Pelan-pelan Calya mulai membuka matanya, diamatinya sekeliling ruangan tempat ia berbaring kini. Ruangan itu tidak besar, warna dindingnya putih, ada aroma khas yang tercium seperti bau benda-benda farmasi. Calya mencoba mengangkat kepalanya untuk duduk. Dipegangnya kepalanya yang masih terasa pusing, lalu dipejamkannya matanya mencoba untuk mengingat kembali apa yang barusan terjadi padanya, mengapa dirinya bisa berada di ruangan ini.
Kejadian yang dapat diingatnya adalah kedatangan Dirga bersama seseorang, lalu tangisannya, rasa marah dan kecewa yang ditahannya, permintaan Haira dan kepergian Dirga. Setelah itu Calya tak ingat apa-apa lagi selain bumi yang terasa berputar dan membuat penglihatannya gelap.
"Syukurlah, Bu Dirga sudah sadar."
"Bu Dito? Kok Bu Dito ada di sini? Tapi, ini dimana ya? Kok saya juga bisa ada di sini?"
"Saya tidak sendiri, ada Bu Hery dan Ibu Ketua juga." Bu Dito berkata sambil menunjuk dua orang wanita yang sedang berjalan memasuki ruangan itu.
"Bu Dirga sudah sadar? Alhamdulillah. Bagaimana perasaan Bu Dirga sekarang? Ibu ambilkan minum ya. Ini, Bu Dirga minumlah dulu." Ibu Bambang yang adalah isteri dari kepala di kantor Dirga memberikan air mineral yang ada di bufet kecil di samping tempat tidur.
Calya meraih air mineral itu dan meneguknya. "Terima kasih Bu. Tapi sebenarnya kenapa saya bisa berada di sini Ibu-ibu?"
"Tadi Bu Dirga pingsan di halaman rumah, kebetulan Pak Praba sedang ada di belakang Bu Dirga, katanya pas Pak Praba mau keluar rumah, terus lihat Bu Dirga mau jatuh, jadi langsung ditangkap. Kata Pak Praba wajah Bu Dirga pucat dan tubuh Bu Dirga dingin, jadi karena kuatir Pak Praba langsung membawa Bu Dirga ke puskesmas ini. Lalu Pak Praba menelepon ibu untuk datang ke sini, lalu ibu mengajak Bu Hery dan Bu Dito." Bu Bambang menjelaskan.
"Wah aku juga mau tuh pingsan terus ditangkap sama duda keren kayak Pak Praba. Apalagi tadi wajah Pak Praba itu panik sekali. Dokter dan perawat rumah sakit sampai mengira Pak Praba itu suaminya Bu Dirga. Uuhh...aku mau juga dong dikuatirin sama Pak Duren." Bu Hery berkata dengan gaya centilnya.
"Huss... Bu Hery ini, kalo ngomong suka ngawur." Bu Dito menimpali.
"Ahh...bilang saja kalo Bu Dito juga mau." Bu Hery menggoda Bu Dito.
"He..he.. Iya juga sih. Pingsan, ditangkap terus digendong sama duda keren. Berarti Bu Dirga beruntung dong? Aduh kayaknya aku mau pingsan juga deh, terus jangan lupa teleponin Pak Praba ya Bu Hery."
"Hussh... Bu Dito dan Bu Hery ini ada-ada saja. Kasihan kan Bu Dirga jadi tambah bingung. Tadi dokter sudah memeriksa Bu Dirga, tekanan darah Bu Dirga rendah, sepertinya Bu Dirga ini kelelahan dan kurang istirahat. Tapi dokter bilang Bu Dirga tidak perlu dirawat, hanya diresepkan beberapa vitamin untuk penambah darah dan suplemen makanan. Tapi bagaimana ya, Pak Praba bilang Pak Dirga sedang ke luar kota, berarti Bu Dirga sendiri di rumah. Apa perlu ada yang temani Bu Dirga?"
"Oh, tidak perlu Bu. Saya tidak apa-apa sendiri. Setelah sampai di rumah paling saya istirahat."
