Isti kini telah kembali pada rutinitasnya untuk bekerja. Meski sebenarnya tanggung, karena Dua jam lagi pun Ia akan kembali pulang ke rumah karena jam dinasnya usai. Tapi, setidaknya Ia menyingkir sejenak dari huru hara yang sedang menyerang keluarganya itu.
Ia berusaha fokus dan kembali profesional meski memang sulit. Raut wajahnya tak biasa berbohong, ketika Ia sedang mengalami tekanan. Dan ketika para junior menegurnya, Ia akan kembali berkata jika tak ada apa-apa saat ini, Ia hanya kelelahan karena pekerjaan yang menumpuk.
Ponselnya berbunyi, Rani mengirimkan sebuah foto laporan, dimana Ia telah menjemput Zalfa dan mengajaknya membeli sebuah ice cream. Isti pun tersenyum, dan membalas pesan itu.
"Terimakasih, Ran. Terus seperti ini didepan Zalfa, seolah tak ada apa-apa diantara kita semua." pinta Isti pada sang adik ipar.
"Iya, Mba. Rani akan berusaha. Mba juga tetap tenang, ya. Pasti ada solusi dari masalah ini." balas Rani.
Setidaknya, dengan ini hati Isti sedikit lebih tenang. Ia pun bisa melanjutkan lagi pekerjaan yang telah tertunda.
"Ibu, bisakah saya minta tolong?" tanya Laras, yang berjalan sendirian dengan memegangi tiang infusnya menghampiri Isti.
"Ada apa? Pasti Ibu bantu jika bisa."
Laras memberi secarik kertas, berisi nomor Hp disana.
"Itu nomor mama, bisakah saya meminjam Hp ibu untuk menelponnya? Saya minta mama menjenguk, sekali saja."
Isti terenyuh, akhirnya memberikan Hpnya pada Laras untuk Ia gunakan seperlunya. Dan Laraspun membawa Hp itu keadalam ruangan yang Ia tempati.
"Mba ngga takut, nanti Hpnta di curi? Dia itu berandalan loh." ucap salah seorang rekan dinasnya.
"Kalau dia berani mencuri, dia akan bawa kabur sejak tadi." balas Isti, dengan terus memperhatikan gelagat Laras dari mejanya.
Terlihat semburat wajah kecewa dari Laras, membuat sebuah tanda tanya besar dalam hati Isti. Sepertinya gadis kecil itu tak berhasil menghubungi Sang Ibu, atau berhasil namun tak dihiraukan. Dan kemudian, Ia melihat Laras memotret dirinya sendiri, dengan wajah yang penuh luka.
"Mau apa dia?" gumam Isti.
Kemudian, Laras kembali menghampirinya dan mengembalikan Hp itu padanya.
"Bu, saya ngga berhasil nelpon Mama. Nyambung, tapi ngga diangkat."
"Lalu?"
"Saya tadi foto muka jelek saya, saya kirim ke Mama. Tolong, nanti kalau ada balasan kasih tahu saya, ya Bu. Setidaknya, Mama tahu kalau saya sakit." ucap Laras.
Hati Isti terenyuh, betapa pedihnya membayangkan menjadi Laras dengan kondisi keluarga seperti itu. Ia pun seketika kembali teringat Zalfa di rumah. Andai Ia nekat bercerai, bagaimana dengan Zalfa? Apalagi, sang ayah telah memiliki istri baru yang begitu muda dan masih labil.
"Astaghfirullah... Astaghfirullah." ucap Isti berkali-kali. Ia pun meletakkan kembali Hpnya di dalam tas kecil miliknya.
Pekerjaan Ia selesaikan dengan baik dan tanpa hambatan. Ia pun bersiap, dna menunggu perawat dinas siang datang untuk memgoper dinas mereka. Hingga mereka datang dan semua dilakukan dengan baik. Ia pun sempat berpesan kepada salah seorang rekan, agar membantunya mengawasi Laras.
"Anak itu, yang kecelakaan beberapa hari lalu 'kan, yang wajahnya rusak? Emang kenapa?" tanya salah seorang rekan.
"Dia, kemungkinan mengalami cidera kepala yang cukup berat. Tapi tak Ia rasakan, dan tak membuatnya sakit sementara ini. Tapi suatu hari nanti, Ia akan ambruk dan tak sadarkan diri secara tiba-tiba. Itu ucap dokter anak tadi pagi."
"Kenapa tak di rontgen, atau operasi?"
"Itu kan butuh persetujuan keluarga. Apalagi resikonya besar, tak bisa sembarangan." jawab Isti, tanpa menyebut masalah keluarga dari Laras sebenarnya.
