Hamparan air laut beserta riak ombaknya nampak begitu indah pagi ini. Hembusan angin terasa menyegarkan, menghapus peluh siapapun yang sedang berada di taman yang hanya dibatasi tanggul dengan laut itu.
Beberapa pedagang gerobak dorong yang menjual makanan dan minuman sudah nampak berderet menjajakan dagangan mereka. Beberapa orang nampak hilir mudik di taman itu. Ada yang baru saja berolahraga pagi, atau ada yang sengaja datang untuk menikmati cemilan atau sarapan yang dijajakan di situ.
Calya duduk di sebuah kursi taman yang menghadap ke arah laut. Tatapannya jauh memandang setiap desiran ombak, mungkin sedang berharap agar riak ombak itu dapat menggulung kelunya dan membawanya pergi jauh.
Sejak subuh tadi Calya sudah bangun. Usai menunaikan shalat subuhnya, ia terus memandangi layar handphonenya, ia masih menanti kabar dari suaminya. Namun rasa bosan membuatnya menghempaskan gawai itu lalu ia berlalu keluar dari pintu rumahnya. Calya berjalan menyusuri tiap ruas jalan yang membawanya berada di taman itu kini.
"Nih sarapan dulu, jangan bengong saja. Masih pagi nih sudah ngelamun." Sebuah suara tiba-tiba muncul dari arah belakangnya. Calya menengokkan kepalanya ke samping, sebuah tangan yang membawa semangkuk bubur kacang hijau nampak di pandangannya. Tak lama sosok utuhnya muncul.
"Kamu?"
"Iya, aku! Nih makan bubur ini dulu. Kamu kan habis pingsan kemarin, pasti karena kurang gizi, bubur ini bagus untuk menambah darah." Praba meletakkan mangkuk bubur itu di tangan Calya yang sedang bertumpu di pahanya. Mau tak mau Calyapun menerima mangkuk itu.
Praba berlalu dan sesaat kembali dengan semangkuk bubur lagi. Ia lalu duduk di samping Calya.
""Ayo makan, mumpung masih panas, kok malah dilihatin saja sih?" Praba berkata sembari mulai menyendok dan menyantap bubur miliknya.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Ya, ampun! Ini kan tempat umum, siapapun boleh ke sini. Aneh..." Praba menjawab sambil terus menyantap buburnya.
Calya hanya mengernyitkan dahinya. Entah mengapa pria itu terasa seperti selalu membayangi keberadaannya. Tidak di rumah, tidak di jalan, pria ini selalu tiba-tiba hadir untuk memburamkan hayalannya.
"Ehhh, malah tambah bengong. Ayo dong di makan, kamu tuh butuh sarapan supaya cepat sembuh." Praba meraih sendok di mangkuk Calya lalu menyendok bubur itu dan menyuapkannya pada Calya.
Calya menatap Praba yang dibalas dengan anggukan dari Praba. Perlahan Calya pun membuka katup bibirnya dan membiarkan sendok berisi bubur itu masuk ke mulutnya.
"Nah gitu dong. Selanjutnya makan sendiri ya. Malu dilihatin orang." Praba kemudian lanjut menikmati bubur kacang hijaunya sendiri.
Praba terus makan sambil menikmati pemandangan di hadapannya. Sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Setidaknya dia telah memastikan Calya sarapan dan baik-baik saja.
Subuh tadi Praba berniat untuk olahraga di halaman rumahnya. Namun saat dilihatnya Calya keluar dan terus berjalan meninggalkan halaman rumahnya, Praba bergegas mengikutinya. Entahlah, hal ini semestinya tak perlu dilakukannya. Tapi ada sebuah perasaan peduli dan keinginan untuk selalu menjaga Calya yang membuatnya melakukan itu.
***
Dua buah motor ojek berhenti di depan rumah dinas itu. Calya dan Praba turun dari masing-masing motor. Praba kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan dua lembar lima ribuan yang diserahkan ke masing-masing pengemudi ojek itu, yang kemudian berlalu pergi. Praba tahu Calya tak membawa uang saat meninggalkan rumahnya tadi.
"Terima kasih ya." Calya berkata pada Praba.
"Oke."
"Hmm.. Aku masuk dulu." Calya pun membalikkan badannya menuju ke pintu rumahnya.
"Eh... Tunggu!"
Calya kembali menoleh pada Praba.
"Ada apa?"
"Kalau kamu butuh sesuatu bilang saja padaku, telepon di nomor yang semalam. Kamu jangan pergi sendiri lagi."
"Hmm..." Calya menganggukkan kepalanya lalu kembali berpaling ke arah pintu rumahnya.