"Tapi kalau Bu Dirga butuh sesuatu bagaimana?"
"Saya bisa hubungi Mas Agus OB kantor untuk minta tolong dibelikan sesuatu. Saya biasa kok minta tolong ke Mas Agus, Bu."
"Aduh, kok minta tolong Mas Agus sih? Sekarang kan Pak Praba sudah tinggal di samping rumah Bu Dirga, ya tinggal minta tolong ke Pak Praba saja lah. Kapan lagi sih bisa dibantuin sama duren?" Bu Hery nyeletuk di sela-sela pembicaraan Bu Bambang dan Calya.
"Aduh... Sudah deh dari tadi ibu-ibu ini bahas duren terus. Kayaknya dari tadi Pak Praba gigitan lidah nih. Lebih baik sekarang kita antarkan Bu Dirga pulang."
Bu Bambang, Bu Dito dan Bu Hery tertawa bersamaan. Calya pun ikut tertawa. Setidaknya tingkah konyol teman-temannya itu telah menghiburnya, meskipun tak sepenuhnya perih yang ada di hatinya itu sirna. Lalu pikirannya tertuju pada Praba.
Benarkah Praba yang telah menolongnya? Pria yang menurut Calya menyebalkan itu hari ini telah menolongnya dan kuatir pada dirinya. Untung saja Praba telah pindah ke rumah samping itu. Bila tidak, entah apa yang akan terjadi pada Calya hari ini. Jatuh dan tak sadarkan diri di halaman rumah tanpa seorangpun berada di sana.
***
Malam ini Calya membaringkan tubuhnya di pembaringan dalam kamar tidurnya setelah meminum beberapa vitamin yang dibawanya dari puskesmas tadi. Sepeninggal Bu Bambang, Bu Dito dan Bu Hery yang mengantarkannya pulang, Calya sudah membersihkan wajahnya, mengganti pakaiannya serta memakan makanan dan buah yang dibawakan oleh ibu-ibu itu.
Kini dipandanginya langit-langit kamarnya, guratan dari cahaya lampu seolah melukiskan wajah seseorang yang selalu ada dalam ingatannya. Dirga, suaminya. Diambilnya gawai yang berada di sampingnya. Belum ada satupun pesan dari Dirga.
Namun ia sendiri takut untuk mulai menghubunginya. Apakah Dirga sudah tiba di Jakarta? Apakah malam ini mereka menikah? Apakah besok Dirga akan kembali kepada Calya? Sederet pertanyaan itu berputar di kepala Calya, hingga tanpa disadarinya air mata kini telah mengalir dari kedua matanya.
Trililiiii...triliilii...trililiii...
Bunyi suara panggilan gawainya mengagetkan Calya. Seketika ia bangun dan langsung menyeret tombol terima telepon tanpa melihat siapa yang meneleponnya.
"Halo... Sayang. Ga, kamu gimana?"
"Halo... Aku..." Terdengar suara seorang pria dari seberang telepon, tapi itu bukanlah suara Dirga.
"Kamu siapa?"
"Maaf, aku cuma mau pastikan apa kamu, eh Bu Dirga baik-baik saja? Apa Bu Dirga sudah makan atau mungkin ada yang dibutuhkan?"
"Kamu... Praba? Eh maksud saya Pak Praba?" Calya akhirnya mengenali suara peneleponnya.
"Iya, tadi waktu di puskesmas aku sempat meminta nomor telepon Bu Dirga pada Bu Bambang, karena saat itu aku harus pergi jadi tidak bisa ikut menunggui Bu Dirga. Tapi sebagai tetangga kan harus tetap memantau keadaan Bu Dirga. Kalau terjadi apa-apa bisa-bisa aku yang disalahkan."
"Oh, iya. Terima kasih ya."
"Hmm..."
"Iya terima kasih tadi sudah menolong saya dan membawa ke puskesmas. Terima kasih juga sudah mengkuatirkan saya."
