Berbagi Cinta: Second Wife
Vika Aditama adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang mempersiapkan skripsi. Gadis berusia 23 tahun itu memiliki wajah yang cantik, kulit putih, dan sepasang mata indah. Hidung mancung serta bibir tipisnya menambah keindahan paras Vika.
Pagi itu Vika sedang menemui dosen pembimbing untuk berdiskusi mengenai skripsi yang ia kerjakan. Jantungnya berdegup kencang, menanti komentar sang dosen yang terkenal galak seantero kampus.
"Bagus," ucap sang dosen.
"Ya?" Vika berusaha memastikan pendengarannya tidak terganggu.
"Hasil penelitianmu bagus. Selamat," puji sang dosen sambil tersenyum ramah.
"Terima kasih, Bu," ucap Vika sambil tersenyum puas.
Vika meninggalkan ruangan Bu Mary dengan wajah berbinar. Ia hendak mengabari ibunya mengenai berita bagus ini. Seketika senyum riang Vika hilang, saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
Cepat pulang! Atau kamu tidak akan pernah bertemu ibumu selamanya!
Melihat pesan singkat itu, Vika langsung menuju parkiran. Ia menyalakan mesin motor bebeknya, kemudian melaju secepat yang ia bisa. Sesampainya di rumah, suasana terlihat begitu kacau. Langkah Vika semakin cepat saat mendengar teriakan ibunya.
"Aaaaaaaa ... ampun Tuan!" pekik Bu Lasmi.
Ketika memasuki rumah, ibunya sudah tersungkur di atas lantai. Seorang laki-laki bertubuh besar hendak mengayunkan balok ke arah Bu Lasmi.
"Hentikan!" teriak Vika sambil menepis tangan lelaki besar itu, kemudian ia membantu ibunya berdiri.
Vika menanyakan alasan di balik keributan hari itu. Bu Lasmi tidak menjawab, dan hanya terus menangis. Preman yang ada dihadapannya, menjelaskan sumber permasalahan dengan suara lantang.
"Ibumu memiliki hutang kepada juragan Banyu!" ujar lelaki itu dengan garang.
"Juragan Banyu?" Kening Vika mengernyit, matanya melotot seakan hampir copot. Ia tak menyangka ibunya berurusan dengan renternir kejam itu.
"Bu, benarkah yang dia katakan?" tanya Vika.
Ibu Vika mengangguk pelan. Tiba-tiba kepala Vika berdenyut. Ia menghela napas dan mencoba bernegosiasi dengan si preman.
"Be-berapa hutang ibu?" tanya Vika.
"125 juta! Belum termasuk bunganya lima puluh persen!" jawab lelaki itu.
"Apa!" Alis Vika kini saling bertaut, ia bagaikan mendapatkan kejutan listrik seribu volt. Benar-benar diluar dugaan.
"Baiklah. Beri aku waktu tiga bulan! Aku akan melunasi semua hutang Ibu!" seru Vika.
"Cih, mau jual diri?" Preman itu memandang tubuh Vika dengan tatapan mesum.
"Bukan urusanmu bagaimana caraku mendapatkan uang! Jadi, tolong pergi sekarang juga!" bentak Vika dengan mata menyalak. Jari telunjuknya mengacung ke arah pintu keluar.
Ketika dua preman itu pergi, kaki Vika lemas dan tubuhnya merosot. Ia menangis sejadi-jadinya.
"Bu, sebenarnya untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Vika.
"Itu ... sebenarnya .... " Bu Lasmi tertunduk lesu.
"Lalu bagaimana caraku mengembalikan uang sebanyak itu dalam waktu tiga bulan?" Vika meremas rambutnya frustrasi. Perlahan ibunya mendekat.
"Sebenarnya, uang itu untuk biaya kuliahmu, Vik," lirih Bu Lasmi.
"Bu, dari dulu Vika sudah bilang nggak usah kuliah kalau Ibu tidak mampu!" seru Vika dengan suara tinggi.
