Ballroom hotel yang akan ditempati untuk menggelar acara resepsi pernikahan Dirga dan Haira malam ini sudah terlihat ramai. Para tamu sudah mulai berdatangan.
Di salah satu kamar hotel itu, Haira masih didandani oleh seorang MUA. Sementara Dirga sedang berada di toilet untuk berganti pakaian.
"Kak Haira, sudah siap belum?" tanya Mirna setelah masuk ke kamar itu.
"Sedikit lagi, Mbak, tinggal memakaikan mahkotanya," sahut mbak MUA.
Mirna pun duduk menunggu di tempat tidur.
"Nah, sudah selesai," ucap wanita itu sembari memegang tangan Haira dan menuntunnya untuk berdiri.
Di saat bersamaan, Dirga sudah keluar dari toilet. Pandangannya yang tepat jatuh pada Haira membuat langkah kakinya terhenti.
Darah Dirga berdesir menyaksikan pemandangan indah yang terpampang di depannya. Batinnya bergumam memuji kecantikan Haira dengan gaun pengantin lengkap dengan mahkota di atas hijabnya.
"Mas, ayo gandeng tangan Mbak Haira. Kita segera ke ballroom, tamu-tamu sudah berdatangan," ucap Mirna pada Dirga yang seketika menyentakkannya.
Dirga hanya mengangguk lalu bergegas menghampiri Haira. Haira pun mengaitkan tangannya di lengan Dirga. Dengan dituntun oleh Mirna, mereka pun berjalan menuju ballroom.
Semua tamu berdiri menyambut kedatangan Haira dan Dirga di ruangan itu. Decakan kekaguman bergemuruh saat semua orang menyaksikan mempelai pengantin yang terlihat serasi itu. Sang mempelai pria rupawan dan yang wanita jelita.
Haira terlihat sangat bahagia sepanjang acara itu, tak berhenti tangannya melingkari lengan suaminya. Seolah tak menyadari, ada hati wanita lain yang sedang terluka nun jauh di sana.
***
Praba yang telah mengetahui bahwa malam ini Dirga akan menggelar resepsi pernikahan pun tampak gelisah di kamarnya. Dia dapat merasakan kepedihan yang dialami oleh Calya saat mengungkapkan hal itu padanya kemarin.
Otaknya terus berpikir bagaimana cara agar Calya bisa melalui malam ini tanpa menangis. Segera diraihnya telepon genggamnya, mencari kontak Calya dan mulai mengirim pesan padanya.
[Bu Dirga ... apakah sudah tidur?]
Terkirim. Sembari menunggu, Praba terus berdoa agar Calya membaca pesannya.
Calya yang memang masih terjaga dengan air mata yang menggenangi pelupuk matanya menyadari ada pesan masuk di gawainya.
[Pak Praba pasti tahu bila saya tidak akan bisa tidur malam ini.] Calya membalas pesan Praba.
[Apakah ... Bu Dirga sedang menangis?] balas Praba lagi.
[Air mata saya sudah kering.]
[Bisakah Bu Dirga keluar ke halaman?]
[Untuk apa?]
[Saya ingin menghibur.]
[Kenapa?]
[Supaya Bu Dirga tak bersedih lagi.]
[Bagaimana caranya?]
[Keluarlah dulu.]
[Oke.]
Praba bergegas turun dari kasurnya dan berlalu keluar ke halaman. Hal yang sama dilakukan oleh Calya.
"Lalu ...?" tanya Calya setelah bertemu Praba di halaman.
"Kita duduk di bangku itu dulu," sahut Praba sembari menunjuk ke arah bangku panjang yang ada di halaman rumah mereka.
Calya pun menurut dan kini mereka sudah duduk bersampingan namun tetap mengambil jarak.
"Bu Dirga, apakah pernah memandang bulan purnama?" tanya Dirga memulai percakapan.
"Ya," jawab Calya.
"Indah bukan?"
"Ya."
"Lihatlah bulan itu!" ucap Praba sambil menunjuk ke arah bulan yang sedang bercahaya penuh.
"Itu bulan purnama," sahut Calya seraya memandangi bulan itu.
"Di bulan itu ada seorang dewi yang sedang bersedih," ujar Praba.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Calya.
"Mendiang ibuku yang bilang," jawabnya.
"Sebuah dongeng?"
"Ya, dongeng masa kecil tapi selalu kukenang hingga kini."
"Mengapa?"
"Ibu bilang ... bila aku sedang bersedih, keluar rumahlah dan tatap bulan di langit. Di sana ada seorang dewi yang sedang mengawasi bumi. Bila manusia bahagia, sang dewi pun bahagia. Begitupun sebaliknya." Mata Praba berbinar saat berkata.
"Apakah Pak Praba teringat pada ibu?"
"Aku selalu mengingatnya setiap hari. Ibuku adalah wanita terhebat yang pernah kutemui. Dia adalah seorang pejuang. Makanya, aku ingin semua wanita seperti dirinya."
"Pejuang?" Calya menoleh ke arah Praba. Dilihatnya wajah pria itu begitu sendu dan penuh ketulusan.
"Ya, ibu selalu berjuang melawan rasa sedihnya. Sama seperti dirimu, ibu pun pernah mengalami kesedihan. Tapi baginya harapan tak boleh putus, semangat hidup harus terus terpancar."
"Menurut Pak Praba ... saya bisa melalui ini?"
"Pasti bisa. Akan ada muara dari setiap sungai. Akan ada akhir dari setiap kesedihan."
Praba membalas tatapan Calya. Calya merasa masuk ke dalam jiwa perlindungan yang diberikan Praba melaluo sinar mata yang saling bertaut itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Marcelea ࿐༵
Semangat thor 👀
2021-01-10
1
Mela Rosmela
mampir lagi.. aah baca ini harus banyak narik nafas dr hidung keluarkan pelan" dr mulut... nahan esmosi gaeyssss..
2020-07-26
1
Yulia Syam May Azzahra
lanjut
2020-04-06
1