Namun, sesaat sebelum membuka pintu rumahnya, Calya kembali berpaling pada Praba.
"Tunggu..."
Praba yang sedang berjalan menuju rumahnya pun berhenti dan berpaling pada Calya.
"Ada apa?"
"Hmm... Sejak kapan kita saling memanggil aku dan kamu?"
Praba terdiam sejenak. Ia pun bingung. Aku dan kamu? Seolah mereka sudah menjadi akrab. Sejenak kemudian ia kembali menatap Calya.
"Maaf, maafkan saya Bu Dirga."
"Oh..iya. Maaf juga Pak Praba."
Mereka berdua saling tersenyum, namun tak lama senyum itu menjadi tawa. Mereka tertawa bersamaan.
"Masuklah Bu Dirga, istirahatlah."
Calya menganggukkan kepalanya, lalu membuka pintu rumah dan masuk ke dalamnya lalu ia menuju ke dalam kamar tidurnya. Ditatapnya gawai yang berada di atas tempat tidurnya, lalu diraih dan dibukanya.
"Oh Tuhan, Dirga. Dia menelepon berkali-kali."
Segera Calya mengklik tombol panggilan. Ia menelepon Dirga.
"Halo. Sayang... Kamu dari mana? Kenapa tadi teleponku gak diangkat?" Terdengar suara Dirga mengangkat panggilan dari Calya.
"Ga...maaf, maafin aku Sayang... Tadi aku keluar untuk jalan pagi, aku lupa membawa handphone. Sejak semalam aku nungguin kabarmu. Jadi kamu pulang hari ini kan?"
"Maaf Sayang, aku baru bisa telepon kamu. Tadi pagi aku dan Haira sudah menikah."
"Hmm... Lalu? Dia sudah mau dioperasi kan? Berarti hari ini kamu pulang kan Ga?"
"Iya Cal, Haira sudah masuk ke ruang operasi. Tapi..."
"Tapi apa Ga?"
"Haira meminta aku menunggu sampai operasinya selesai. Aku adalah suaminya sekarang, jadi dia mau aku ada saat dia sadar kembali."
"Suami... Lalu, bagaimana dengan aku Ga? Aku juga butuh suamiku." Calya nampak tak mampu menahan sedihnya kini.
"Calya... Sayang... Please, kamu jangan nangis. Aku gak kuat kalo dengar kamu nangis lagi. Please... Aku akan segera kembali setelah operasi Haira selesai."
"Apakah aku harus membuatmu berjanji lagi?"
"Iya Sayang, aku janji. Aku mencintaimu Calya, sekarang dan sampai kapanpun."
"Aku mencintaimu juga Dirga. Please, kembalilah segera."
"Pasti Sayang."
***
Pintu ruang operasi itu akhirnya terbuka. Beberapa orang dokter dan perawat keluar dari dalamnya.
"Dok, bagaimana keadaan Haira?" Pak Broto segera berdiri dan menghampiri mereka.
"Operasinya berjalan lancar, sekarang tinggal menunggu pasien sadar. Kondisinya stabil." Seorang dokter yang nampak paling senior menjawab pertanyaan Pak Broto.
"Alhamdulillah, terima kasih Dok."
Tim dokter itu tersenyum lalu berlalu meninggalkan area ruang operasi itu. Tak lama kemudian nampak beberapa perawat keluar dari ruang operasi sembari mendorong sebuah ranjang. Nampak Haira terbaring di atasnya dengan beberapa selang yang masih tertancap di tubuhnya. Setibanya di ruangan inap, perawat-perawat itu kembali merapikan selang yang terhubung dengan tabung oksigen serta cairan infus. Pak Broto bersama isterinya serta Dirga dan Mirna sudah menunggu di depan kamar itu.
"Suster, kira-kira kapan Haira sadar?" Pak Broto bertanya pada rombongan perawat yang baru keluar dari kamar Haira.
"Sekitar dua sampai tiga jam lagi, Pak. Setelah Nona Haira sadar, tolong hubungi perawat supaya kami dapat mengecek kondisinya."
"Baik, Sus. Terima kasih."
Perawat-perawat itu pun berlalu. Pak Broto bersama isterinya dan Mirna bergegas masuk ke dalam kamar inap Haira, sementara Dirga tetap menunggu di depan kamar itu. Dihempaskannya tubuhnya ke sebuah kursi, lalu diremasnya rambutnya. Kepalanya terasa pening, ia masih tak habis pikir mengapa semua ini harus terjadi padanya.
Berawal dari sedikit rasa keingintahuannya tentang mantan kekasihnya itu, kini Dirga harus berjibaku dengan hatinya, dengan pikirannya, dengan kepelikan rumah tangganya. Tiga jam berlalu. Dirga masih duduk, memejamkan matanya sembari merebahkan kepalanya di atas sandaran kursi ketika Mirna menghampirinya.