"Kalau sudah begini bagaimana, Bu? Vika tinggal selangkah lagi lulus. Namun, menemukan kenyataan ini membuat fokus Vika terpecah!" teriak Vika frustrasi.
"Ibu akan menjual ginjal!" seru Bu Lasmi, tangannya menepuk dadanya yang terasa sesak.
"Ginjal? Apa Ibu lupa? Satu ginjal Ibu sudah nggak ada!" Tangis Vika semakin pecah.
"Dari awal Vika bilang nggak mau kuliah! Tapi Ibu bersikukuh ingin Vika tetap kuliah! Lihat akhirnya sekarang! Ibu malah terlilit hutang!"
"Vika, CUKUP!" teriak Bu Lasmi, dadanya kembang kempis menahan amarah yang bergejolak.
"Dulu Ibumu ini nggak sekolah, dan jadi orang goblok! Itu sebabnya Kamu harus kuliah! Sekolah setinggi mungkin supaya memiliki kehidupan yang lebih baik dari Ibu!" ucap Bu Lasmi sambil berderai air mata.
Dada Vika terasa nyeri mendengar penuturan ibunya. Ia menunduk, kemudian berhambur ke dalam pelukannya.
.
.
.
Keesokan harinya Vika melamar pekerjaan untuk membantu ibunya melunasi hutang. Ia sendiri ragu bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar dalam waktu tiga bulan. Namun, tidak ada salahnya mencoba.
Setelah seharian menyusuri panasnya kota Jakarta, akhirnya Vika mendapatkan pekerjaan sebagai SPG di sebuah departemen store. Vika pulang dengan membawa secercah harapan baru. Ia memberitahukan kabar baik itu kepada ibunya.
"Selamat ya, Vik!" seru Bu Lasmi sambil memeluk tubuh putrinya.
Vika melonggarkan pelukan ibunya. Ia memandang wajah ibunya lekat. Kedua telapak tangan Vika kini merangkum wajah tirus sang ibu.
"Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantu Ibu. Maaf ya, jika selama ini Vika membuat Ibu merasa terbebani."
"Sssssstttt ... Kamu bukan beban. Vika adalah masa depan Ibu. Jadi, mari kita berjuang bersama, ya?" kata Bu Lasmi.
"Pasti Bu! Vika janji akan membuat Ibu bangga karena memiliki Vika." Vika tersenyum dengan mata berkilat.
Jarum jam menunjukkan pukul 23:00 saat kantuk mulai menggelayuti mata Vika. Perlahan ia menutup mata. Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah dapur.
PRANG!
Mata Vika langsung terbuka. Ia bergegas turun dari ranjang dan menuju sumber suara berasal. Setelah sampai dapur, betapa terkejutnya Vika melihat apa yang terjadi. Ia mendapati Bu Lasmi sudah tergolek lemah diatas lantai.
"Ibuuuu!" teriak Vika, lalu menghampiri ibunya. Ia menepuk pelan pipi kiri ibunya. Akan tetapi, sang ibu sama sekali tidak berkutik.
Vika langsung berlari keluar rumah untuk mencari bantuan. Ia mengetuk pintu rumah Pak Hasyim dengan panik. Begitu pintu terbuka, ia langsung meminta bantuan kepada Pak Hasyim.
"Pak, tolong ibu saya," mohon Vika.
"Ibumu kenapa?" Pak Hasyim mengerutkan dahinya.
"Ibu pingsan Pak, tolong antar kami ke rumah sakit," pinta Vika.
"Baik, bersiap-siaplah. Bapak akan menyiapkan mobil terlebih dahulu," ucap Pak Hasyim.
.
.
.
Tak membutuhkan waktu lama sampai di rumah sakit. Para perawat segera memberi pertolongan pertama di ruang UGD.
