NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta: Second Wife

Kemalangan yang Bertubi

Vika Aditama adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang mempersiapkan skripsi. Gadis berusia 23 tahun itu memiliki wajah yang cantik, kulit putih, dan sepasang mata indah. Hidung mancung serta bibir tipisnya menambah keindahan paras Vika.

Pagi itu Vika sedang menemui dosen pembimbing untuk berdiskusi mengenai skripsi yang ia kerjakan. Jantungnya berdegup kencang, menanti komentar sang dosen yang terkenal galak seantero kampus.

"Bagus," ucap sang dosen.

"Ya?" Vika berusaha memastikan pendengarannya tidak terganggu.

"Hasil penelitianmu bagus. Selamat," puji sang dosen sambil tersenyum ramah.

"Terima kasih, Bu," ucap Vika sambil tersenyum puas.

Vika meninggalkan ruangan Bu Mary dengan wajah berbinar. Ia hendak mengabari ibunya mengenai berita bagus ini. Seketika senyum riang Vika hilang, saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.

Cepat pulang! Atau kamu tidak akan pernah bertemu ibumu selamanya!

Melihat pesan singkat itu, Vika langsung menuju parkiran. Ia menyalakan mesin motor bebeknya, kemudian melaju secepat yang ia bisa. Sesampainya di rumah, suasana terlihat begitu kacau. Langkah Vika semakin cepat saat mendengar teriakan ibunya.

"Aaaaaaaa ... ampun Tuan!" pekik Bu Lasmi.

Ketika memasuki rumah, ibunya sudah tersungkur di atas lantai. Seorang laki-laki bertubuh besar hendak mengayunkan balok ke arah Bu Lasmi.

"Hentikan!" teriak Vika sambil menepis tangan lelaki besar itu, kemudian ia membantu ibunya berdiri.

Vika menanyakan alasan di balik keributan hari itu. Bu Lasmi tidak menjawab, dan hanya terus menangis. Preman yang ada dihadapannya, menjelaskan sumber permasalahan dengan suara lantang.

"Ibumu memiliki hutang kepada juragan Banyu!" ujar lelaki itu dengan garang.

"Juragan Banyu?" Kening Vika mengernyit, matanya melotot seakan hampir copot. Ia tak menyangka ibunya berurusan dengan renternir kejam itu.

"Bu, benarkah yang dia katakan?" tanya Vika.

Ibu Vika mengangguk pelan. Tiba-tiba kepala Vika berdenyut. Ia menghela napas dan mencoba bernegosiasi dengan si preman.

"Be-berapa hutang ibu?" tanya Vika.

"125 juta! Belum termasuk bunganya lima puluh persen!" jawab lelaki itu.

"Apa!" Alis Vika kini saling bertaut, ia bagaikan mendapatkan kejutan listrik seribu volt. Benar-benar diluar dugaan.

"Baiklah. Beri aku waktu tiga bulan! Aku akan melunasi semua hutang Ibu!" seru Vika.

"Cih, mau jual diri?" Preman itu memandang tubuh Vika dengan tatapan mesum.

"Bukan urusanmu bagaimana caraku mendapatkan uang! Jadi, tolong pergi sekarang juga!" bentak Vika dengan mata menyalak. Jari telunjuknya mengacung ke arah pintu keluar.

Ketika dua preman itu pergi, kaki Vika lemas dan tubuhnya merosot. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Bu, sebenarnya untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Vika.

"Itu ... sebenarnya .... " Bu Lasmi tertunduk lesu.

"Lalu bagaimana caraku mengembalikan uang sebanyak itu dalam waktu tiga bulan?" Vika meremas rambutnya frustrasi. Perlahan ibunya mendekat.

"Sebenarnya, uang itu untuk biaya kuliahmu, Vik," lirih Bu Lasmi.

"Bu, dari dulu Vika sudah bilang nggak usah kuliah kalau Ibu tidak mampu!" seru Vika dengan suara tinggi.

"Kalau sudah begini bagaimana, Bu? Vika tinggal selangkah lagi lulus. Namun, menemukan kenyataan ini membuat fokus Vika terpecah!" teriak Vika frustrasi.

"Ibu akan menjual ginjal!" seru Bu Lasmi, tangannya menepuk dadanya yang terasa sesak.

"Ginjal? Apa Ibu lupa? Satu ginjal Ibu sudah nggak ada!" Tangis Vika semakin pecah.

"Dari awal Vika bilang nggak mau kuliah! Tapi Ibu bersikukuh ingin Vika tetap kuliah! Lihat akhirnya sekarang! Ibu malah terlilit hutang!"

"Vika, CUKUP!" teriak Bu Lasmi, dadanya kembang kempis menahan amarah yang bergejolak.

"Dulu Ibumu ini nggak sekolah, dan jadi orang goblok! Itu sebabnya Kamu harus kuliah! Sekolah setinggi mungkin supaya memiliki kehidupan yang lebih baik dari Ibu!" ucap Bu Lasmi sambil berderai air mata.

Dada Vika terasa nyeri mendengar penuturan ibunya. Ia menunduk, kemudian berhambur ke dalam pelukannya.

.

.

.

Keesokan harinya Vika melamar pekerjaan untuk membantu ibunya melunasi hutang. Ia sendiri ragu bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar dalam waktu tiga bulan. Namun, tidak ada salahnya mencoba.

Setelah seharian menyusuri panasnya kota Jakarta, akhirnya Vika mendapatkan pekerjaan sebagai SPG di sebuah departemen store. Vika pulang dengan membawa secercah harapan baru. Ia memberitahukan kabar baik itu kepada ibunya.

"Selamat ya, Vik!" seru Bu Lasmi sambil memeluk tubuh putrinya.

Vika melonggarkan pelukan ibunya. Ia memandang wajah ibunya lekat. Kedua telapak tangan Vika kini merangkum wajah tirus sang ibu.

"Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantu Ibu. Maaf ya, jika selama ini Vika membuat Ibu merasa terbebani."

"Sssssstttt ... Kamu bukan beban. Vika adalah masa depan Ibu. Jadi, mari kita berjuang bersama, ya?" kata Bu Lasmi.

"Pasti Bu! Vika janji akan membuat Ibu bangga karena memiliki Vika." Vika tersenyum dengan mata berkilat.

Jarum jam menunjukkan pukul 23:00 saat kantuk mulai menggelayuti mata Vika. Perlahan ia menutup mata. Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah dapur.

