Fikri masuk, dan langsung mencari keberadaan Naya. Betapa terkejutnya Ia, ketika mendapati Naya tidur dilantai dengan kondisi kamar berantakan. Nyaris saja, fikiran Fikri melayang kemana-mana.
"Kamu kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Fikri, yang menyambut tubuh Naya untuk berdiri.
"Ngga papa, ngga ada pengaruhnya juga kalau aku cerita. Mas pergilah, cuma mau mampir sebentar 'kan?"
Fikri mengajak Naya duduk sejenak, dan mengajaknya bicara dengan tatapan yang serius.
"Kamu kenapa?" ucapnya dengan begitu lembut. Dengan membelai rambut Naya yang tergerai indah dan panjang itu. Naya pun menyambut tangan Fikri yang ada di kepalanya, membawanya kedalam kecupan penuh harap akan hubungan mereka.
"Tangan ini, tangan yang ingin ku kecup setiap pagi. Wajah ini, wajah yang ingin aku lihat ketika aku membuka mata, bangung dari tidurku yang panjang. Tubuh ini, tubuh yang ingin aku peluk setiap malam, Mas."
Mata Fikri menatap Naya dengan nanar. Ia begitu kasihan dengan Naya, Ia tampak begitu berat menahan rindunya yang menggebu itu.
" Mas tahu, jika Naya rindu. Karena Mas pun rindu dengan Naya. Tapi, besabarlah sebentar saja. Mas akan berusaha, agar nanti malam disini."bujuk Fikri pada Naya.
Semburat bahagia di wajah Naya begitu tampak. Ia pun tersenyum dan mengusap air matanya yang membasahi pipi itu.
" Yasudah, Mas berangkat lah. Aku ngga mau mas kena tegur karena telat kekantor. Mas harus naik pangkat, Naya dukung dari belakang."
Fikri pun kembali berdiri, merapikan pakaiannya di bantu Naya. Sedangkan Naya sendiri langsung merapikan diri untuk menemui rekan yang telah menawarinya pekerjaan sebagai seorang SPG kosmetik di sebuah Mall besar.
Naya merubah tampilannya, mengenakan celana panjang, tanktop putih dan blezer hitam panjang agar penampilannya semakin rapi dan sopan. Tak seperti waktu dulu, ketika Ia masih suka berpakaian **** dalam menjajakan produknya.
Tak kalah semangat dengan Fikri, Naya pun melenggang keluar mencari angkot untuk sampai di tempat kerja. Naya tak memiliki kendaraan sendiri, bahkan hanya sekedar motor untuk di jadikan penyambung kaki. Tabungannya, telah Ia pakai untuk membelikan Hp Fikri saat itu. Hp yang mirip dengan yang di berikan Isti padanya, dan dipergunakan khusus untuk Naya. Tapi, siapa tahu jika Hp itu lah yang menjadi jalan terbongkarnya hubungan mereka.
"Hp itu, kini telah di hancurnya Mba Isti. Padahal jika dikembalikan, aku bisa memakainya untuk Dp motor baru." gumam Naya, yang kembali meratapi nasibnya.
Naya kini telah tiba di Mall, dan menemui beberapa rekannya disana. Berbekal pengalaman kerja sebagai SPG dari beberapa produk, di tambah dengan wajahnya yang mendukung dengan barang yang akan Ia pasarkan, Naya kini telah mendapat pekerjaaan baru untuk dirinya sendiri.
"Alhamdulilah..." ucapnya, yang sedang merias wajah dengan kosmetik dagangannya itu. Kini Ia bertambah cantik dengan polesan make up itu. Begitu sempurna, membuat semua lelaki yang memandangnya terkagum-kagum dan bahkan jatuh cinta.
Sayangnya, dari sekian pria lajang yang mendekatinya, kenapa harus Fikri yang Ia dapatkan. Seorang pria yang telah berkeluarga dan bahkan memiliki seorang anak.
*
*
*
Di sisi lain, Isti dengan sekian banyak kesibukan, masih bisa menyempatkan diri untuk mengurus anak asuhnya itu. Ia bersama dokter Firman sedang menganalisis penyakit yang di deritanya belakangan ini.
"Jadi bagaimana? Apakah dokter bisa melakukannya?" tanya Isti, ketika melihat hasil rontgen di kepala Laras.
"Reskonya besar, bisa menyebabkan banyak komplikasi. Apalagi di otak, bisa mempengaruhi pemikirannya."
"Saya tahu, tapi setidaknya dia masih hidup." ujar Isti, dengan tangis yang mulai menganak sungai.
"Mba Is, ini bukan operasi kecil, dan biayanya juga tak murah. Mba bisa mengatakan jika rela memotong gaji demi Laras. Tapi itu juga tak akan cukup."