"Kuatir? Hello...maksud kata kuatir ini bagaimana ya? Aku hanya membantu dan kali ini aku memantau karena tidak mau disalahkan kalau sampai terjadi apa-apa sama Bu Dirga karena sekarang kita bertetangga."
"Oh begitu ya? Ya sudah, mungkin saya yang salah mengartikan kata-kata ibu-ibu tadi."
"Kata-kata ibu-ibu? Maksudnya? Oh jadi kalian menggosipin aku ya? Dasar ibu-ibu ya, pasti gak jauh-jauh dari yang namanya gosipin orang."
"Aduh kok kamu eh anda eh Pak Praba yang terhormat ini jadi kegeeran ya."
"Geer? Gak perlu geer juga kenyataannya gitu kan? Sudahlah ngaku saja, kalian memang suka gosipin aku kan? Ahh susah emang jadi cowok keren kayak aku ini pasti jadi bahan pembicaraan ibu-ibu."
"Isshhh... Jijay aku tuh. Sudah ah aku mau istirahat. Bisa-bisa aku pingsan lagi kalo kelamaan ngobrol sama Anda!" Calya menutup teleponnya, membuang gawai itu ke sampingnya lalu ia kembali berbaring sambil nyeletuk menyumpah-nyumpahi Praba dengan kata-kata yang terlintas di pikirannya. Entah sumpah serapah apa yang diucapkannya untuk Praba...
Praba tersenyum setelah bunyi 'tut' tanda lawan bicaranya telah mengakhiri komunikasi itu. Sesungguhnya Praba sengaja membuat Calya kesal padanya supaya pikiran Calya teralih.
Sesungguhnya Praba tahu, malam ini Calya pasti akan bersedih dan pasti akan menangis bila mengingat Dirga dan kejadian yang dialaminya pagi tadi, karena sesungguhnya Praba mengetahui apa yang telah terjadi pada Calya dan Dirga, dan Praba tahu bahwa Dirga akan berpoligami.
Sungguh, Praba tak ingin melihat Calya bersedih. Mengapa? Karena guratan wajah dan perilaku Calya selalu mengingatkan Praba pada Mayla, mendiang isterinya.
Praba kembali mengingat kejadian hari itu ketika pertama kali dirinya bertemu dengan Calya melalui insiden di jalanan. Pada saat itu Praba sempat tertegun saat melihat Calya marah-marah padanya. Sungguh, wanita di hadapannya kala itu sangat mirip dengan Mayla, isteri tercintanya yang telah berpulang sejak setahun silam.
Namun wanita itu telah bersuami, itulah yang diketahuinya saat itu. Hingga akhirnya Praba mengetahui bahwa pria beruntung yang telah mengikat hatinya adalah Dirga, temannya sendiri.
Kejadian pagi tadi masih terngiang di benak Praba. Pertengkaran Dirga dan Calya yang terlihat olehnya. Tidak, bukan hanya sekedar pertengkaran antara suami dan isteri, tapi tentang apa yang mereka bahaslah yang kini menggelitik di pikiran Praba.
Dia tahu bagaimana perasaan Calya, betapa hancurnya hatinya, walaupun itu dilakukan untuk alasan kemanusiaan. Entah mengapa, Praba merasa marah atas kesedihan Calya. Ya, kesedihan Calya seperti membawanya kembali ke masa-masanya bersama Mayla. Masa saat Mayla berjuang melawan penyakitnya hingga akhirnya harus mengalah pada takdir maut. Saat itu Praba berusaha melakukan apapun yang bisa membuat Mayla bahagia serta apapun yang bisa membuatnya sembuh, karena Mayla adalah isterinya.
Namun kali ini ia menyaksikan bagaimana Dirga mengorbankan hati isterinya sendiri untuk kebahagian dan kesembuhan wanita lain. Apakah setelah pernikahan keduanya Dirga akan kembali pada Calya? Semudah itukah poligami ini akan berakhir tanpa ada sengketa hati? Bagaimana jika Calya yang akhirnya akan ditinggalkan oleh Dirga?
