Naya kembali terdiam, menahan semua perih di dadanya. Ia bisa menerima perkataan Ririn yang memang tak tahu semuanya. Tapi dengan Isti, rasanya menjadi Sepuluh kali lebih perih ketika Ia mengucapkan meski dengan nada datar dan tanpa menatapnya sama sekali.
"Mba, makasih ya. Saya puas dengan pelayanan kamu. Saya udah belanja beberapa produk sama temen saya, atas rekomendasi kamu. Dan ini, tips karena kamu sudah begitu ramah dengan kami." ucap Ririn, dengan memberikan selembar uang biru pada Naya.
Ririn lalu pergi dengan menggandeng Isti, pergi ke tempat belanja yang lain. Mereka tampak begitu bahagia, dengan segala yang mereka miliki, seperti tanpa pernah merasa kurang seperti Naya saat ini.
"Ku fikir, dengan menikah, hidupku akan terasa lebih ringan. Tapi, ternyata tidak." ujar Naya. Ia menggenggam erat uang tips tadi dengan begitu erat. Tersenyum kecut mengingat kembali akan nasib yang masih terkatung-katung.
*
*
*
Lelah seolah belum menghentikan langkah Dua wanita dewasa itu untuk menjelajahi Mall yang mereka hampiri. Tak terasa, hari sudah mulai sore, dan waktunya mereka pulang ke rumah masing-masing.
Isti sesuai janjinya mengantar Ririn pulang hingga ke depan pintu rumahnya. Ririn menawarkan untuk singgah, tapi Isti menolak dengan alasan Zalfa yang telah menunggunya di rumah. Apalagi, Rani masih ada jadwal konsul dan perbaikan proposal skripsi bersama para sahabatnya. Isti pun pamit, dan buru-buru pulang ke rumah.
"Assalamualaikum..." ucap Isti yang memasuki rumahnya, disambut Zalfa dengan pelukan hangat untuk sang Mama.
"Kok lama?" tanya Zalfa, yang sudah sejak tadi menunggu.
"Maaf, Mama tadi ke Mall sebentar buat beli bedak. Mama juga lihat mainan, terus belikan buat Zalfa."
Isti memgeluarkan sebuah mainan yang sedang trend saat ini, yang sering di sebut dengan pop it. Entah apa fungsinya, tapi Zalfa sudah sejak lama menginginkannya karena Aisyah sudah terlebih dulu memiliknya.
Zalfa tampak begitu bahagia, dan langsung duduk memainkannya dengan diam. Entah bagaimana caranya, karena Isti hanya melihat bulatan-bulatan saja disana.
"Is, udah pulang?" tanya Bu Laksmi, yang keluar dari kamarnya. Sepertinya baru saja shalat Ashar.
"Udah, Bu. Maaf telat, tadi ke mall dulu. Dan... Isti malah ketemu dia disana...." ucap Isti, sembari mencium tangan mertianya.
"Dia? Ngapain ketemu disana? Dia shoping, ngabisin duit suamimu?" tanya Bu Laksmi.
"Ibu kan tahu, gaji Mas Fikri aku yang pegang, jadi masih terkendali. Dia kerja, kembali jadi SPG." ujar Isti, yang sebenarnya kasihan pada wanita itu.
"Kasihan juga lihatnya." imbuh Isti.
"Ngga usah kasihan. Dia pantas menerimanya, anggap saja Ia sedang melewati masa sulit dalam berkeluarga. Sama sepertimu, ketika menemani Fikri dari Nol hingga sekarang. Enak saja, mau senang-senang tanpa berjuang. Gaji Fikri itu hakmu dan Zalfa, itu pun masih kamu bagi dengan Rani."
Ucap Ibu Laksmi benar, gaji Fikri memang sudah di bagi-bagi oleh Isti. Fikri sebagai penanggung jawab Sang adik dalam membiayai hidupnya, semua sudah terkontrol dengan baik oleh Isti. Tak pernah kurang sama sekali, dan selalu ada ketika Rani meminta kebutuhannya.
"Oh iya, besok Mas Fikri gajian." ingat Isti, ketika melirik kalender yang terpajang di atas kulkas. Wajahnya pun berseri-seri, Ia membayangkan ketika nanti Mas Fikri akan meminta haknya, atau bahkan berani meminta hak untuk Naya padanya.
"Ketika kamu jauh, masih masuk akal jika kamu meminta banyak dengan alasan ongkos hidup di perantauan. Dan kala itu, aku tak tahu sama sekali ketika aku kau bohongi mentah-mantah. Apakah, sekarang kau berani meminta dengan segala kejujuranmu?" lirik Isti, pada foto pernikahan mereka, yang sebenarnya begitu ingin Ia lepas dari dinding rumahnya.
