Betapa paniknya Vika melihat keluar darah segar dari jalan lahirnya. Ia meminta bantuan kepada para pelanggan, tapi mereka hanya saling menatap.
"Siapapun, tolong aku!" teriak Vika yang mulai lemas.
"Halah! Udah deh, Mbak! Jangan pura-pura!" seru seorang pelanggan.
"Cepat, Mbak! Keburu jam istirahat saya habis!" teriak pelanggan lainnya.
Mereka saling bersahutan menyuarakan kegelisahannya masing-masing. Akhirnya seruan mereka berhenti ketika Vika kehilangan kesadarannya.
"Hei! Cepat panggil ambulan! Dia sedang tidak pura-pura!" ucap seorang ibu-ibu yang mendekati Vika.
Suasana dalam kedai begitu riuh, setelah Vika pingsan barulah mereka panik. Suara sirine ambulan bertalu-talu ketika Raja hampir sampai ke kedainya.
"Ada apa ini?" tanya Raja kepada seorang anak muda.
"Ada yang sekarat, Pak!" jawabnya.
Betapa terkejutnya Raja ketika mendapati Vika sudah lemas dan dibawa masuk ke mobil oleh petugas. Raja mengendarai mobilnya mengekor di belakang ambulan.
Sesampainya di rumah sakit, Raja mengkonfirmasi bahwa dia adalah kerabat Vika. Setelah setengah jam menunggu seorang perawat keluar dari ruang UGD.
"Bapak, suaminya?" tanya perawat itu.
"Saya adiknya," ucap Raja.
"Ibu Vika membutuhkan transfusi, tapi stok darah di rumah sakit ini habis. Apa Anda bisa mendonorkan darah?" tanya perawat itu.
"Golongan darah Vika apa?"
"B positif," jawab sang perawat.
"Golongan darah saya A. Sebentar, saya akan menghubungi ibunya."
"Baiklah, kami tunggu."
Akhirnya Raja mencoba menghubungi Bu Lasmi. Betapa terkejutnya Bu Lasmi mendengar kabar bahwa putri semata wayangnya tengah sekarat.
Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya Bu Lasmi tiba. Tim medis langsung melakukan transfusi darah. Perasaan kalut hinggap di hati perempuan paruh baya itu. Ia menyesal telah mengusir putrinya.
.
.
.
Akhirnya Vika sadar setelah tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam. Mata perempuan itu terbuka perlahan. Di sampingnya terdapat sang ibu yang tengah tertidur sembari menggenggam tangannya.
Menyadari putrinya bangun, Bu Lasmi terbangun. Dibelainya rambut Vika, mulutnya tak berhenti mengucapkan kalimat syukur.
"Vika ... minta maaf, Bu," ucap Vika lemah.
"Sssttt ... ibu yang seharusnya minta maaf, Nak. Maafkan ibu sudah mengusirku dari rumah malam itu," ucap Bu Lasmi.
"Ibu nggak pernah melakukan kesalahan apapun, Vika pantas mendapatkannya." Bulir air mata Vika perlahan menetes membasahi pipinya.
"Kamu istirahat dulu, Kita bicara lagi nanti," bujuk Bu Lasmi.
"Bayi Vika bagaimana, Bu?"
"Dia anak yang kuat, dia baik-baik saja. Vika tidak perlu mengkhawatirkan apapun saat ini," ucap Bu Lasmi menenangkan putrinya.
Perasaan lega memenuhi hati Vika. Ia tidak mau kehilangan bayi pertamanya. Rasa kantuk kembali hinggap, Vika akhirnya memejamkan matanya lagi.
Seminggu sudah Vika dirawat di rumah sakit. Kini kondisinya berangsur membaik, Vika bahkan sudah diijinkan pulang.
"Kita pulang hari ini," ucap Bu Lasmi sembari merapikan baju-baju Vika, kemudian memasukkannya ke dalam tas.
"Bu, apa sebaiknya Vika tetap tinggal di apartemen Kak Raja saja?" ucap Vika.
"Kenapa?" Gerakan rapi-rapi Bu Lasmi seketika berhenti. Ia memandang putrinya penuh tanya.
"Vika tidak mau Ibu nantinya menjadi buah bibir di lingkungan rumah," ucap Vika.
Bu Lasmi berjalan mendekati Vika. Digenggamnya erat jemari putrinya itu.
"Vika tidak perlu khawatir. Ibu tidak peduli tentang apa yang orang lain pikirkan. Yang terpenting sekarang, ibu bisa terus merawatmu dan calon cucuku," ucap Bu Lasmi.
Mendengar penuturan ibunya, perasaan haru menyelimuti hati Vika. Sebanyak apapun kesalahan anak, seorang ibu akan tetap memaafkan dan tulus mencintai anaknya. Vika berjanji dalam hati untuk menjaga dan menyayangi anaknya seperti yang dilakukan ibunya.
