras pintu itu.
Perlahan, Ia menghampiri Isti dan mencoba bersikap biasa saja padanya.
"Is, ini baju kotornya." ucap Fikri, menahan rasa yang sebenarnya mengacak-acak hatinya.
Terdengar Isti meletakkan ponsel Fikri di mejanya dengan kasar.
"Mana, Hpmu yang satunya?" pinta Isti dengan wajah begitu tenang.
"Ma-mana ada? Hp Mas kan cuma Satu, dan itu yang kamu belikan buat hadiah pernikahan kita tahun lalu. Dari dulu, Mas ngga ada ganti Hp."
"Mana?" kali ini, Isti menadahkan tangan kirinya pada Fikri.
Fikri menghela nafas panjang, Ia pun duduk di sebelah Isti dan memegangi bahunya. "Is. Itu Hp Mas, dan hanya Satu. Ngga ada yang lain."
Mulai tersulut emosi, Isti lalu mencari sendiri ponsel dikantong Fikri Satu persatu. Dan ternyata, Ia telah menymebunyikan dengan di selipkan di sela celana dan ikat pinggangnya.
Braakkk! Isti kembali meletakkan Hp itu dengan kasar.
"Is... Ini tak seperti yang kamu fikirkan."
"Lalu apa? Hpmu tertukar, salah bawa, atau memang kamu gandakan?"
"Is... Dengarkan penjelasanku dulu."
"Bawa aku kesana."
"Ke-kemana?"
"Ke rumahnya, ke kostnya, atau ke apartemennya. Kita harus bicara bertiga."
Isti langsung beranjak dari sofa, dan pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Sedangkan Fikri, mengikutinya dari belakang dengan langkah gemetar.
"Ayo...." ajak Isti, ketika telah siap.
"Is, tak perlu seperti ini, Is. Kita bisa bicarakan baik-baik seperti biasa." bujuk Fikri.
"Seperti biasa kamu bilang? Hah! Seperi biasa itu jika permasalahan memang terjadi antara kita berdua, Mas. Sedangkan ini, ada dia disini dan dia bukan penenang kita seperti Zalfa. Bukan Mas."
"Ta-tapi...."
Isti merebut kunci mobil dari tangan Fikri, lalu melangkah dengan cepat menuju mobil dan duduk di kursi setir.
"Biar Mas yang nyetir, Is."
"Masuk!" sergah Isti, dengan wajah datarnya.
Fikri akhirnya mengalah, dan duduk di kursi sebelahnya dengan tetap diam selama perjalanan.
"Tinggal dimana dia?" tanya Isti.
"Di.... Di rumah Susun dekat pabrik. Dia bekerja sebagai sales, dan kami bertemu ketika Ia diminta mempromosikan produk baru dari perusahaan."
"Telepon dia, katakan, kau akan segera kesana." pinta Isti, dengaj menyerahkan Ponsel pada Fikri.
Fikri dengan tangan gemetar, mengetik nomor Naya dan menelponnya. Lalu melounsdpeaker karena Isti meminta untuk melakukannya.
"Hallo, Mas...." jawab Naya dengan begitu mesra dan manja.
"Aku... Akan kesana. Tunggulah." ucap Fikri, dan Isti hanya menghela nafas yang begitu panjang.
"Baiklah, kebetulan aku baru saja mandi. Sudah begitu siap untuk menyambutmu."
"He'em..." jawab Fikri dengan singkat, lalu mematikan teleponnya.
Isti kemudian meriah ponselnya sendiri, dan menelpon Sang anak.
"Hallo, Zalfa..." sapanya dengan begitu manis.
"Mama... Kapan kesini?" tanya Zalfa dengan begitu ceria.
"Sayang, nanti Mama kesana, ya. Mama lagi ada urusan sebentar. Baik-baik ya, sama nenek. Atau jalan sama tante Rani juga ngga papa."
"Iya, Ma. Zalfa mau ajak tante Rani aja buat jalan-jalan. Daah mama..." pamit Zalfa.