Isti kemudian pamit, dan berjalan cepat menuju mobilnya. Ia tak langsung pulang, Ia lebih dulu mampir ke supermarket untuk belanja bulanan. Dan momentnya tepat, karena baru saja Ia menerima gajinya sebagai pegawai di Rumah Sakit.
Dengan mendorong sebuah troley sendirian, Ia pun melenggang dan memilih apa yang akan Ia beli, dari kepeluan dapur, hingga kamar mandi. Tak lupa membelikan semua keperluan Fikri, untuk di rumah. Meski sebenarnya enggan, tapi itu diperlukan untuk meluruskan sandiwara mereka saat ini.
Braaakkk! Sebuah trolley menabrak trolley miliknya dari depan. Ialah Naya, yang juga berjalan sendirian untuk berbelanja keperluan bulanannya. Tapi, yang dibeli tak sebanyak milik Isti.
"Cukup untuk sebulan?" tanya Isti padanya, dan Naya menggelengkan kepala.
"Kau tak membelikan perlengkapan untuk suamimu?" tanya Isti.
"Uangku, pas-pasan hanya bisa membeli ini. Mas Fikri belum memberikan uang lagi padaku?" jawab lirih Naya.
"Aku saja yang istri sah masih bekerja untuk memenuhi kehidupan kami. Kenapa kau hanya meminta?"
Naya seolah kena mental. Ia pun kembali tertunduk lesu, dan tak mampu lagi menatap Isti. Dan Isti pun melenggang pergi dari hadapan Naya tanpa sepatah katapun. Selesai berbelanja, Isti langsung ke kasir dan membayar semuanya. Bertepatan dihadapannya, Naya juga sedang membayar belanjaan miliknya.
"Mba, yang ini dipisahin." pinta Isti pada sang kasir.
Setelah semua beres, Naya dan Isti berjalan bersama keluar menuju mobil mereka masing-masing. Bukan mobil Naya, tapi Fikri yang menunggunya disana..
Bruuuggg! Isti menjatuhkan sebuah kantung belanjaan di depan Fikri.
"Bawa itu pulang kesana. Setidaknya disana kau terawat, seperti ketika aku merawatmu. Aku tak ingin orang curiga, dengan perubahan tampangmu nanti." ucap Isti.
"Apa ini Is?"
"Perlengkapanmu. Shampo, minyak wangi, minyak rambut, dan yang lainnya. Dia tak membelikannya tadi." jawab Isti, yang langsung melengos pergi dari hadapan mereka.
"Kaliaan belanja bersama?" tanya Fikri pada Naya.
"Iya, kebetulan barengan tadi."
"Maaf, dia jadi menghinamu." ujar Fikri pada Naya.
Merekapun melaju pulang ke kost Naya, dan istirahat sejenak disana. Tak banyak kata yang mereka obrolkan. Karena apapun yang terucap, pasti akan kembali le pokok permasalah yang mereka hadapi beberapa hari ini.
.
.
.
" Assalamualaikum..." ucap Isti yang tiba di rumahnya. Ia pun di sambut sang buah hati dengan pelukan cerianya.
"Mama..." panggil Zalfa.
"Hey sayang, sudah makan?"
"Sudah, disuapin nenek tadi. Zalfa juga udah ngerjain Pr, di bantuin tante Rani."
"Tantenya mana sekarang?" tanya Isti.
"Ke kampus, Is. Katanya dia mau kejar dosen dan minta Acc proposal skripsinya, dan dosen pembimbingnya itu ngajar sore." saut Ibu Laksmi, yang baru keluar dari dapur.
"Loh, Ibu ngapain, kok ke dapur?"
"Ibu bantu nyuci piring, tadi berantakan."
"Kan Ibu tahu, kalau Isti pulang jam segini, jadi lain kali tunggu Isti aja."
"Kamu capek, Is. Ibu tahu itu dan Ibu bisa melihatnya. Kamu butuh istirahat, dan butuh ketangan dari semua masalah ini."
"Ketenangaj Isti adalah, ketika Isti pulang dan disambut dengan senyuman ceria dari kalian semua. Setidaknya bisa mengobati rasa sakit yang Isti alami sekarang."
Ibu Laksmipun refleks memeluk Isti dengan begitu erat. Ingin menangis, tapi khawatir di lihat Zalfa dan akan mempertanyakan tangisnya itu. Ia pun hanya diam, menahan semua penyesalan dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Arin
rsnya sy pngin buang sambel seember di muka psngn LAKNAT itu😡
2022-07-09
0
Alia Sari
istri is thebes poko nya salut👍👍👍
2022-06-30
0
Nur Cahya
salut sama isti.. 👍👍😍
2022-01-08
0