Hampir Dua jam Isti menunggu dalam diam. Tanpa mau bicara, ataupun menegur Fikri yang selalu mengajaknya berbicara. Isti sudah malas, membuka mulut untuknya.
"Mba Isti." panggil seorang petugas UGD.
"Ya... Bagaimana dengan mertua saya?" tanya Isti yang menghampirinya.
"Beliau tak terlalu parah, hanya syok uang berlebihan. Biasa seperti itu untuk penderita jantung lemah. Tanpa dijelaskan panjang lebar, Ma pasti tahu 'kan?"
"Iya, Mba tahu. Sudah bisa pindah ruangan?" tanya Isti pada rekannya itu.
"Ya, sebentar lagi akan kami pindahkan. Tapi, meski tak parah betul, kami akan tetap melakukan kontrol istimewa setiap Satu jam."
"Baiklah, aku akan ikut menjaganya." jawab Isti yang begitu syok.
"Is.... Ibu syok seperti itu, lebih baik untuk beberapa saat jangan dulu membahas Naya, ataupun perceraian. Aku takut jika...."
"Takut? Kau baru takut sekarang jika ibu kenapa-kenapa? Dan kau masih bisa memintaku untuk mengerti?"
Isti tak melanjutkan bicaranya, hanya berkali-kali memukulkan handbag kecilnya pada Fikri. Fikri pun tak mampu melawan saat ini.
Sejak dulu, Fikri memang pendiam. Sebagai kepala Rumah tangga, tetap Isti yang mendominasi dengan semua ketegasan sikapnya. Untuk semua pekerjaan Fikri pun, Isti lah yang terus mendorong dan memberinya semangat untuk terus maju. Meski dulunya Fikri bergiu berat ketika harus menjalani hubungan jarak jauh.
"Mba, Mba Is. Gimana Ibu?" tanya Rani, adik ipar Isti yang datang menghampiri mereka dengan membawa Zalfa dalam gandengannya.
"Ibu, di dalam. Sebentar lagi akan dibawa ke ruang rawat inap." jawab Isti.
"Kenapa Ibu bisa kumat? Padahal sudah begitu lama, Ibu baik-baik saja, apalagi dalam perawatan Mba."
"Nanti... Mba akan cerita sesuatu pada kamu."
"Is...." tegur Fikri, mengisyaratkan agar tak menceritakan lagi tentang semuanya. Tapi Isti tak menghiraukannya..
"Papa...." peluk Zalfa pada Fikri dengan begitu erat. Gadis itu benar-benar rindu, dan seolah tak mau ditinggalkan lagi oleh sang ayah.
"Zaza rindu Papa?" tanya Fikri.
"Bangetlah. Jangan pergi lagi, Zalfa pengen Papa disini aja kerjanya, temenin Zalfa main."
"Iya sayang. Setelah ini, Papa akan sering main sama Zalfa."
Mendengar ucapan itu, Isti serasa ingin menyela ucapan Fikri. Tapi, melihat senyuman Zalfa yang begitu bahagia. Tak tega jika harus menghancurkan kembali senyuman itu. Ia yang benar-benar merindukan sang ayah saat ini, bahkan beberapa hari sempat demam dan mengingaukan ayahnya untuk segera pulang.
Akhirnya, Isti terpaksa harus mengeluarkan senyum palsunya untuk Zalfa. Berusaha seolah sedang tak terjadi apa-apa pada hubungannya dan Fikri.
Bunyi brankar terdengar berjalan. Isti segera menghampiri dan mengikuti mereka dari belakang. Ibu Laksmi di bawa ke ruang Vip, dengan perlakuan istimewa karena keluarga dari Isti yang merupakan perawat senior disana.
Tiba di ruangan, Ibu Laksmi pun di pindahkan ke tempat tidur yang lebih nyaman. Dan Isti dengan setia duduk disampingnya dan menunggunya siuman. Ditemani sang adik ipar yang juga duduk di sampingnya.
Isti sengaja meminta Fikri untuk pulang terlebih dulu, untuk menemani Zalfa bermain di rumah. Ia sedang menjaga hati, dan emosinya sendiri untuk saat ini.
"Is...." panggil Bu Laksmi dengan lirih.
"Bu, sudah bangun?" tanya Isti dengan begitu tenang.
"Fikri mana?"
"Di rumah, Isti minta menemani Zalfa main. Isti sedang tak ingin melihat wajahnya."
"Ibu minta maaf, Ibu telah gagal mendidik Fikri dengan baik. Ibu kira, dia bisa mencontoh sang ayah, yang begitu setia dengan keluarganya. Ibu menyesal, Ibu malu saka kamu." sesal Ibu Laksmi.
