Pagi datang dengan cerah. Tapi wajah Isti tetap tampak terlihat mendung. Kantung matanya seakan memiliki kantung mata yang berlipat-lipat. Mata pandanya pun semakin terlihat jelas, disertai kekusaman wajahnya. Padahal, baru kemarin Ia melakukan perawatan di salon untuk menyambut sang suami. Tapi, sudah kembali rusak gara-gara tingkah suaminya itu.
Ia segera membangunkan Zalfa, menyiapkan sarapan mereka berdua, dan menyiapkan semua keperluan sekolahnya. Hingga mereka sama-sama siap untuk mengawali aktifitas pagi harinya masing-masing.
"Zalfa Mama antar sekolah seperti biasa, setelah itu Tante Rani jemput ya."
"Iya, Ma. Papa kemana?"
"Papa tungguin Nenek. Insyaallah, nanti sore nenek pulang, dan akan tinggal disini sementara waktu."
Raut wajah Zalfa terlihat sangat bahagia karena sang nenek akan tinggal bersamanya di rumah, dan akan semakin ramai karena Tantenya pasti juga akan ikut. Padahal, itu adalah rancana Isti agar dapat selalu sibuk, dan tak fokus dengan urusannya dengan sang suami.
"Aku akan fokus sembuhkan Ibu dulu. Setelah itu, baru aku akan urus semuanya." gumamnya dalam hati.
Kini, Isti beranjak dari kursinya, dan menuntun Zalfa ke mobil. Ia telah siap memulai harinya lagi, tanpa ingin menunjukkan rasa sakit itu pada sang suami dan orang lain.
"Bye sayang, belajar yang baik ya...." pesan Isti pada sang buah hati.
Zalfa hanya melambaikan tangannya, lalu membalik badan dan masuk ke dalam sekolah yang telah ramain itu.
Kini, Isti kembali mengendarai mobilnya menuju tempat kerja. Ia sebagai kepala ruangan, harus mengontrol kinerja para junior yang ada di dalam ruangannya itu. Apalagi, pagi adalah jadwal yang padat ketika harus mempersiapkan perlengkapan status pasien guna visite dokter yang akan memeriksa mereka masing-masing.
Semua dengan tanggap melakukannya, dengan saling bahu membahu atas arahan Isti. Ia termasuk senior yang disegani karena kedisplinan dan ketegasannya selama ini. Terlebih lagi, Ia orang yamg begitu profesional yang mampu memisah dengan baik antara masalah pribadi dan pekerjaan.
Satu persatu dokter datang untuk memeriksa pasiennya di ruang anak yang di pimpin Isti itu. Tak terlalu ramai, hanya ada Tiga orang pasien dalam keluhan yang berbeda-beda. Itu pun sudah bisa ditangani dengan baik.
"Mba Is..."
"Iya, dok, kenapa?"
"Itu tolong, pasien yang di ruang mawar sedikit dilakukan pendekatan. Fungsinya agar dia menjadi kooperatif ketika saya memberikan tindakan. Tadi nyaris saja memukul saya."
"Baik, dok. Saya akan melakukan pendekatan nanti." jawab Isti.
Pekerjaan selesai. Isti langsung melaksanakan perintah yang dokter suruh untuk seorang anak remaja yang jatuh dari motornya itu. Remaja wanita yang labil, yang masih suka terpengaruh dengan pergaulan bebas.
"Hay, sendirian?" tanya Isti dengan ramah.
"Ibu lihatnya gimana? Ngga ada siapapun disini."
Dia bernama Laras, dan usianya masih Sebelas tahun, serta sudah tak pernah sekolah sejak beberapa bulan lalu.
"Kenapa bisa jatuh dari motor, balapan?"
"Ya... Itu sangat menyenangkan. Jatuhpun, rasanya tak sakit. Kenapa juga harus dirawat?"
"Kenapa kau suka balapan? Itu berbahaya, dan bahkan bisa merenggut nyawa. Ini baru seberapa dan....."
"Ketika balapan dan menarik gas dengan begitu kencang, saya merasa sangat tenang, dan begitu lega. Saya sejenak melupakan semua masalah, sakit hati dan amarah saya. Terhadap kedua orang tua yang telah menelantarkan saya."
"Menelantarkan?"
"Ya... Mereka sibuk dengan keluarga barunya masing-masing, dan saya hidup sendirian. Apa yang membuat saya senang akan saya lakukan. Karena tak perlu persetujuan orang lain."