PRANG!

Mata Vika langsung terbuka. Ia bergegas turun dari ranjang dan menuju sumber suara berasal. Setelah sampai dapur, betapa terkejutnya Vika melihat apa yang terjadi. Ia mendapati Bu Lasmi sudah tergolek lemah diatas lantai.

"Ibuuuu!" teriak Vika, lalu menghampiri ibunya. Ia menepuk pelan pipi kiri ibunya. Akan tetapi, sang ibu sama sekali tidak berkutik.

Vika langsung berlari keluar rumah untuk mencari bantuan. Ia mengetuk pintu rumah Pak Hasyim dengan panik. Begitu pintu terbuka, ia langsung meminta bantuan kepada Pak Hasyim.

"Pak, tolong ibu saya," mohon Vika.

"Ibumu kenapa?" Pak Hasyim mengerutkan dahinya.

"Ibu pingsan Pak, tolong antar kami ke rumah sakit," pinta Vika.

"Baik, bersiap-siaplah. Bapak akan menyiapkan mobil terlebih dahulu," ucap Pak Hasyim.

.

.

.

Tak membutuhkan waktu lama sampai di rumah sakit. Para perawat segera memberi pertolongan pertama di ruang UGD.

"Bapak tinggal dulu, ya? Besok istriku akan kesini untuk menjaga ibumu," pamit Pak Hasyim.

"Baik, Pak. Terima kasih," ucap Vika seraya tersenyum.

"Sama-sama. Bapak pamit, misalkan butuh apa-apa bilang saja," pesan Pak Hasyim.

Vika mengangguk. Ia memandangi punggung pak Hasyim yang mulai menjauh. Kemudian, Vika masuk ke ruang UGD. Perempuan cantik itu memandang tubuh ibunya yang terbaring lemah diatas brankar.

Tangan kiri Bu Lasmi dipasangi selang infus, dan hidungnya diberi alat bantu pernafasan.

"Bu, cepat bangun ya. Vika yakin ibu perempuan yang kuat," lirih Vika.

Keesokan harinya Vika terbangun karena merasakan sentuhan lembut pada puncak kepalanya. Matanya mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya sekitar.

"Vika, bangun, Nak. Bukankah sekarang hari pertama kamu bekerja?" tanya Bu Lasmi.

Seketika kesadaran Vika kembali. Ia mendongak, didapatinya ibunya sudah dalam posisi duduk bersandar pada tumpukan bantal.

"Ibu sudah sadar? Ada yang sakit?" tanya Vika penuh kekhawatiran.

"Ibu sudah merasa lebih baik." Seulas senyum muncul di bibir Bu Lasmi.

"Lalu, Ibu, bagaimana?" tanya Vika.

"Ibu bisa sendiri. Ada perawat jika ibu membutuhkan bantuan." Kini jemari Bu Lasmi mengusap lembut punggung tangan putrinya.

"Baiklah. Vika pergi dulu, Bu? Nanti sepulang kerja, Vika kesini lagi." Vika mencium punggung tangan sang ibu dan keluar dari ruang perawatannya.

.

.

.

Jam menunjukkan pukul 08:30 saat Vika berada di parkiran mal. Kaki jenjangnya berjalan secepat mungkin, untuk segera menjangkau lift. Tanpa sengaja, Vika bertabrakan dengan seseorang.

"Aduh! Maaf, Saya sedang buru-buru." Vika membungkukkan badan untuk meminta maaf.

Vika terkejut, ketika mengetahui kemeja hitam yang dipakai lelaki di depannya kotor. Ia melihat rahang lelaki itu mengeras.

"Mati Aku!" Vika menunduk, Lalu mengeluarkan tisu dari dalam dompet mekap, dan membersihkan kemeja itu.

"Hentikan!" seru si lelaki.

"Kemeja Anda kotor, Pak. Saya akan membersihkannya," ujar Vika.

Vika yang terlalu keras kepala tetap melakukan aktifitas bersih-bersihnya. Gerakannya terhenti saat pergelangan tangannya dicengkeram kuat oleh lelaki itu.

"Aku bilang HEN-TI-KAN!" tegas lelaki itu.

Tatapannya membuat nyali Vika menciut. Kepalanya menunduk karena tidak berani menatap mata lelaki itu.

"Maaf, Pak," cicit Vika.

Setelah mengibaskan tangan Vika, lelaki itu memasuki lift VVIP. Vika meringis merasakan ngilu di pergelangan tangannya.

Vika bergegas memasuki lift. Setelah sampai di depan pintu khusus karyawan, ia menarik napas panjang. Kemudian memasuki ruangan yang sudah berisi beberapa pramuniaga.

"Kamu, siapa?" tanya seorang perempuan bernama Fany.

"Ah, saya SPG baru sepatu Yongkru, Kak," jawab Vika.

"Aku partner kerjamu hari ini." Fany mengulurkan tangannya, dan disambut antusias oleh Vika.

"Ah, iya, Kak Fany. Mohon bimbingannya," sahut Vika.

Vika dan Fany merapikan penampilan mereka. Setelah terlihat enak dipandang, keduanya melangkah menuju konter. Disana mereka membersihkan hambalan kaca tempat sepatu-sepatu dipajang.

Sesekali Fany memberitahukan tugas-tugas selama bekerja disana. Mereka juga membahas hal paling menyenangkan di dunia kerja, yaitu gaji dan bonus. Pembicaraan keduanya berhenti, ketika sosok pria yang ditabrak Vika menghampiri.

"Mati Aku!" gumam Vika sambil menundukkan kepala.

"Vik, ada masalah apa?" tanya Fany.

"A-anu ... tidak, Kak," jawab Vika gugup.

Tanpa Vika sadari lelaki itu sudah berada di konter sepatu mereka. Bukannya menyapa, Vika malah membalikkan badan.

"Dia SPG baru?" tanya lelaki itu.

"Iya, Pak," jawab Fany sambil menarik lengan kemeja Vika.

"Hubungi koordinatormu, pecat saja Dia kalau tidak bisa menghargai pelanggan!" perintah lelaki itu.

Seketika kepala Vika kembali tegak, ia membalikkan badannya. Sebuah senyum konyol terbit di bibir tipisnya.

"Maaf Pak, Saya sedang membersihkan debu di meja display tadi," dalih Vika.