"Mama... Papa mana, kok belum pulang?" tanya Zalfa yang kembali rindu.
"Papa lembur, sayang. Papa lagi banyak kerjaan, kan biasanya begitu kalau udah tanggal segini."
"Oh iya, Zalfa lupa. Berarti, besok kita jalan-jalan ya? Kan, Papa gajian."
"Aah, pinternya anak Mama. Faham banget kalau Papanya besok gajian. Yaudah, besok kita jalan-jalan sebentar." balas Isti pada permintaan anaknya itu.
Memang sejak dulu, jika Fikri gajian, mereka akan merayakannya dengan jalan-jalan bersama. Meski kadang hanya ke Mall dan ke wahana permainan yang tak terlalu jauh tempatnya. Meski Isti tak tahu, apakah Fikri bisa menemani sang anak atau tidaknya besok. Fikri kini memang dekat, tapi terasa jauh.
"Mending jauh sekalian, Mas. Jadi Zalfa ngga terlalu banyak berharap padamu. Kamu Yang kini dekat, namun sulit untuk di sentuh." gumam Isti dalam hati.
Sore pun berganti malam, Rani pulang seperti biasa dengan wajah yang lelah dan fikiran yang sedikit tertekan. Wajar, karena semester akhir dengan segudang tugas dan skripsinya. Ditambah lagi, dengan masalah Kakaknya. Meskipun, Isti memintanya tak memikirkan, tapi akan selaluh terfikirkan olehnya.
"Ran, mandi terus makan dulu sana, biar seger." tegur Isti, yang keluar dair kamar Zalfa.
"Zalfa udah tidur, Mba? Mas pulang?" Rani memberondong pertanyaan.
"Udah, dan masmu ngga pulang. Dia pulang ke sana. Ke...."
"Aish, sudahlah, tak usah diteruskan. Cukup kalimat pertama saja, Rani sudah faham." ujar Rani, dengan wajah kesal, ketika harus mendengar nama perempuan itu.
"Rani, ngga boleh gitu sama Mas. Dia Mas kandungmu, Walimu. Sebenci apapun kamu sama dia, Kamu akan tetap butuh dia. Terutama ketika menikah nanti."
"Mendengar kata pernikahanpun, rasanya Rani sudah trauma Mba. Kelakuan Mas bikin Rani ilfeel sama laki-laki. Bahkan yang deketin Rani pun, dengan terang-terangan Rani tolak."
"Heh, ngga boleh gitu, dosa. Masalah ini, adalah masalah Mas sama Mba, Rani ngga boleh terlalu ikutan."
Rani menghembuskan nafas panjang, Ia kembali menatap Isti, lalu menganggukkan kepalanya, tanpa kata IYA. Kemudian masuk ke kamar, menuruti semua perintah Kakak Iparnya itu.
...*~*...
" Mas, tadi aku ketemu Mba Isti di Mall." lapor Naya pada Fikri.
" Lalu? Dia ngga ngapa- ngapain kamu 'kan?" tanya Fikri dengan sedikit cemas.
Naya menggeleng, namun kemudian Ia menundukkan wajahnya sendu.
"Enak ya, Mba Isti. Mau belanja apapun dia mau, sebanyak apapun, tanpa mikir besok mau makah apa. Hari ini aja, Aku untungnya dikasih Tips sama sahabatnya. Jadi, bisa makan enak dikit." ujar Naya pada Fikri, dengan raut wajah sedihnya.
"Besok Mas gajian. Mas akan coba bilang ke Isti, agar memberi lebih sama Mas. Karena, biar bagaimanapun ada jatah kamu disana. Harusnya dia faham itu." bujuk Fikri pada istri mudanya itu.
Membuat Sang istri muda kembali tersenyum, dan berkhayal akan mendapatkan haknya sebagai istri dari suaminya. Harapan Naya adalah diperlakukan secara adil, dan sama rata antara Isti dan dirinya.
"Karena setidaknya, statusku adalah istri, meski istri sirinya. Kami sah menikah, dan tak hanya berzina. Harusnya dia menghargai itu." gumam Naya, yang bangga akan statusnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Alexandra Juliana
Gaji Masih pas²an sok sok'an punya istri 2..
2023-02-10
0
bunda syifa
menikah memang gc harus liat bebet bibit bobot nya, tapi harus cari tau dulu dia singel apa suami/istri orang
2022-04-05
0
Inaqn Sofie
bangga banget jadi istri siri aduhh otaknya di taruh dimana maraka beruda
2022-01-31
2