"Awww..." Praba memukul kepalanya sendiri mencoba mengembalikan kewarasannya. Untuk apa dia harus memikirkan permasalahan rumah tangga orang lain. "Tidak, aku harus berpura-pura tidak tahu. Tapi, oh tidak... Calya. Aku..."
Entah mengapa ada suara dari dalam batin Praba, sebuah suara atau mungkin sebuah perintah untuk melindungi Calya.
***
Aura kebahagiaan terpancar dari wajah wanita cantik yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit itu. Walaupun wajahnya pucat tanpa sentuhan kosmetik apapun, masih nampak terlihat jelas guratan pesona keindahan setiap organ yang ada di sana. Apalagi dengan kebahagiaan yang kini dirasakannya, pria yang dicintainya akan menikahinya kini.
Pagi ini akan menjadi pagi terindah sepanjang hidupnya. Kini dia merasa bahwa penyakit yang dideritanya seperti sebuah anugerah baginya. Bagaimana tidak, jika bukan karena penyakit ini ia takkan mungkin mengalami hari bahagia ini. Sungguh tak selamanya penyakit menjadi musibah ataupun cobaan, namun mungkin saja penyakit menjadi jalan untuk mencapai kebahagiaan. Makna itulah yang kini dipetiknya.
Penghulu yang akan mengikatkan janji suci pernikahan Dirga dan Haira telah datang. Ijab kabul akan segera dilangsungkan. Bu Broto dan Mirna memasangkan selendang di atas kepala Mirna dan Dirga. Saat itu Mirna masih duduk di tempat tidurnya lengkap dengan jarum infus di tangannya. Pakaian rumah sakitpun masih melekat di tubuhnya. Dirga memakai kemeja putih dan sebuah kopiah melekat di kepalanya. Dirga duduk di sebuah kursi di samping ranjang Haira.
Saat ini jantung Dirga berdegup kencang. Ingatannya tertuju pada Calya, sejak semalam ia belum menghubunginya. Bukan karena apa, tapi Dirga takut mendengar suara tangisan Calya, itu sangat menyakitkan untuk Dirga.
Diingatnya bahwa semalam ia menelpon orang tuanya yang ada di Surabaya. Dirga memberi tahu tentang rencana pernikahannya dengan Haira. Ibu Dirga nyaris pingsan saat itu. Namun penjelasan Dirga bahwa hal ini adalah dengan persetujuan Calya serta mengapa pernikahan ini harus terjadi membuat kedua orang tua Dirga akhirnya memaklumi. Mereka pun tak perlu bertanya banyak tentang Haira karena mereka pernah mengenalnya. Wanita cantik dari keluarga terpandang di Surabaya itu hampir jadi menantu mereka dulu. Namun takdir saat itu berkata lain. Dan hari ini karena takdir itu pula ternyata harapan yang dulu kandas, kini menjadi nyata.
"Sekarang kita mulai saja ijab kabulnya." Penghulu yang duduk di kursi di hadapan Dirga sudah siap untuk memulai acara pernikahan itu. Di samping penghulu itu telah duduk Pak Broto, lalu ada dua orang dokter yang adalah teman Pak Broto akan menjadi saksi pernikahan itu.
“Ananda Dirga Mahendra Bin Edy Sudrajat Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Haira Permatasari Binti Broto Hadikusumo dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Pak Broto melafalkan ijab sembari menjabat tangan Dirga.
"Saya terima nikah dan kawinnya Haira Permatasari Binti Broto Hadikusumo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Dirga melafalkan kabul.
"Sah?" Penghulu bertanya pada para saksi.
"Sah... sah." Kedua dokter yang menjadi saksi itu serempak menjawab.
"Alhamdulillah, sekarang Nak Dirga dan Nak Haira telah resmi menjadi suami isteri. Sungguh baru kali ini saya menikahkan pengantin di rumah sakit. Saya sangat kagum dengan Nak Dirga, walaupun kondisi Nak Haira sedang sakit tapi tak mengurungkan niat untuk mengikat janji suci. Semoga Nak Dirga dan Nak Haira menjadi pasangan yang selalu dirahmati Allah SWT, menjadi keluarga sakinah mawadah warohmah dan kelak diberikan keturunan yg soleh dan soleha. Aamiin."