"Oke, aku maafkan kali ini. Kalau Kamu mengulanginya, jangan harap bisa bekerja lagi disini seumur hidup!" ancam lelaki itu.

Vika menelan ludahnya kasar. Ia harus bekerja di tempat itu sampai bisa melunasi hutang ibunya. Setelah urusannya dengan juragan Banyu selesai, pasti Vika langsung mengundurkan diri.

"Oh ya, Pak. Ada yang bisa Kami bantu?" tanya Fany mengalihkan pembicaraan.

"Pilihkan Aku sebuah sepatu berukuran 38 untuk ibuku," ujar Mahen.

"Tunggu sebentar, Pak." Fany menuju rak tempat sepatu khusus perempuan dipajang. tak lama kemudian, Fany kembali dengan membawa dua pasang sepatu.

Tangan kanan Fany membawa sepasang *pu*mp shoes berwarna camel, berbahan beludru dengan tektur garis horizontal. Sepatu itu memiliki hak tebal kotak setinggi tujuh sentimeter dengan ujung berbentuk bulat.

Sedangkan tangan kirinya membawa *s*tiletto berbahan kulit sintetis, dan dilapisi satin berwarna merah menyala. Sepatu itu juga memiliki hak tujuh sentimeter, tetapi berbentuk lebih runcing.

"Hei anak baru! Sepatu mana yang lebih cocok untuk ibuku?" tanya Mahen.

Vika hanya tertegun, ia baru saja masuk kerja hari ini. Pengetahuannya tentang produk masih nol besar.

"Pak, Dia baru masuk hari ini. Jadi ...." Ucapan Fany menggantung di udara karena tatapan tajam Mahen.

"Aku tidak bertanya padamu!" seru Mahen sambil menatap tajam.

"Sebaiknya Bapak memilih pumps ini daripada stiletto." Keringat dingin kini membasahi dahi Vika.

"Kenapa?" tanya Mahen.

"Itu ... karena ... menggunakan pumps akan lebih nyaman dan aman untuk perempuan berusia 50-an," jelas Vika.

Mahen mengangguk perlahan. Ia terlihat sedang berpikir. Kemudian melangkah ke arah Fany dan mengambil stiletto dari tangannya. Melihat tindakan Mahen membuat bibir Vika menganga lebar.

"Jadi sebenarnya pendapatku dari awal tidak dibutuhkan?" batin Vika.

.

.

.

Bersambung...

Kemalangan Yang Bertubi Bagian 2

Sore itu Vika yang baru selesai makan, tiba-tiba rambutnya ditarik oleh salah seorang teman.

"Awww! Audi, Kamu kenapa?" tanya Vika.

"Halah! Nggak usah pura-pura ya!" tuduh Audi.

"Apa sih maksudmu, Di?" tanya Vika sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Audi dari rambutnya.

"Halah, nggak usah pura-pura deh, Kamu!" timpal Agnes.

"Aku benar-benar nggak tahu apa maksud Kalian!" teriak Vika.

"Kamu 'kan yang mencuri uang Suci!" tuduh Agnes.

"Uang apa, sih?" tanya Vika kebingungan.

"Dompet Suci ada di dalam dompet mekapmu!" teriak Audi.

"Mana buktinya? Ha?" tanya Vika kesal.

Tangan Audi menarik rambut Vika sambil berjalan ke arah loker. Lalu dilepaskan kasar. Di hadapan Vika sekarang sudah ada Leni, ia membalikkan dompet Vika yang sudah dalam keadaan terbuka. Semua alat mekap Vika berserakan di lantai. Mata Vika terbelalak, saat mendapati sebuah dompet kecil bermotif polkadot, tergeletak diantara mekap miliknya.

"Tuh, buktinya!" teriak Leni.

"Bu-bukan Aku yang mengambil dompet itu!" sanggah Vika.

"Bukan Kamu? Lalu siapa? Ha!" teriak Audi.

"Aku berani bersumpah! Bukan Aku yang mengambil dompet itu!" Mata Vika panas, karena rasa marah dan sedih bercampur jadi satu, dan suaranya mulai bergetar.

"Halah! Nggak usah sok suci Kamu, Vik!" ujar Agnes sambil mendorong tubuh Vika hingga tersungkur di lantai.

Suasana ruang istirahat menjadi begitu kacau. Agnes, Leni dan Audi mengeroyok Vika, sedangkan Suci dan karyawan lain hanya melihat tanpa ada yang membantu. Mereka dengan tega menjambak, menampar, bahkan menedang tubuh Vika penuh emosi. Vika hanya bisa menahan tangisnya.

"Hentikan!" teriak Fany.

"Fany, Kamu mau membela pencuri ini?" Audi menunjuk ke arah Vika.

"Pencuri ini pantas mendapatkan hukuman!" Leni melirik Vika sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Apa kalian punya bukti?" tanya Fany.

"Lihat itu!" Agnes menunjuk ke arah mekap dan dompet yang sudah berserakan di lantai dekat loker.

"Minggir kalian!" Mata Fany melotot, kemudian mulai berjalan mendekati Vika.

Ketiga orang itu menjauh, Fany membantu Vika berdiri. Keadaan Vika begitu kacau, rambutnya sudah acak-acakan, seragamnya kotor, dan sudut bibirnya berdarah.

"Kenapa kamu tidak melawan, Vik?" tanya Fany.

"A-aku ...." Tiba-tiba tangis Vika pecah.

"Sudah ... tenang, Kita nanti cari tahu kebenarannya. Sekarang obati dulu lukamu," ucap Fany, kemudian mengusap punggung Vika perlahan.

"Ternyata perasaan Kalian sudah mati, dan kelakuan Kalian bertiga seperti binatang!" Fany menatap sinis ke arah seluruh teman kerjanya itu.

Mulut Agnes, Audi, dan Leni menganga. Mereka tidak menyangka Fany mengatakan hal itu pada mereka.

"Cih, dasar sok suci!" ujar Audi.

Seketika langkah Vika berhenti, kemudian berkata, "Aku memang miskin, tapi mengambil hak orang lain, adalah pantangan bagiku!"

Fany memapahnya menuju pojok ruangan. Ia mengambil kotak P3K dari ruang admin, dan mengoleskan salep ke muka Vika.

"Kenapa tidak melawan?" tanya Fany sambil terus mengobati luka Vika.