"Lalu bagaimana? Haruskah saya mencari donasi ke berbagai tempat? Apakah tak apa?"
"Baiklah, jika memang seperti itu, saya punya kenalan yang memiliki sebuah yayasan. Saya akan membawa Mba Is kesana. Siapa tahu, akan ada relawan yang mau membantu biaya pengobatan Laras." balas Firman. Ia memberi solusi yang tepat, meski mungkin prosesnya akan lama.
Isti tersenyum lega, ketika Firman memberitahu akan solusi itu. Harapan cerah kembali terbuka untuk Laras dengan sejuta keinginan besarnya agar dapat hidup normal seperti sedia kala. Memang Ia tampak baik-baik saja, tapi penyakitnya bisa merobohkan tubuh kurus itu kapanpun waktunya.
"Tapi, ngga sekarang. Insyaallah besok, karena sekarang sedang banyak tugas." imbuh Firman.
"Ya, baiklah. Kapanpun saya siap, saya akan menunggu kesiapan anda juga." jawab Isti, dengan begitu antusias.
Isti dan Firman kembali ke pekejaan masing-masing. Firman dengan tugas sebagai dokter yang menangani bangsal mau pun poly, dan Isti menangani ruangan yang di pimpinnya saat ini. Karena ternyata, semalaman telah mendapat Tiga pasien anak yang masuk dengan penyakit yang berbeda. Isti harus mengontrol mereka dengan baik.
Isti menghampiri pasien dan keluarganya satu persatu. Memperkenalkan diri, dan meyakinkan agar tak perlu khawatir selama perawatan di ruang yang mereka tinggali saat ini. Hal itu diperlukan, untuk membuat para pasiennya merasa lebih nyaman selama perawatan, terutama pasien anak yang harus di jaga oleh orang tuanya.
"Terimakasih, Ibu. Saya sangat senang jika perawat yang ada di ruangan ini ramah-ramah. Saya jadi tak segan bertanya, dan meminta untuk sesuatu yang saya perlukan. Mood booster sekali, ketika kita sedang runyam menjaga anak rewel, tapi kita mendapat perawat yang ramah seperti anda." puji salah seorang Ibu dari pasiennya.
Isti hanya mengulas senyum, mengangguk ramah dan kembali ke ruangannya. Ia rehat sejenak, dan memainkan Hp untuk sekedar membuka grup Wa dari sekolah sang putri. Tampak wali kelas yang sengaja memotret Zalfa yang sedang bermain bersama Aisyah, sang sahabat dekat.
"Alhamdulillah, semoga selalu akur dan bahagia." balas Isti. Dan siapa sangka, balasan itu di sambung oleh Pak Bardo, ayah dari aisyah.
"Semoga akur selalu, anak-anak kesayangan. Sudah seperti saudara sendiri, bahkan Aisyah tak pernah punya sahabat seakrab itu."
"Isti hanya tersenyum, dan membalas dengan emoticon senada dengan senyumnya."
Clinng! Suara pesan Wa kembali datang. Yang dikira balasan, ternyata adalah pesan dari Fikri, suaminya.
"Aku, nanti malam menginap di rumah Naya. Hanya semalam. Aku juga harus bersikap adil dengan dia."
"Tak usah pulang sekalian. Aku tak mau, jika Zalfa banyak bertanya lagi tentang kepergianmu. Langsung saja mandi dan ganti baju disana. Bukankah pakaianmu, sudah kau pindahkan separuh." jawab Isti, tanpa basa basi.
"Is, aku suamimu." balas Fikri, yang menegaskan statusnya.
"Iya, aku tahu. Kau kan menolak untuk bercerai, jadi kau masih suamiku."
"Lembutlah sedikit, Is. Kenapa jadi seperti ini watakmu."
"Kau yang faham watakku, Mas. Karena watakku yang seperti ini, makanya kau mencari perempuan lain yang berlawanan dengan watakku."
Lagi-lagi, Isti membalikkan semua perkataan yang diberikan Fikri untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
TePe
perempuan mandiri itu beda, tak ada yg ditakutinya. Dia tdk akan menggantungkan hidupnya pd org lain, pun dgn suaminya
2022-05-03
0
iin
Gak usah lebay deh Nay, jangan playing victim disini. You're the outsider. Jd kalo km merasa jd nomor dua... ya memang karena lo nomor dua maemunah!
2022-05-02
0
bunda syifa
mending klo jellek jadi pelakor karena gc laku, ini cantik bahkan untuk cari Jaka yg kaya pun bisa atau se enggak nya duda gt
2022-04-05
0