"Bapak tinggal dulu, ya? Besok istriku akan kesini untuk menjaga ibumu," pamit Pak Hasyim.
"Baik, Pak. Terima kasih," ucap Vika seraya tersenyum.
"Sama-sama. Bapak pamit, misalkan butuh apa-apa bilang saja," pesan Pak Hasyim.
Vika mengangguk. Ia memandangi punggung pak Hasyim yang mulai menjauh. Kemudian, Vika masuk ke ruang UGD. Perempuan cantik itu memandang tubuh ibunya yang terbaring lemah diatas brankar.
Tangan kiri Bu Lasmi dipasangi selang infus, dan hidungnya diberi alat bantu pernafasan.
"Bu, cepat bangun ya. Vika yakin ibu perempuan yang kuat," lirih Vika.
Keesokan harinya Vika terbangun karena merasakan sentuhan lembut pada puncak kepalanya. Matanya mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya sekitar.
"Vika, bangun, Nak. Bukankah sekarang hari pertama kamu bekerja?" tanya Bu Lasmi.
Seketika kesadaran Vika kembali. Ia mendongak, didapatinya ibunya sudah dalam posisi duduk bersandar pada tumpukan bantal.
"Ibu sudah sadar? Ada yang sakit?" tanya Vika penuh kekhawatiran.
"Ibu sudah merasa lebih baik." Seulas senyum muncul di bibir Bu Lasmi.
"Lalu, Ibu, bagaimana?" tanya Vika.
"Ibu bisa sendiri. Ada perawat jika ibu membutuhkan bantuan." Kini jemari Bu Lasmi mengusap lembut punggung tangan putrinya.
"Baiklah. Vika pergi dulu, Bu? Nanti sepulang kerja, Vika kesini lagi." Vika mencium punggung tangan sang ibu dan keluar dari ruang perawatannya.
.
.
.
Jam menunjukkan pukul 08:30 saat Vika berada di parkiran mal. Kaki jenjangnya berjalan secepat mungkin, untuk segera menjangkau lift. Tanpa sengaja, Vika bertabrakan dengan seseorang.
"Aduh! Maaf, Saya sedang buru-buru." Vika membungkukkan badan untuk meminta maaf.
Vika terkejut, ketika mengetahui kemeja hitam yang dipakai lelaki di depannya kotor. Ia melihat rahang lelaki itu mengeras.
"Mati Aku!" Vika menunduk, Lalu mengeluarkan tisu dari dalam dompet mekap, dan membersihkan kemeja itu.
"Hentikan!" seru si lelaki.
"Kemeja Anda kotor, Pak. Saya akan membersihkannya," ujar Vika.
Vika yang terlalu keras kepala tetap melakukan aktifitas bersih-bersihnya. Gerakannya terhenti saat pergelangan tangannya dicengkeram kuat oleh lelaki itu.
"Aku bilang HEN-TI-KAN!" tegas lelaki itu.
Tatapannya membuat nyali Vika menciut. Kepalanya menunduk karena tidak berani menatap mata lelaki itu.
"Maaf, Pak," cicit Vika.
Setelah mengibaskan tangan Vika, lelaki itu memasuki lift VVIP. Vika meringis merasakan ngilu di pergelangan tangannya.
Vika bergegas memasuki lift. Setelah sampai di depan pintu khusus karyawan, ia menarik napas panjang. Kemudian memasuki ruangan yang sudah berisi beberapa pramuniaga.
"Kamu, siapa?" tanya seorang perempuan bernama Fany.
"Ah, saya SPG baru sepatu Yongkru, Kak," jawab Vika.
"Aku partner kerjamu hari ini." Fany mengulurkan tangannya, dan disambut antusias oleh Vika.
"Ah, iya, Kak Fany. Mohon bimbingannya," sahut Vika.
Vika dan Fany merapikan penampilan mereka. Setelah terlihat enak dipandang, keduanya melangkah menuju konter. Disana mereka membersihkan hambalan kaca tempat sepatu-sepatu dipajang.