"Untuk apa? Buang-buang tenaga kalau Aku melawan," ucap Vika.

"Buang-buang tenaga?" Fany menautkan kedua alisnya.

"Semua orang pasti percaya bahwa Aku yang mencuri uang Suci, bukan? Buktinya sudah ada di dalam dompetku," ucap Vika pasrah.

"Tenang, Aku akan membantumu," ucap Fany sambil memandang CCTV di pojok ruangan.

"Bagaimana cara mendapatkan rekamannya?" tanya Vika sambil mengikuti arah pandangan Fany.

"Besok Aku akan meminta rekaman CCTV kepada Bu Sofia," ucap Fany sambil tersenyum.

.

.

.

Keesokan harinya ...

"Bu, permisi. Maaf mengganggu waktu Bu Sofia," ucap Fany sopan.

"Hm ... kenapa?" tanya Bu Sofia dengan nada yang tidak begitu ramah di telinga.

"Itu ... apa ... Kami boleh melihat rekaman CCTV kemarin?" tanya Vika sedikit gugup.

"Untuk apa?" Bu Sofia memutar bola matanya, kemudian menatap ke arah Vika dan Fany.

"Begini Bu, kemarin Vika dituduh mencuri uang salah seorang SPG disini. Tapi Dia tidak merasa mencuri," jelas Fany.

"Dituduh? Ada bukti?" tanya bu Sofia.

"I-itu ... tiba-tiba ... dompetnya berada di dalam dompet mekapku, Bu," ucap Vika ragu.

"Sudah ada buktinya 'kan? Untuk apa memutar kembali CCTV Buang-buang waktu dan tenaga saja!" seru Bu Sofia.

"Kami tahu dompet itu tidak punya kaki! Untuk itu kami ingin tahu siapa sebenarnya orang yang menaruh dompet itu!" Fany menggebrak meja di hadapannya.

Badan Bu Sofia terkesiap mendengar bentakan Fany. Ia terus menatap dua perempuan di hadapannya, kemudian mulai memutar ulang rekaman CCTV. Dari layar komputer terlihat seorang perempuan dengan poni belah kiri, memasuki ruang istirahat. Dia menggunakan seragam pramuniaga.

Perempuan itu tahu betul bahwa letak CCTV menghadap ke loker karyawan. Dia menggunakan masker saat membuka loker, kemudian memasukkan sebuah dompet polkadot ke dalam dompet mekap Vika.

"Sial!" umpat Fany meninju telapak tangannya sendiri.

"Jadi, setelah ini mau dibantu apalagi?" tanya Bu Sofia.

"Sudah cukup, Bu. Terima Kasih waktunya," ucap Vika datar.

Vika dan Fany keluar dari ruangan Bu Sofia. Kepala Fany seakan mau meledak karena tidak bisa menebak si pelaku sebenarnya. Ia meremas rambutnya frustrasi.

"Kita mengalami jalan buntu, Vik," ucap Fany.

"Aku sudah tau orangnya." Vika tersenyum datar.

"Hah? Darimana Kau tahu?" Langkah Fany berhenti, dan matanya terbelalak.

"Dari poni rambutnya," ucap Vika sambil merapikan beberapa helai poni rambutnya yang terurai.

"Astaga!" Fany menutup bibirnya setelah mengetahui siapa orang yang Vika maksud. "Tega sekali dia! Lalu setelah ini, apa yang akan Kamu lakukan, Vik?"

"Biar Aku yang urus. Terima kasih ya Fan, sudah mau membantuku," ucap Vika sambil tersenyum.

"Sama-sama. Aku tidak rela orang baik sepertimu dianiaya seperti itu." Kini Fany menggenggam jemari lentik Vika.

.

.

.

Saat jam pulang, Vika melihat Suci sedang kebingungan di tempat parkir. Perlahan Vika mendekatinya.

"Ci, kenapa?" tanya Vika.

"Ban motorku bocor!" jawab Suci dengan nada ketus.

"Ayo, Aku temani mencari tempat tambal ban. Ini sudah larut malam." Vika manawarkan bantuan kepada Suci.

"Nggak usah!" Suci tak menggubris ajakan Vika, ia terus sibuk memainkan ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Atau mau nebeng Aku dulu? Kita kan searah. Besok pagi baru kesini lagi ambil motor dan dibawa ke bengkel." Vika memberi pilihan lain.

"Aku bilang nggak usah!" bentak Suci, matanya kini melotot ke arah Vika.

Vika sedikit terkejut dengan sikap Suci. Perempuan di depannya itu biasanya tenang dan jarang bicara. Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu kepada Vika?

"Ci, apa Aku memiliki salah padamu?" tanya Vika sambil tertunduk.

"Apa Kamu lupa? Kamu kemarin sudah mencuri dompetku!" teriak Suci.

"Aku sudah tau, Ci. Kamulah yang sengaja menaruh dompet itu ke dalam dompetku, bukan aku yang mencurinya." Vika tersenyum kecut.

Mendengar ucapan Vika, mata Suci terbelalak. Melihat ekspresi Suci yang terkejut Vika tersenyum.

"Salahku apa, Ci?" tanya Vika sekali lagi.

"KARENA KAMU ITU TERLALU BAIK!" seru Suci, matanya mulai mengembun, dan napasnya terlihat memburu.

"Apa salahnya menjadi orang baik, Ci?" tanya Vika.

"Aku sebenarnya iri padamu, Vik." Suci memalingkan muka, dan air matanya mulai menetes.

"Iri? Kenapa?" Vika merangkum wajah Suci, tatapan mereka kini beradu.

"Orang-orang selalu menyukaimu, padahal Kamu hanya sedikit membantu mereka," ucap Suci sambil terus terisak.

"Ci, Aku menolong orang lain karena memang mereka membutuhkan, tidak ada niat untuk mencari simpati mereka." Vika kini memegang bahu Suci.

"Tapi jika terhadapku, mengapa mereka berbeda!" teriak Suci.

"Apa maksudmu, Ci?" Vika memiringkan sedikit kepalanya.

"Aku selalu membantu apapun yang mereka minta agar mereka mau menyukaiku! Tapi apa? Mereka malah memanfaatkan setiap kebaikan yang sudah Aku berikan!" teriak Suci.

"Hei, bukankah mereka juga mempedulikanmu? Bahkan kemarin mereka membantumu untuk mendapatkan kembali uang dan dompetmu," ucap Vika dengan suara lembut.