Seusai bicara, aura wajah Isti kembali ke awal lagi. Kembali diam, dengan raut wajah penuh kebencian. Namun tetap tenang.
Tiba di tempat yang telah Fikri tunjukkan. Isti mematikan mesin, dan meminta Fikri turun dari mobilnya terlebih dulu untuk menunjukkan tempat dimana gadis itu tinggal. Dan Isti mengikutinya dari belakang.
"Is...." panggil Fikri lirih.
Isti tak menjawab, hanya diam dan menatap kembali Fikri dengan tajam.
Fikri tak menjawab lagi, hanya terus berjalan hingga tiba dikamar rumah milik Naya. Dengan perlahan, Fikri membuka pintu rumah itu dengan kunci cadangan yang Ia miliki.
"Wah, bagus. Sudah dibekali kunci cadangan rupanya." ledek Isti pada suaminya itu.
Fikri hanya diam, membuka pintu dan masuk terlebih dulu.
"Nay... Naya..." panggilnya pada Sang gadis.
Bruuugh...! Naya memeluknya dari belakang dengan begitu erat.
"Masss, akhirnya dateng juga. Aku udah nunggu daritadi." celotehnya dengan mesra.
Naya, yang kini hanya memakai handuk dalam bentuk kimono, dengan rambut basah yang juga diikat dengan handuk kecil, terkejut dengan lagkah kedua yang masuk ke dalam kamar kostnya itu.
"Ma-mas... Siapa dia?" tanya Naya.
"Nay, ganti baju dulu. Mas mau bicara sama kamu." bujuk Fikri, dan dibalas anggukan Naya.
Fikri mengajak Isti duduk lesehan di lantai, karena memang kamar yang tak begitu luas itu tak memiliki kursi dan perabotan lain. Hanya peralatan sederhana, yang mengisi di setiap ruangan. Itu yang Isti lihat saat ini.
Terdengar bunyi pintu kamar terbuka. Naya telah mengganti pakaiannya dengan sebuah daster, dan rambutnya yang basah di biarkan terurai panjang. Membuat suasana hati Isti semakin kacau. Apalagi, tanpa rasa bersalah, Naya duduk sengaja berdempet dengan Fikri meski Fikri menolaknya.
"Mas... Dia?" bisik Naya.
"Namamu Naya?" tanya Isti, dengan menjejerkan dua ponsel yang sama persis di hadapan mereka berdua.
"I-iya...." jawab Naya terdunduk, dan sesekali menggaruk tangannya. Tampak sebuah jam tangan, yang sama persis dengan yang Isti pakai.
"Sudah kenal berapa lama, dengan dia?"
"Sudah Dua tahun. Lebih..." jawab Naya. Fikri hanya tertunduk diam.
"Selama dua tahun, apa yang kamu dapat dari dia?"
"Jam tangan, sepatu, Hanphone, rumah susun ini pun Mas yang bayar."
"Sejauh apa hubungan kalian?" tanya Isti lagi.
"Mas... Sering menginap, dan mengajak liburan."
Dari jawaban itu, sudah dapat dibayangkan oleh Isti, sejauh mana hubungan mereka.
"Apa, dan bagaimana perasaanmu dengan dia?"
Sebuah pertanyaan yang paling mendebarkan dalam hati Isti, dna bahkan Fikri untuk saat ini..
"Kami... Saling mencintai." ucap Naya dengan lantang.
Deg.... Hati Isti berdesir dan begitu sakit mendengarnya. Ia hanya menatap Fikri, begitu juga Naya yang begitu mengharap jawaban yang sama dari Fikri untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Alexandra Juliana
Cara menghajar pelakor secara anggun dan berkelas, datangin langsung, ngajak berbicara dan mendengar pengakuannya langsung
2023-02-10
1
Alexandra Juliana
Sepandai²nya nyimpen bangkai lama² akan tercium baunya...
2023-02-10
0
Hanipah Fitri
baru baca hati mendidih panas banget
2023-01-18
0