"Aamiin." Semua orang di ruangan itu serempak mengamini doa dari penghulu itu.
Dan seperti itulah pernikahan Dirga dan Haira telah terjadi hari ini. Senyuman kebahagiaan mengembang di wajah Haira dan keluarganya. Sedangkan Dirga, entah perasaan apa yang kini ada di benaknya. Yang diinginkannya kini adalah segera kembali menjumpai isterinya, Calya.
Persiapan pelaksanaan operasi Haira telah siap. Sudah waktunya Haira dibawa oleh perawat untuk memasuki ruangan operasi. Ketika hendak di dorong dengan kursi roda, Haira meraih lengan Dirga yang berdiri di sampingnya.
"Dir... Tetaplah di sini sampai operasiku selesai dan aku sadar kembali. Ku mohon!"
"Tapi Ra, aku harus kembali. Calya sudah menungguku. Aku sudah janji padanya untuk segera kembali setelah pernikahan kita selesai."
"Aku sekarang adalah isterimu juga Dir. Aku butuh kamu sekarang. Aku akan dioperasi, entah operasi ini akan berhasil atau tidak. Setidaknya kau harus ada untuk menemaniku melewati semua ini."
"Haira... Aku..."
"Nak Dirga, tolonglah. Tetaplah di sini sampai Haira selesai dioperasi. Tinggallah dulu, tak akan lama. Om mohon padamu."
Permohonan lagi? Haruskah Dirga memenuhi permohonan mereka lagi? Ditatapnya wajah Haira. Isteri, ya Haira adalah isterinya kini. Wanita yang pernah dicintainya itu sekarang menjadi isterinya. Ditatapnya wajah Haira lebih lekat lagi, berharap rasa cinta yang pernah ada itu memberikannya energi untuk mampu memendam rasa bersalahnya pada Calya. Rasa bersalah karena kali ini dia harus mengingkari janjinya.
"Baiklah Om, Saya akan tinggal hanya sampai operasinya selesai dan Haira sadar."
Haira tersenyum sembari menatap lekat wajah Dirga, suaminya. Perawat mendorong kursi rodanya memasuki ruang operasi. Sebuah harapan dan doa diucapkannya saat memasuki ruangan itu. "Ya Allah ijinkanlah hamba sembuh untuk menebus dosa-dosa hamba pada pria yang kini menjadi suami hamba. Hamba ingin mengabdi padanya sebagai isteri yang baik."
Setelah Haira memasuki ruang operasi, Dirga kembali teringat pada Calya. Diraihnya telepon genggam yang ada di dalam saku celananya. Dicarinya nomor telepon Calya lalu ditekannya tombol panggilan. Tut...tut... Hingga terdengar bunyi itu, tak ada suara jawaban dari Calya.
Beberapa kali diulanginya lagi panggilan itu namun tetap saja berakhir sama. Calya tak menjawab telepon Dirga. Ada apa? Apa yang terjadi pada Calya. Nurani Dirga berkecamuk. Apakah Calya marah padanya karena baru menghubunginya? Apakah Calya baik-baik saja? Atau sesuatu terjadi padanya sehingga ia tak menjawab panggilan darinya?
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Mela Rosmela
ortu yg tidak baik.. hhmmm dirga aku yakin setelah permohonan pertama dr keluarga si haira itu, bakal ada permohonan" selanjutnya... makan tuh dirga atas dasar kemanusiaan..dan apa pahala??? apa menyakiti istri itu juga sebagian dr pahala..
2020-07-25
0
W⃠🦃𝖆𝖑𝖒𝖊𝖎𝖗𝖆 Rh's😎
orang tua yang egois,,, hanya memikirkan perasaan anaknya saja tapi tidak dengan perasaannya calya
2020-05-20
1