Mendengar ucapan Vika, tangis Suci semakin pecah. Vika bisa merasakan sakit yang di derita Suci. Ia membawa Suci dalam pelukannya.

"Sudah, tidak apa-apa. Cukup buat dirimu sendiri bahagia dulu, membantu orang lain semampu kita," hibur Vika.

Setelah Suci tenang, mereka pulang bersama. Suci berulang kali mengucapkan maaf kepada Vika. Hari berikutnya, tanpa sepengetahuan Vika, Suci mengundurkan diri. Beberapa teman yang menindas ketika dompet Suci hilang, berbondong-bondong meminta maaf.

Dua bulan kemudian...

Hari ini Vika meminta bantuan Bulan untuk menjual motornya. Jadi, dia harus berangkat kerja dengan kendaraan umum. Sesampainya di tempat kerja, ia dibuat heran dengan suasana toko yang terlihat begitu menegangkan.

"Loli, Aku merasakan suasana yang sedikit menyeramkan hari ini. Ada apa?" tanya Vika yang sedang penasaran akut.

"Katanya ... nanti ... istri dari pemilik toko akan berkunjung," ucap Lolita dengan suara lirih.

"Terus, kenapa semua orang terlihat begitu tegang?" tanya Vika makin penasaran.

"Jadi ... Bu Nova itu tipe orang yang sangat galak. Kalau kita membuat kesalahan sedikit saja, bisa-bisa langsung dipecat!" ucap Lolita sambil terus berbisik.

"O ...." Vika membulatkan bibirnya sambil mengangguk.

.

.

.

Di food court, saat jam istirahat ...

" Permisi, boleh saya duduk disini?"

Vika yang sedang menikmati makan siangnya mendongak, kemudian mengangguk sopan. Di hadapannya kini sudah ada seorang wanita yang mungkin seumuran dengan ibunya.

"Namamu Vika?" Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada kursi, kemudian melipat tangan ke depan dada.

"I-Iya, Bu. Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Vika.

"Tentu saja tahu, Aku bisa mengetahui apa saja yang ingin kuketahui," ucap wanita itu dengan dagu diangkat.

"Ada apa ya, Bu?" tanya Vika.

"Sebelumnya perkenalkan, Saya Winda, ibu dari Mahendra Dirgantara." Wanita itu mengulurkan tangan.

"Saya Vika." Ia tersenyum, kemudian menjabat tangan Bu Winda.

"Langsung saja pada intinya. Saya sudah mengetahui semua tentang Kamu dan kehidupan pribadimu. Saya ingin menawarkan sebuah kerja sama," ucap Bu Winda.

"Kerja sama?" Vika mengerutkan dahi.

"Kamu membutuhkan uang dalam jumlah besar, bukan? Kebetulan saya juga menginginkan seorang cucu," ucap Bu Winda.

"Maaf, Saya tidak mengerti maksud Anda." Vika menggaruk kepalanya yang tidak gatal, karena tidak mengerti arah pembicaraan Bu Winda.

"Menikahlah dengan Mahen. Sebagai gantinya, Aku akan melunasi hutang ibumu dan menjamin seluruh biaya hidup kalian. Bahkan kamu bisa meneruskan pendidikanmu!" Sebuah seringai muncul di bibir Bu Winda.

"Apa? Bu Winda jangan bercanda," ucap Vika heran.

"Aku tidak menawarkan kesempatan ini dua kali. Pikirkan baik-baik. Permisi." Bu Winda meninggalkan sebuah kartu nama diatas meja.

Vika meraih kartu nama tersebut, lalu memasukkannya ke kantong kemeja, dan menyelesaikan makan. Setelah selesai, Vika kembali ke konter sepatu. Loli langsung pergi istirahat begitu Vika datang. Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik datang ke konternya.

"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa Saya bantu?" tanya Vika sopan.

"Apa? Ibu? Apa Aku terlihat seperti seorang ibu-ibu?" ucap perempuan itu sambil memincingkan mata.

"Maaf, jika Saya tidak sopan, Kak." Vika mencoba meminta maaf sambil membungkukkan badannya.

"Kamu SPG baru?" tanya perempuan itu.

"Iya Kak, Saya baru akan lepas training akhir bulan ini," jawab Vika.

"Oh, tunjukkan Aku koleksi terbaru produkmu!" Perempuan itu menyilangkan kedua lengannya ke atas dada.

"Mari Saya tunjukkan, Kak." Vika mengajak perempuan itu menuju rak tempat produk baru dipajang

Namun, perempuan itu sama sekali tidak bergeming. Vika mencoba mengajak lagi perempuan di hadapannya itu, tapi hasilnya sama.

"Bawakan kemari! Siapa Kamu berani memerintahkan untuk mengikutimu!" bentak perempuan itu.

Seketika Vika menjadi pusat perhatian. Para pengunjung melemparkan tatapan penuh tanya, sedangkan para karyawan memandangnya dengan tatapan kasihan.

"Panggilkan Bu Sofia kemari!" teriak perempuan itu.

Salah seorang SPG yang mendengar perintah perempuan itu langsung berlari ke kantor. Tak lama kemudian, Bu Sofia datang dengan nafas terengah-engah.

"Bagaimana Nona? Ada yang bisa Saya bantu?" tanya Bu Sofia.

"Hubungi koordinator sepatu Yongkru, dan suruh dia mengganti SPG ini!" seru perempuan itu sambil memandang Vika sinis.

"Ya? Maksud Nona Nova?" tanya Bu Sofia meminta penjelasan.

Mendengar nama Nova mata Vika terbelalak. Ia baru sadar, jika sekarang ia sedang berada dalam masalah besar.

"Tapi Nona, dia salah satu SPG dengan penjualan terbaik. Saya rasa ...." Belum sampai Bu Sofia menyelesaikan kalimatnya, Nova memotong.

"Atau Kamu mau menggantikannya untuk angkat kaki dari toko ini!" Nova menyipitkan matanya.

"Maaf ...." Bu Sofia menunduk.

"Tidak perlu!" teriak Vika.

"Saya akan mengundurkan diri, jadi kalian tidak usah repot-repot mengetik surat peringatan ataupun surat pemecatan!" ucap Vika dengan berani.

"Vik ...," lirih Bu Sofia dengan wajah sendu.

"Oh, bagus, kalau tahu diri!" ucap Nova sambil meninggalkan Vika dan Bu Sofia.