"Mas... Mas Dirga, Kak Haira sudah sadar."
Dirga membuka matanya.
"Oh. Benarkah?"
Mirna mengangguk. Dirga segera berdiri dan berjalan memasuki ruang kamar inap Haira. Mirna mengikuti di belakangnya.
"Dirga..." Suara lirih Haira memanggil Dirga.
"Ya, Ra. Aku di sini." Dirga kini berdiri di samping ranjang Haira.
"Kamu jangan pergi, Ga."
"Aku masih di sini Ra."
"Dan jangan pernah pergi."
"Ma... Maksud kamu?"
"Jangan pernah tinggalin aku lagi, Ga."
Dirga berpaling pada Mirna. "Mir, sebaiknya beritahu perawat kalau Haira sudah sadar biar diperiksa. Sepertinya Haira masih dalam pengaruh obat bius."
"Sudah Mas, tadi Mirna sudah pencet tombol pemanggilan perawat. Mungkin mereka masih panggil dokter dulu baru ke sini."
Tak lama kemudian seorang dokter dan dua orang perawat masuk ke ruangan itu.
"Permisi Bapak Ibu, kami mau memeriksa kondisi pasien. Silahkan tunggu di luar dulu." Kata seorang perawat. Mereka semua pun keluar menuruti perintah tersebut.
Tak lama kemudian dokter dan dua perawat itu keluar.
"Bagaimana Dok?" Sergap Pak Broto.
"Pasien memang sudah sadar tapi belum benar-benar sadar. Sekarang biarkanlah dia istirahat dulu. Perawat akan memantaunya setiap jam. Dan Bapak Ibu semua juga butuh istirahat. Saya sarankan supaya Bapak Ibu beristirahat dulu di rumah, besok pagi bisa kembali lagi untuk menengok pasien. Insya Allah besok pagi kondisi pasien akan lebih baik."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Dokter dan kedua perawat itu pun berlalu.
"Nak, Dirga, ayo kita pulang ke rumah dulu istirahat. Kamu pasti lelah."
"Tidak, Om biar saya ke penginapan saja."
"Loh, kenapa harus ke Penginapan? Sekarang kan Nak Dirga menantu Om. Di sini Om punya rumah, untuk apa Nak Dirga tinggal di penginapan?"
"Ba.. Baiklah Om."
"Begitu dong Nak Dirga, sekarang tak boleh sungkan lagi. Mirna, kamu tetap di sini ya temani kakakmu. Kalau ada apa-apa segera hubungi Papa."
"Iya Pa."
Pak Broto bersama isterinya dan Dirga berlalu meninggalkan rumah sakit itu menuju ke kediaman Pak Broto.
Malam ini di rumah Pak Broto di Jakarta, Pak Broto, Bu Broto dan Dirga sedang berada di ruang makan. Bu Broto telah selesai membereskan piring dan gelas bekas makan malam tadi. Ia kini duduk di sebuah kursi yang posisinya berhadapan dengan Dirga. Pak Broto berada di antara keduanya.
"Nak Dirga..."
"Ya, Om."
"Om punya permintaan lagi kepada Dirga."
"Permintaan?" Dirga menghela nafasnya. Entah mengapa dia merasa muak dengan kata itu. Permintaan. Kini ia hanya diam menunggu hal apakah lagi yang akan diminta oleh Pak Broto dan keluarganya padanya.
"Iya, Nak. Nak Dirga tahu kan, Om sangat ingin membahagiakan Haira di saat ini. Kita tidak pernah tahu berapa lama Haira akan bertahan setelah operasi ini. Om ingin memberikan hadiah untuk Haira bila dia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit."
"Hadiah? Lalu apa hubungannya dengan saya, Om?'
"Hmm... Tunggu Nak Dirga, sepertinya masih ada yang ganjal. Hubungan kita sekarang kan mertua dan menantu, kenapa masih memakai panggilan om ya? Hahaha... Sekarang Nak Dirga harus membiasakan memanggil Papa. Oke?"
Dirga kembali menghela nafasnya. Apakah permintaan yang dimaksud Pak Broto tadi adalah supaya memanggilnya Papa? Ah sudahlah yang ada di benak Dirga saat ini adalah segera mengkahiri pembicaraan di meja makan ini. Dirga ingin segera masuk ke kamarnya dan menelepon Calya.
"Iya... Om, eh Pa."
