"Kak, bangun. Vika sudah siapin sarapan," ucap Vika sambil menggoyangkan tubuh Mahen.
Lelaki yang masih terbaring lemas itu tidak menghiraukan Vika. Ia hanya menggeliat. Vika mencoba mengecek suhu tubuh suaminya itu lagi. Gadis itu menempelkan punggung tangannya ke dahi Mahen. Menyadari dahinya disentuh, Mahen menepis kasar lengan Vika.
"Pergi sana!" ujar Mahen dengan suara yang terdengar masih serak.
"Kakak sudah nggak demam, hari ini Vika mulai kerja lagi. Vika sudah siapin sarapan di atas nakas. Jangan lupa .... "
"Aku bilang pergi! Cerewet sekali! Makin pusing aku mendengarkan suaramu!" bentak Mahen.
Vika terkejut mendengar bentakan Mahen. Entah mengapa ucapan suaminya itu terdengar begitu menyakitkan. Perhatiannya terasa sia-sia, ia berusaha melakukan yang terbaik agar Mahen lekas sembuh. Tapi apa ini? Yang ia dapatkan hanya cacian.
Tanpa berkata apapun, Vika meninggalkan Mahen sambil menahan air matanya yang mulai berdesakan ingin keluar. Setelah keluar kamar dan menutup pintu, air mata Vika lolos. Dadanya terasa begitu sesak karena menahan isakan. Gadis cantik itu tidak ingin terlihat lemah dihadapan Mahen.
Selepas menumpahkan seluruh air matanya, Vika menuruni anak tangga lalu menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Matanya terlihat sembab karena menangis. Akhirnya Vika mengompres matanya dengan air es agar sisa tangisnya tersamarkan.
.
.
.
"Vik, Bu Angel meminta laporan penjualan bulan lalu. Ada selisih dengan omset laporan store," ucap Loli.
Menyadari Vika tidak mendengar apa yang ia katakan, Loli menepuk pundak sahabatnya itu. Sontak Vika menoleh, dia terlihat kebingungan.
"Hm? Apa?"
"Kamu kenapa? Ada masalah?"
"Ah, nggak kok, Loli."
"Jadi, denger kan apa yang sedang aku bicarakan tadi?"
Vika menggeleng tanda tidak tahu. Loli menepuk jidatnya melihat sikap tidak profesional Vika.
"Bu Angel mau kita kirim ulang laporan penjualan, ada selisih dengan omset yang masuk di store," ucap Loli mengulangi lagi ucapannya.
"Oke, aku kirim sekarang ya via email,"
"Hm," ucap Loli dengan nada sedikit kesal.
Fany yang baru selesai istirahat menghampiri Loli.
"Kenapa sih, kelihatan kesel?" tanya Fany.
"Itu, si Vika, seharian ini melamun terus. Kerja juga nggak fokus, aku tanya kenapa katanya nggak ada masalah apa-apa," gerutu Loli.
"Nanti aku coba bicara sama Vika,"
Seusai tutup toko, Fany mencoba berbicara denga Vika. Ia mengajak sahabatnya makan di tenda pecel lele langganan mereka.
"Makan dulu, yuk, Vik!"
"Tapi aku harus segera pulang," tolak Vika halus.
"Sebentar aja, aku mau ngomong sesuatu."
Setelah sampai di warung tenda, Fany mencoba membuka pembicaraan. Vika masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Vik, ada masalah? Kalau ada boleh kok cerita ke aku. Siapa tahu aku bisa bantu?"
Mendengar tawaran Fany, Vika menghela nafas.
"Aku nggak yakin Kamu bisa bantu, Fan?"
"Aku bisa bantu meringankan beban pikiranmu, jadi cerita aja. Aku ini pendengar yang baik loh!" ujar Fany diikuti senyum yang meneduhkan.
"Misalkan ... Kamu sedang melakukan apa yang seharusnya dilakukan, tapi semua itu tidak pernah dihargai bahkan dianggap selalu salah. Apa yang akan Kamu lakukan?" tanya Vika.
"Berhenti. Mengerjakan hal yang sia-sia itu namanya."
"Masalahnya, hal itu tidak bisa kau hentikan."
"Kenapa?"
"Karena ... ini terlalu rumit untuk dijelaskan," ucap Vika sambil membuang napasnya kasar.
"Vik, Kamu nggak sendiri. Kalau butuh teman buat cerita ada aku sama Loli yang siap dengerin keluh kesahmu."