"Vik, Kamu serius?" Bu Sofia mendekati Vika, dan meraih kedua lengannya.

Vika memandang wajah Bu Sofia. Vika menggeleng, matanya mulai berembun, dan menghambur ke pelukannya.

"Aku sombong sekali, bagaimana ini?" Vika mulai terisak.

"Maaf, Aku tidak bisa membantu. Apa Kamu tidak tahu kalau dia adalah Bu Nova?" tanya Bu Sofia.

Vika menggeleng. Tak lama Lolita datang. Ia kebingungan melihat Vika yang sedang menangis sesegukan.

"Vika kenapa? Maaf, Loli lupa memberitahumu. Bu Nova paling benci dipanggil dengan sapaan ibu," ucap Lolita penuh penyesalan.

"Huuuuaaaaaaa ... Loli!" Tangis Vika semakin pecah.

.

.

.

Vika tak menyangka, rejekinya di toko itu habis secepat ini. Ia berjalan lunglai menuju halte bus. Ia berharap motornya terjual secepat mungkin. Vika menghubungi Bulan, teman yang tadi pagi membawa motornya untuk dijual.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Harap coba hubungi beberapa saat lagi.

Mendengar sapaan dari operator seluler, membuat perasaan Vika tidak enak. Ia mencoba lagi menghubungi nomor temannya. Sekali, dua kali, bahkan ia mencoba hal yang sama puluhan kali. Tapi hasilnya sama. Nomor temannya itu tidak dapat dihubungi.

Vika mulai panik, ia memesan ojek online untuk enyambangi rumah temannya itu. Saat sampai di rumah temannya, bangunan itu sudah kosong. Ia mencoba bertanya kepada tetangga.

"Permisi Pak, apa Bulan ada?" tanya Vika pada seorang lelaki paruh baya yang sedang melintas.

"Bulan? Dia sudah seminggu lebih pindah rumah," jawab lelaki itu.

"Apa Bapak tahu, dimana dia tinggal sekarang?" tanya Vika.

"Waduh, maaf, Dek. Saya tidak tahu. Apa Adek ini kena tipu juga?" tanya bapak itu.

"Maksud Bapak?" Vika menyatukan alisnya.

"Bulan itu makelar bodong! Sudah banyak yang kena tipu sama dia!" ucap bapak itu penuh emosi.

Setelah itu bapak itu berlalu. Seketika tubuh Vika lemas. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semua kejadian ini kepada ibunya.

.

.

.

Bersambung ...

Lunas

Vika membersihkan tubuhnya setelah lelah menangis. Ia mengguyur tubuhnya dengan air. Berharap seluruh penderitaannya ikut luntur bersama keringat sisa perjuangan hari ini.

Setelah selesai, Vika membalut tubuh rampingnya dengan handuk halus berwarna biru muda. Saat hendak melemparkan seragam ke keranjang pakaian kotor, ia teringat tentang tawaran Bu Winda tadi siang.

Vika merogoh saku kemejanya dan mengambil kartu nama Bu Winda. Lalu ia menyimpannya ke dalam laci nakas.

***

Pagi itu keluarga Dirgantara sedang menikmati sarapan bersama. Berbagai menu ala restoran terhidang di atas meja.

Saat sedang menikmati makan, ponsel bu Winda berdering. Mendengar deringan ponsel istrinya Pak Theo berdehem dan menatap tajam ke arah istrinya.

"Ehm, apa Kamu lupa peraturan rumah ini?" ucap Theo mengingatkan istrinya.

"Maaf Pa, aku akan mematikan ponselku dulu," jawab Winda patuh.

Setelah itu Bu Winda mematikan ponselnya. Hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring.

"Bagaimana keadaan Mahen dan istrinya?" tanya pak Theo kepada istrinya.

"Masih belum," jawab bu Winda.

Seketika nafsu makannya menghilang. Suaminya selalu menunggu berita kehamilan Nova, menantunya.

"Apa mereka tidak ingin mencoba program bayi tabung?" tanya pak Theo.

"Apa Papa lupa? Dua tahun lalu saat Papa membahas tentang program bayi tabung?" Bu Winda mengingatkan kembali kejadian dua tahun lalu.

"Papa heran, apa mereka tidak merasa kesepian? Mereka sudah menikah lima tahun. Normalnya, pasangan lain akan mencoba mengadopsi anak. Tapi mereka?" ucap pak Theo menyayangkan prinsip putra dan menantunya.

Mahendra dan Nova memang sama-sama keras kepala dan memiliki prinsip yang kuat.

Pasangan itu hanya ingin memiliki anak dari darah daging mereka sendiri dan dengan cara senormal mungkin.

Setelah selesai sarapan, Bu Winda segera menyalakan ponselnya. Saat dibuka, sebuah pesan masuk.

Maaf Bu. Saya mengganggu. Saya Vika, apa hari ini kita bisa bertemu?

Begitu membaca pesan itu, Bu Winda langsung menelepon Vika.

"Halo." Suara lembut Vika dengan cepat menyapa pendengaran bu Winda.

"Orion Cafe jam lima sore," ucap Bu Winda singkat lalu mematikan sambungan telepon.

Di ujung telepon Vika menggerutu. Ia tak menyangka, diperlakukan seremeh itu. Tapi apa mau dikata, dia harus segera mendapatkan uang itu.

***

Vika bersiap-siap menemui Bu Winda. Ia menggunakan gaun pendek lengan tulip bermotif bunga daisy. Ia memulaskan mekap bernuansa peach.

Gadis itu menggunakan flat shoes berwarna oranye dilengkapi dengan tas selempang berwarna senada. Ia menggerai rambut hitam panjangnya.

"Bu, Vika keluar sebentar ya," pamit Vika kepada ibunya.

"Mau kemana?" tanya Bu Lasmi.

"Mau interview, hehe," bohong Vika.

"Baiklah, hati-hati di jalan," kata Bu Lasmi.

"Iya Bu," sahut Vika sambil tersenyum.

Kemudian Vika keluar rumah. Saat baru sampai halaman, sang ibu menyusul keluar.

"Vika!" teriak Bu Lasmi.

Vika menoleh ke arah ibunya. Ibunya terlihat begitu bersemangat. Dia mengepalkan tangan lalu meninjukannya ke udara.

"Semangat! Pasti diterima!" ujar Bu Lasmi memberi semangat.