Sambil tersenyum Pak Broto melanjutkan perkataannya. "Iya begitu dong. Baiklah sekarang Papa lanjutkan lagi. Hubungan antara hadiah untuk Haira denganmu tentu ada karena kamu akan menjadi bagian dari hadiah itu."
Dirga mengernyitkan dahinya. Ia semakin bingung dengan perkataan Pak Broto.
"Papa ingin mengadakan resepsi pernikahan untuk kalian. Dan setelah itu Papa akan memberikan paket perjalanan bulan madu. Haira pasti akan sangat bahagia."
Dirga tersentak mendengar perkataan Pak Broto. Bagai disambar petir, Dirga diam tak berkutik. Apa lagi ini? Hadiah untuk Haira? Kebahagiaan untuk Haira? Tapi, apakah mereka tak memikirkan bahwa Dirga bukanlah pria bujang saat menikahi puteri mereka? Apakah mereka lupa pada janji mereka di awal bahwa pernikahan itu hanya agar Haira bersedia dioperasi? Lalu mengapa setelah itu tak henti-hentinya mereka mengajukan permintaan? Lagi dan lagi!
"Tolonglah Nak Dirga. Mama minta tolong sekali lagi. Bantu kami memberikan kebahagiaan untuk Haira di sisa waktunya."
Kali ini Bu Broto yang berkata pada Dirga.
Dirga memalingkan pandangannya pada Bu Broto, ibu mertuanya kini. Kembali diingatnya kejadian hari itu saat wanita itu menemui Calya isterinya. Bukankah dia yang berjanji pada Calya? Rasa muak berkecamuk di benak Dirga. Bila ia menyetujui permintaan mereka kali ini, apa yang akan terjadi pada Calya? Dirga tak ingin menyakiti Calya lebih dalam lagi.
"Maaf, Pa, Ma. Saya tidak bisa." Dirga tertunduk lemas.
"Oh... Tidak. Hukk. Hukk.." Tubuh Bu Broto terguncang karena isak tangisannya kini.
"Ma, tenanglah dulu." Pak Broto membujuk isterinya untuk berhenti menangis.
"Nak Dirga tolong pikirkanlah kembali. Bantulah kami sekali lagi. Biarkanlah Haira berbahagia. Perjalanan hidupnya selama ini dipenuhi air mata. Setelah berpisah dari Nak Dirga, Haira pernah menikah, namun pernikahannya tak bertahan lama. Tak lama setelah itu dia sakit. Dia baru saja merasakan kebahagiaan setelah menikah dengan Nak Dirga, tapi bagaimanapun Haira memiliki pernikahan impian, tak hanya sekedar sah menjadi suami isteri. Ijinkanlah Haira menjadi seorang ratu dalam resepsi pernikahan yang diimpikannya. Menikah denganmu adalah impian terindahnya. Setelah itu bulan madu yang indah biarlah menjadi penyempurna kebahagiaannya. Papa yang akan mengatur semuanya. Nak Dirga hanya membantu kami mewujudkan kebahagiaan untuk Haira. Setelah itu, Papa janji tidak akan meminta apapun lagi dari Nak Dirga."
Dirga terdiam memikirkan kata-kata Pak Broto. Haira...semenderita itu hidupnya selama ini. Nurani Dirga berkecamuk. Rasa iba kembali menghampirinya. Tak ada salahnya memberikan kebahagiaan itu untuk Haira. Bagaimanapun Haira adalah isterinya kini.
"Baiklah Pa, tapi setelah semua itu aku akan kembali pada Calya. Setelah semua itu aku harus meninggalkan Haira. Ku harap Papa dan Mama dapat memegang janji. Setelah semua itu jangan minta apapun dariku lagi."
Pak Broto dan Bu Broto saling berpandangan. Seuntai senyum tersimpul dari bibir keduanya. Kesediaan Dirga kali ini menyempurnakan kebahagiaan mereka. Haira sudah menjalani operasi dan kini kebahagiaan impian akan dirasakan oleh puteri mereka.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Mela Rosmela
duuh s dirga bego.. terjebak dia sm keluarga pelakor yg terhormat... percuma paling pintar di kampus .. setelah permintaan mereka di penuhi, calya diambil praba ... yaaa bahagialah calya
2020-07-25
0
W⃠🦃𝖆𝖑𝖒𝖊𝖎𝖗𝖆 Rh's😎
muak dech sama orangtuanya haira
2020-05-20
1
Sasaaaa_~
Lanjut kakkk, penasaran sama kelanjutan ceritanya...
Ceritanya bagus banget, aku udah baca + boom like + coment. Tetep semangat ya nulisnya ^^
Jangan lupa baca juga cerita aku judulnya 'BUTTERFLY EFFECT' yaaa
2020-04-02
2