Deg... Ucapan itu seolah sedang menggambarkan keadaan dirinya saat ini. Ia yang saat ini begitu ingin bercerai, tiba-tiba membayangkan betapa hancurnya hati Zalfa dengan keadaan itu. Pasti hancur, dan bingung. Ia menjadi ragu untuk saat ini dengan keputusannya itu.
"Kenapa semua orang dewasa itu egois? Tak pernah mau perduli dengan perasaan anaknya? Merka hanya mencari nyaman, dan kebahagiaan mereka sendiri." remaja tomboy itu akhirnya menangis dalam dekapan Isti.
"Ya Allah, kenapa aku begitu sakit mendengar semua ucapan dari bibir gadis ini? Aku tak tega, bahkab hanya untuk membayangkannya, hatiku sakit." batinnya berkecamuk.
Setelah memberi beberapa nasehat dan Laras menerimanya dengan baik, Isti pun keluar dari ruangan itu. Dan duduk sejenak menunggu yang lain membuat laporan baru.
" Nasehat? Nasehat macam apa yang ku berikan barusan? Bisa-bisanta aku memberi nasehat, disaat hatiku sendiri sedang kacau." heran, pada dirinya sendiri.
"Terkadang, memang begitu mudah menasehati, tapi belum tentu bisa menerapkan pada kehidupannya sendiri."ucap salah seorang Juniornya.
"Ibu Karu ini kenapa? Sakit?" tanya rekannya itu.
"Hmmm? Ngga papa, Din. Saya cuma lelah, jagain mertua yang dirawat di VIP." jawab Isti dengan santai
"Oh, iya, lupa. Yasudah, kalau mau ke VIP, ya ngga papa. Biar saga disini, sama rekan lain. Pasien juga ngga ada kan.
Isti senang karena pengertian itu. Tapi Ia juga malas sebenarnya, karena harus bertemu dengan Fikri disana. Tapi, demi sang mertua yang begitu Ia sayangi, semua rasa benci Ia buang sementara. Ia harus merawat mertuanya, dan mengurus kepulangannya ke rumah.
"Assalamualaikum..." ucap Isti yang memasuki ruangan itu, dan langsung menghampiri Bu Laksmi tanpa menoleh ke Fikri.
"Bu, hari ini boleh pulang?" tanya Isti.
"Kata dokter sudah boleh. Biar aku urus administrasinya." jawab Fikri, kemudian keluar dari ruangan itu meninggalkan mereka berdua.
"Ibu pulang kerumah Isti, ya? Disana biar Isti yang rawat, supaa semakin cepat membaik."
"Kamu memang menantu terbaik Ibu, ngga akan pernah tergantikan oleh siapapun itu."
Isti hanya tersenyum kecut dengan ucapan itu. Ia sebanarnya mantap bercerai, dan benar-benar begitu siap menyandang status baru. Tapi, kedua orang itu telah membuatnya ragu seketika. Pergi sulit, namun bertahan sakit. Ia seperti membutuhkan ruang khusus agar Ia dapat sendirian dan berfikir dengan jernih saat ini.
Fikri kembali masuk, dengan beberapa lembar kertas kwitansi dari ruang administrasi. Ia pun membantu Isti membereskan semua barang-barang yang akan dibawa pulang kerumah mereka.
"Ibu akan pulang kerumah kita. Kau, jika sudah waktunya kembali ke perkebunan, maka kembalilah. Aku akan merawat Ibu bersama Rani." ucap Isti dengan wajah datar, tanpa menatap Fikri sama sekali.
"Aku tak ke perkebunan lagi. Aku di pabrik sekarang. Aku sudah meminta pindah tugas, agar aku bisa tetap disini bersama kalian. Istri dan anakku." jawab Fikri, yang jelas mengagetkan Isti karena tak pernah ada rundingan sama sekali.
"Bersama sselingkuhanmu juga, begitu? Dengan kau tinggal disini, kau akan bisa untuk sering bertemu dengannya, benarkah? Lebi baik kau pergi, aku tak ingin membuatmu semakin berdosa dengan Zina yang kau lakukan."
"Aku.... Sudah menikahinya secara siri." ucapan yang semakin membuat hati itu sakit. Padahal sudah dibuat setenang mungkin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Alia Sari
aq yg mengalami ini semua thor sakit😭😭😭
2022-06-30
0
TePe
kaplokin aja
2022-05-03
0
Mamaerizky Patola
fikri mau kopi sianida gk... sini tk kasih🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬🤬
2022-02-26
2