Ketakutan Vika terbukti. Sejak ia pulang ke rumah, para tetangga menatapnya sinis. Setiap ia keluar rumah untuk bekerja, akan ada saja bisikan dari tetangga yang masih bisa didengar jelas oleh Vika.
Hanya Bu Siti dan suaminya yang tetap bersikap seperti biasa. Sejak awal hanya keluarga mereka yang benar-benar peduli kepada Vika dan ibunya.
Suatu hari tiba-tiba Vika yang tengah berbaring di kasurnya menangis sesegukan. Perasaan rindu kepada Mahen merayap di dalam dada. Tidak biasanya ia begini. Berulang kali ia berusaha memejamkan mata. Tapi tidak ada hasil.
Mendengar isakan dari kamar Vika, Bu Lasmi terbangun. Ia mengetuk perlahan kamar putrinya itu.
"Ma-masuk, Bu," sahut Vika sambil terisak.
"Kenapa?" tanya Bu Lasmi sembari mengusap puncak kepala Vika.
"Pengen ketemu Mahen, Bu. Vika kangen," rengek Vika.
"Mahen? Ayah dari calon cucuku?"
Vika mengangguk, mendengar nama Mahen disebut saja membuat jantungnya berdebar-debar. Rasa rindunya sudah memuncak. Ia hanya ingin Mahen mengelus perutnya sekali saja.
"Aduh, apa dia mau menemuimu, Nak?"
"Vika tidak yakin, Bu. Tapi rasanya menyesakkan sekali. Vika ingin sekali bertemu dengannya."
Setelah menimbang, akhirnya Bu Lasmi menghubungi Raja. Ia meminta bantuan kepada lelaki itu untuk membujuk Mahen.
"Raja tidak bisa berjanji, Tante. Tapi akan Raja usahakan."
.
.
.
Akhirnya Raja mengumpulkan keberanian. Ia menemui Mahen ketika sedang mengunjungi salah toko. Sejak Vika diusir dari kediaman Dirgantara, kedua lelaki itu tidak pernah bertemu. Raja hanya akan mengunjungi papanya ketika diminta datang ke Rumah Besar.
"Kak!" teriak Raja ketika menemukan sosok Mahen yang sedang mondar-mandir di depan toko.
Tatapan dingin Mahen menyapa Raja. Ia sudah tidak memperdulikan lagi harga dirinya. Yang terpenting sekarang adalah mempertemukan Vika dengan Mahen. Saat Raja semakin dekat, Mahen beranjak. Akan tetapi adik tirinya itu menahan lengannya.
"Kak, tolong dengarkan aku sebentar," ucap Raja.
"Apa?" tanya Mahen singkat.
"Vika ingin bertemu denganmu, sebentar saja. Temuilah dia, setelah itu aku akan membawa dia pergi dari kota ini," ucap Raja.
"Aku tidak peduli, bawa saja dia pergi kemanapun Kau suka!" seru Mahen.
"Kak, aku mohon," ucap Raja dengan wajah memelas.
"Dia hanya ingin bertemu denganmu sekali saja. Dia ingin Kamu mengusap perutnya, itu saja."
"Kenapa harus aku?"
"Karena Kak Mahen yang Vika rindukan, bukan orang lain!" seru Raja.
Setelah berdebat, akhirnya Mahen setuju menemui Vika. Tapi tidak lebih dari lima belas menit.
.
.
.
Mendengar kabar dari Raja, hati Vika begitu senang. Ia tak sabar ingin segera bertemu dengan lelaki yang dicintainya.
Vika menunggu Mahen di salah kedai kopi Raja. Perempuan itu memakai daster polos berwarna merah marun. Kakinya beradu dengan lantai berulang kali karena gugup. Rasanya ia seperti sedang mengikuti kencan buta.
30 menit sudah Vika menunggu. Akhirnya sosok yang ia rindukan muncul. Mahen memasuki kedai dengan kemeja putih polos dengan bawahan celana katun slimfit. Jantung Vika berpacu lebih cepat. Entah mengapa Mahen terlihat begitu mempesona. Ingin rasanya Vika menghambur ke dalam pelukan Raja. Tetapi ia tahu diri, bisa melihat lelaki itu lagi saja sudah membuat Vika merasa beruntung.
Mahen semakin dekat, sontak Vika berdiri untuk menyambutnya. Vika tersenyum tipis ketika berhadapan dengan Mahen. Tapi tatapan ia hanya mendapatkan dingin dari Mahen.
"Kakak, apa kabar?"
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
tinggalin aja kalau suami ngk percaya buat apa, ada raja yg. mau gantinya kawin sirih kan nhk kuat ini
2022-04-24
1
auliasiamatir
aku harap Vika ngeluapin mahen dan jadian sama raja.
2021-12-20
0