Vika merasa bersalah saat melihat ibunya. Ia harus berbohong. Jika mengetahui apa yang akan ia lakukan, pasti ibunya akan menentangnya.

Setelah menempuh perjalanan 30 menit, akhirnya Vika sampai di Orion Cafe. Ia memasuki kafe elit itu dengan gugup.

Seorang pelayan menyapa Vika.

"Selamat sore, Nona. Apakah sudah memesan meja?" tanya pelayan itu sopan.

"Atas nama Winda Dirgantara," ucap Vika.

"Baik, mari ikuti saya," pelayan itu menunjukkan jalan menuju sebuah ruangan.

Sesampainya di depan pintu pelayan itu meninggalkan Vika. Dipintu ruangan tersebut terukir huruf bertuliskan VIP. Tangan Vika gemetar, ia membuka tuas pintu perlahan.

Betapa terkejutnya Vika saat membuka pintu. Ia sedang memergoki sepasang kekasih sedang berciuman begitu mesra.

"Astaga!" teriak Vika sambil menutup matanya dengan telapak tangannya.

Kedua orang itupun sama terkejutnya. Mereka mulai merapikan pakaian yang mulai terlihat acak-acakan.

"Si-siapa kamu?" tanya si pria.

"Ahh ... itu ... sepertinya pelayan salah menunjukkan ruangan. Saya minta maaf!" ucap Vika sambil terus memejamkan mata.

Saat ia hendak keluar ruangan si pria berteriak.

"Tunggu! Kamu si pump shoes kan?" tanyanya.

Sontak badan Vika berbalik arah. Ia semakin terkejut saat mengetahui orang yang ada di dalam ruangan itu adalah Mahen dan Nova.

"K-kalian?" ucap Vika terbata-bata.

"Kamu, ngapain kesini?" tanya Nova ketus.

"Aku ... ingin bertemu ..., " jawab Vika ragu.

Vika belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tubuhnya terdorong dari belakang. Otomatis Vika terjungkal, ia mengaduh dan berusaha bangkit.

"Maaf, saya tidak tahu kalau ada

kamu dibalik pintu!" ucap Bu Winda sambil membantu Vika bangun.

"Iya Bu, tidak apa-apa," Vika merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya.

"Kamu mimisan!" teriak Bu Winda.

Bu Winda merogoh tasnya, lalu mencoba menyeka darah yang mengalir dari dalam hidung Vika dengan tisu.

"Sini duduk dulu," ucap Bu Winda.

Beberapa menit kemudian, setelah mimisan Vika berhenti mereka memulai perbincangan.

"Jadi, apa maksud Mama mengumpulkan kami disini?" tanya Mahen.

"Bukankah Kalian menginginkan seorang anak?" tanya Bu Winda kepada Mahen dan Nova.

"Ma, Kami sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi memang Tuhan belum berkehendak. Lalu kami bisa apa?" ucap Nova lesu.

"Tapi kenapa tidak mencoba menikahi perempuan ini?" ujar Bu Winda.

Vika hanya menunduk, ia tak menyangka harus mendengarkan percakapan keluarga terpandang ini.

"Dia? Aku tidak mau Ma!" teriak Mahen.

"Ini satu-satunya cara kalau kamu menginginkan keturunan dengan cara senormal mungkin!" tegas Bu Winda.

Ia berusaha mengingatkan kembali tentang prinsip Nova dan Mahen tentang cara mendapatkan keturunan.

"Ya tapi nggak begini juga Ma, caranya! Bukankah Dulu Mama adalah orang yang menentang keras poligami?" ucap Mahen mencoba membalikkan keadaan.

Mata bu Winda melotot. Ia menampar putra kesayangannya itu.

"Jangan pernah mengungkit kejadian itu!" bentak Bu Winda.

Mahen hanya mematung, dia menunduk. Nova menggengam erat tangan suaminya untuk memberi kekuatan.

"Jadi, kamu setuju, Vik?" tanya Bu Winda memastikan.

Vika sebenarnya bimbang. Ia tidak mau menjadi duri di dalam rumah tangga Mahen dan Nova.

Tapi keadaan memaksanya untuk menyetujui persyaratan dari Bu Winda. Vika mengangguk perlahan, disusul tatapan tajam dari Mahen dan Nova.

"Kami pergi! Lakukan apapun yang Mama mau!"

Mahen meninggalkan ruangan itu bersama Nova. Setelah pasangan itu pergi, Vika dan Bu Winda melanjutkan perbincangan.

"Aku akan mentransfer separuh dari uang yang aku janjikan, sisanya akan kuberikan setelh kamu melahirkan anak," ucap Bu Winda.

"Baik Bu, tapi bagaimana setelah saya melahirkan anak saya?" tanya Vika.

"Kamu boleh pergi, melanjutkan lagi kehidupanmu dengan tenang," ucap Bu Winda.

Setelah menimbang lagi, akhirnya Vika menyetujuinya. Yang terpenting saat ini adalah, dia bisa membayar hutang kepada juragan Banyu.

Bu Winda menyodorkan selembar kertas berisi sebuah kontrak perjanjian. Setelah membaca semua isi surat itu, Vika menghela nafas. Lalu menandatanganinya.

***

Dalam perjalanan sebuah notifikasi dari bank masuk. Benar saja, Bu Winda langsung mentransfer sejumlah uang yang sangat cukup untuk melunasi hutang ibunya.

Sebelum pulang ke rumah, Vika mampir ke rumah juragan Banyu. Ia meminta nomor rekeningnya, lalu mentransfer seluruh hutang beserta bunganya.

"Haha ... apa kamu jual keperawanan hingga bisa melunasi hutang ibumu dalam waktu yang begitu singkat?" ejek juragan Banyu.

"Bukan urusan Juragan, saya mendapatkan uang itu dari mana. Yang penting urusan kita sudah selesai!" ucap Vika.

Kemudian juragan Banyu menyerahkan map berisi sertifikat tanah milik almarhum ayahnya.

"Senang berbisnis denganmu Vik! Hahaha!" ujar juragan Banyu.

Sekarang Vika sedang memutar otak, mencari alasan untuk pergi dari rumah.

***

Satu minggu kemudian Vika dan Mahen menikah. Pernikahan itu berlangsung sangat sederhana. Hanya ada kedua mempelai, orang tua Mahen, Nova, dua orang saksi, dan penghulu.