Sesekali Fany memberitahukan tugas-tugas selama bekerja disana. Mereka juga membahas hal paling menyenangkan di dunia kerja, yaitu gaji dan bonus. Pembicaraan keduanya berhenti, ketika sosok pria yang ditabrak Vika menghampiri.
"Mati Aku!" gumam Vika sambil menundukkan kepala.
"Vik, ada masalah apa?" tanya Fany.
"A-anu ... tidak, Kak," jawab Vika gugup.
Tanpa Vika sadari lelaki itu sudah berada di konter sepatu mereka. Bukannya menyapa, Vika malah membalikkan badan.
"Dia SPG baru?" tanya lelaki itu.
"Iya, Pak," jawab Fany sambil menarik lengan kemeja Vika.
"Hubungi koordinatormu, pecat saja Dia kalau tidak bisa menghargai pelanggan!" perintah lelaki itu.
Seketika kepala Vika kembali tegak, ia membalikkan badannya. Sebuah senyum konyol terbit di bibir tipisnya.
"Maaf Pak, Saya sedang membersihkan debu di meja display tadi," dalih Vika.
"Oke, aku maafkan kali ini. Kalau Kamu mengulanginya, jangan harap bisa bekerja lagi disini seumur hidup!" ancam lelaki itu.
Vika menelan ludahnya kasar. Ia harus bekerja di tempat itu sampai bisa melunasi hutang ibunya. Setelah urusannya dengan juragan Banyu selesai, pasti Vika langsung mengundurkan diri.
"Oh ya, Pak. Ada yang bisa Kami bantu?" tanya Fany mengalihkan pembicaraan.
"Pilihkan Aku sebuah sepatu berukuran 38 untuk ibuku," ujar Mahen.
"Tunggu sebentar, Pak." Fany menuju rak tempat sepatu khusus perempuan dipajang. tak lama kemudian, Fany kembali dengan membawa dua pasang sepatu.
Tangan kanan Fany membawa sepasang *pu*mp shoes berwarna camel, berbahan beludru dengan tektur garis horizontal. Sepatu itu memiliki hak tebal kotak setinggi tujuh sentimeter dengan ujung berbentuk bulat.
Sedangkan tangan kirinya membawa *s*tiletto berbahan kulit sintetis, dan dilapisi satin berwarna merah menyala. Sepatu itu juga memiliki hak tujuh sentimeter, tetapi berbentuk lebih runcing.
"Hei anak baru! Sepatu mana yang lebih cocok untuk ibuku?" tanya Mahen.
Vika hanya tertegun, ia baru saja masuk kerja hari ini. Pengetahuannya tentang produk masih nol besar.
"Pak, Dia baru masuk hari ini. Jadi ...." Ucapan Fany menggantung di udara karena tatapan tajam Mahen.
"Aku tidak bertanya padamu!" seru Mahen sambil menatap tajam.
"Sebaiknya Bapak memilih pumps ini daripada stiletto." Keringat dingin kini membasahi dahi Vika.
"Kenapa?" tanya Mahen.
"Itu ... karena ... menggunakan pumps akan lebih nyaman dan aman untuk perempuan berusia 50-an," jelas Vika.
Mahen mengangguk perlahan. Ia terlihat sedang berpikir. Kemudian melangkah ke arah Fany dan mengambil stiletto dari tangannya. Melihat tindakan Mahen membuat bibir Vika menganga lebar.
"Jadi sebenarnya pendapatku dari awal tidak dibutuhkan?" batin Vika.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
punya nos Edan persoalan rmh di bw ketempat kerja
2022-04-24
1
IG : @thatya0316
like dan fav mendarat sempurna
semangat kak
2022-02-06
1
auliasiamatir
benar itu Vika.. aku setuju, buat apa menyakiti diri sendiri hanya untuk berpura pura tangguh di depan orang lain...
2021-12-16
2