"Bu, sudahlah. Ibu baru sadar. Ibu jangan banyak bicara dulu. Sebaiknya istirahat, dan jangan bahas itu lagi." pinta Isti pada Sang mertua.
"Ma-maksudnya, apa Mba? Mas fikri kenapa? Mas fikri selingkuh, atau justru sudah menikah lagi? Jawab Mba." tanya Rani, dengan nada cukup keras.
"Belum menikah, hanya saja... Hubungan mereka sudah begitu jauh. Mba baru tahu, tadi pagi. Dan seharian ini, mba hanya mengurus itu saja, dan bahkan bertemu dengan wanita itu."
"Dia disini? Siapa dia, apa pekerjaannya? Tolong, bilang sama Rani mba."
"Sudah Ran. Biar saja dulu, untuk sekarang, lebih baik kita rawat Ibu hingga membaik. Jangan fikirkan dia lagi." mohon Isti dengan sangat. Meski Ia tahu, Rani pun begitu marah saat ini. Tapi, jika amarahnya dibiarkan tersulut semakin membasar, maka semua orang akan tahu tentang masalah ini. Ibunya akan semakin parah.
Dengan sangat, Isti meminta Rani agar tetap tenang. Dan berusaha seolah tak tahu. "Setidaknya, sampai Ibu pulih dan kembali pulang ke rumah."
"Baiklah... Tapi, Rani mau pamit kuliah dulu. Lagi banyak pengambilan nilai soalnya, jadi ngga bisa ditinggal."
"Yasudah, pergilah. Hati-hati, dan ingat.... Jangan terbawa emosi." pinta Isti padanya.
"Iya, Insyaallah." jawab Rani. Ia pun mencium tangan Isti, dan pergi untuk kuliahnya yang sudah tahap semester akhir itu.
Rania Rahmawati, gadis berusia Dua puluh tiga tahun. Bahkan lebih tua dari selingkuhan Fikri saat ini. Ia begitu menyayangi Isti, dan begitu menghormati Kakak kandungnya itu. Mereka yang telah mengurus Rani, dan membantu membiayai sekolah hingga kuliahnya setelah Sang ayah meninggal.
Tapi, kehormatan itu seketika hancur lebur. Ia seolah tak percaya, jika Sang kakak mampu berbuat seperti itu pada keluarganya. Ingin tak percaya, tapi Isti tak akan pernah berbohong padanya, apalagi tentang hal seperti ini. Kecewa, dan sakitnya begitu luar biasa.
"Ngga akan mungkin konsentrasi, mau kuliah juga." gumam Rani, diatas motor Beat hitamnya. Ia pun memutar dan mengubah haluan menuju ke rumah Isti dan Fikri. Ia pun masuk, tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu.
"Ran... Kok kesini? Ngga kuliah?" tanya Fikri, seolah tanpa dosa.
"Zalfa tidur?" tanya Rani, dengan nada datar.
"Ya... Seperti biasa. Kenapa?" tanya Fikri lagi.
Rani meminta Fikri duduk di kursi, yang tepat ada di hadapannya. Mereka saling bertatap muka, dan Rani menatapnya dengan begitu marah kali ini.
"Kamu kenapa?"
"Kenapa? Kenapa Mas bilang? Harusnya Rani yang nanya, Mas itu kenapa? Rani kecewa sama Mas."
Mendengar ucapan itu, Fikri sudah bisa menduga, bahwa Isti telah menceritakan semua. Fikri sedang merancang kata-kata, untuk mulai menjelaskannya pada Rani saat ini. Ia sebenarnya lelah, ketika harus berkali-kali menjelaskan sebuah permasalahan dengan tema yang sama seharian. Tapi, itulah resiko yang harus Ia hadapi ketika semuanya terbongkar.
"Maaf, Mas telah mengecewakan kalian. Tapi, Mas khilaf"
"Khilaf? Khilaf apa jika semua terjadi selama Dua tahun? Dua tahun loh Mas? Sepandai itu Mas menyembunyikan semuanya dengan rapi. Hebat..." puji Rani.
"Mas ngga tega, sama kehidupannya yang pas-pasan. Yatim piatu, bekerja dan menghidupi dirinta sendiri."
"Lantas... Mas mau bikin anak mas sendiri jadi anak yatim?"
"Ngga mungkin, Mba mu ngga akan mungkin tega membuat Zalfa seperti itu. Apalagi, sekaeang Ibu sakit. Ngga akan tega, melihat Ibu semakin parah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Wakhidah Dani
beneran egois tingkat dewa
2022-07-12
0
Caramel Latte
gemes sama sikapnya fikri, pengen ku uleg2 jadi sambel🤣
2022-07-05
0
Bunda Cinta
alur cerita nya koq mirip drakor ya
2022-03-16
0