Mereka menikah siri di kediaman Mahen. Setelah acara ijab kabul selesai, para saksi dan penghulu berpamitan.

Vika, Pak Theo, dan Bu Winda duduk di ruang tamu. Sedangkan Mahen dan Nova harus pergi menghadiri pesta pernikahan salah satu model yang bekerja untuk Nova.

"Vika, maaf ya sudah menyeretmu ke dalam masalah keluarga kami," ujar Pak Theo.

"Tidak apa-apa, Pak. Hanya ini yang bisa saya lakukan karena Bu Winda sudah bersedia membantu masalah keluarga saya," kata Vika

"Saya harap Kamu segera memberi kami keturunan, aku malu setiap arisan para ibu-ibu selalu memamerkan cucu mereka kepada anggota arisan lain!" ucap Bu Winda.

"Ma, tolong jangan bebani Vika dengan urusan anak. Dia juga butuh waktu!" ucap Pak Theo.

Vika hanya menyimak cek cok ringan mereka. Setelah lelah beradu argumen, mereka berpamitan.

"Saya pulang dulu ya, Vik. Baik-baik di rumah. Jika butuh apa-apa bisa hubungi aku atau Mama," pesan Pak Theo.

Vika hanya mengangguk. Setelah memastikan mertuanya pergi, Vika masuk kembali ke dalam rumah.

Ia terheran-heran. Bagaimana bisa mereka mengurus rumah sebesar ini tanpa ART?

Padahal Mahen dan Nova adalah orang-orang yang super sibuk. Vika memutuskan untuk menelepon ibunya sambil menunggu Mahen dan Nova pulang.

"Bu, apakabar?" tanya Vika.

"Baik, Nak. Gimana kerja magangnya?" tanya Bu Lasmi.

"Lancar kok Bu. Disini orangnya baik dan banyak yang saling membantu," bohong Vika.

Vika dan ibunya terus berbincang untuk melepas rindu. Saat meninggalkan rumah Vika berbohong kepada ibunya.

Ia mengatakan bahwa dia mendapatkan tawaran kerja magang di perusahaan asing. Vika tersenyum kecut mengingat kebohongan itu.

"Vika kerja dulu ya, Bu. Nanti Vika telepon lagi," pamit Vika.

Akhirnya sambungan telepon terputus. Cacing di perut Vika meronta minta makan.

Vika melangkah ke dapur dengan malas. Ia membuka kulkas berharap ada banyak bahan makanan di sana. Tapi harapannya pupus. Kulkas dua pintu itu kosong melompong hanya berisi air mineral dan beberapa pot krim wajah.

"Ck, pasangan ini sepertinya tidak pernah makan di rumah," gumam Vika.

Vika kembali lagi ke ruang tamu dan memutuskan untuk pesan makanan lewat aplikasi.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 23:00 tapi Mahen dan Nova belum pulang. Mata Vika sudah mulai pedas karena kantuk yang ia tahan.

Vika akhirnya tidur di sofa malam itu. Dia tak tahu harus menempati kamar mana. Mahen bahkan sama sekali tidak menghubunginya.

Keesokan paginya Vika bangun dalam kondisi leher kaku dan badan pegal-pegal. Otaknya memerintahkan tubuh untuk segera bangkit dari sofa. Akhirnya Vika bangun lalu masuk ke kamar mandi.

Di lantai atas Mahen dan Nova masih tertidur pulas setelah party sampai subuh. Nova bangun duluan kemudian mandi.

Selesai mandi, Nova menghujani Mahen dengan ciuman. Hal itu membuat tubuh Mahen menggeliat dan akhirnya bangun.

"Selamat pagi, Sayang," ucap Nova.

"Pagi, Cintaku," jawab Mahen.

"Aku harus segera berangkat ke butik. Ada janji dengan Loui," pamit Nova.

"Loui? Hanya pertemuan biasa, kan?" cecar Mahen.

Nova mengangguk lalu mencium bibir Mahen sekilas. Nova bisa memaklumi sikap suaminya itu saat ia menyebutkan nama Loui. Mahen selalu cemburu kepada lelaki itu.

Loui adalah model pria dan juga sahabat Nova sejak kecil. Tapi sebagai seorang pria, Mahen tahu sebenarnya Loui memiliki ketertarikan kepada istrinya.

Saat Nova turun ke lantai bawah ia mendapati Vika sedang membongkar koper. Ia hampir lupa jika sekarang Vika sudah menjadi madunya.

Nova mendekati Vika, ia melemparkan tatapan sinis. Vika mendongak karena merasa diawasi.

"P-pagi, Kak," sapa Vika gugup.

"Pindahkan kopermu ke sana!" perintah Nova sambil menunjuk sebuah ruangan di dekat dapur.

"Baik, Kak," ucap Vika.

"Disana kamar bekas ART, pakai saja. Toh kamu cuma sementara tinggal di sini," ujar Nova sambil tersenyum licik.

"Baik, Kak," ucap Vika.

"Jangan lupa bersihkan rumah ini! Tolong tahu diri ya, kamu disini menumpang! Anggap saja sebagai ganti karena kami sudah memberimu tempat tinggal!" kata Nova.

Deg!

Hati Vika terasa begitu nyeri. Apakah menjadi miskin itu pantas direndahkan seperti ini?

Vika sudah tak tahan dengan perkataan Nova. Ia berdiri dan melayangkan tatapan tajam.

"Bu Winda yang menyeret aku ke dalam kekacauan ini! Semua ini bukan seutuhnya salahku!" teriak Vika.

"Hah, kamu dibayar berapa oleh mama agar mau menjadi perempuan j*lang!" ejek Nova.

Reflek tangan Vika menampar pipi halus Nova.

"Aaaaakkk!!!" teriak Nova.

Dalam sekejap rambut Vika sudah berada dalam genggaman tangan Nova. Ia diseret menuju ke arah kamar mandi.

"Lepaskan!" teriak Vika.

"Tidak! Jika kamu menamparku, maka aku harus membalasmu lebih kejam!" bentak Nova.

Sesampainya di kamar mandi, Nova mengguyur tubuh Vika dengan air. Berulang kali Vika meronta karena hampir kehilangan napas.

"Rasakan! Jangan pernah berani kepadaku!" ujar Nova sambil terus mengguyur tubuh Vika.

"Hentikan!!!" teriak Mahen.

Bersambung...

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!