"Thanks yaa Fan. Aku beruntung dipertemukan dengan orang sebaik kalian," ucap Vika diiringi senyum tipis.
Setelah makan, Vika langsung kembali ke rumah. Ia sudah mengirimkan beberapa pesan kepada Mahen untuk makan dan minum obat. Bu Winda mengabari kalau menjenguk dan membawakan makanan untuk Mahen.
Sesampainya di rumah, Vika langsung membersihkan diri lalu membuat secangkir teh hangat untuk Mahen. Perlahan dinaikinya anak tangga, Vika masuk ke kamar Mahen yang terlihat temaram.
"Kak, belum tidur?" sapa Vika melihat Mahen yang masih terjaga sambil membaca sebuah buku.
"Hm,"
"Ah, ini aku buatkan teh buat Kak Mahen," ucap Vika sambil meletakkan tehnya diatas nakas.
Mahen masih mengacuhkan Vika, ia tetap fokus dengan bukunya yang dipegang. Ketika Vika hampir mencapai pintu, Mahen memanggilnya.
"Vik, bisa aku minta tolong?"
"Apa Kak?"
"Tolong bacakan aku bagian ini," ucap Mahen sembari menunjuk buku yang ada di tangannya.
"Ah, baik." Vika mulai berjalan mendekati Mahen.
Vika mengambil alih buku yang dipegang Mahen. Ia mulai membacakan paragraf demi paragraf.
"Cinta itu seperti angin, kamu tidak bisa melihatnya tapi bisa merasakannya .... "
"Boleh aku memastikan sesuatu?" ucap Mahen memotong Vika.
"Hm?"
"Mendekat kemari," ucap Mahen sambil menepuk kasur empuk di sampingnya.
Dengan patuh Vika mendekat dan duduk di samping Mahen. Sekonyong-konyong Mahen menarik lengan Vika dan mendaratkan bibirnya diatas bibir Vika. Sedetik, dua detik, tiga detik, bibir Mahen hanya terdiam disana. Mata Vika yang masih terbelalak, tiba-tiba ikut terpejam.
Perlahan tapi pasti, Mahen mulai mengecup lembut bibir Vika. Gadis itu tak membalasnya, lebih tepatnya ia tak tahu caranya berciuman. Sampai akhirnya Mahen melepaskan tautan bibirnya.
"Maaf, tapi tolong lupakan ini. Anggap saja tidak pernah terjadi. Kau bisa keluar," ucap Mahen.
Vika hanya bengong, ia tak habis fikir bisa-bisanya lelaki itu menciumnya tanpa permisi kemudian memintanya untuk melupakannya. Akhirnya Vika keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Ia membanting pintu kemudian berlari masuk ke kamarnya.
"Sialan! Dia pikir ciumanku tidak berharga? Ha?"
Melihat guling di atas kasur, Vika meninjunya berulang kali. Berulang kali guling tak berdosa itu ia tendang, dipukul, ditindih, kemudian dilemparnya. Hal itu ia lakukan sampai lelah sendiri.
"Hahh! Maksudmu apa tuan Mahen?" gerutu Vika.
Adegan ciuman kembali terlintas di otak kotor Vika. Lembutnya bibir Mahen masih terasa hingga kini. Tanpa sadar Vika mengusap bibir mungilnya. Sebuah senyuman terukir disana. Sedetik kemudian Vika menggeleng.
"Dasar otak mesum!" ucap Vika sembari menoyor kepalanya sendiri.
Sejak hari itu Vika selalu memperhatikan Mahen diam-diam. Di mata Vika, suaminya itu makin hari terlihat makin tampan. Dalam diam Vika mengaguminya. Apa hanya karena sebuah ciuman, Vika jatuh cinta pada Mahen? Entahlah. Yang jelas, kini baginya Mahen adalah seseorang yang wajib ia lihat setiap hari. Walau hanya sekelebat bayangan layaknya hantu, Vika harus menatap Mahen.
"Ya, Ma. Hari ini Vika pulang ke Rumah Besar," ucap Vika sambil menempelkan ponsel pintarnya di telinga.
" ... "
"Iya, sepulang kerja Vika langsung kesana," Vika mengakhiri teleponnya.
Gadis itu berjalan ke konter sepatunya sambil mengetikkan pesan untuk Mahen. Tanpa sengaja, Vika menabrak sosok tinggi besar tapi bukan genderuwo. Ia menabrak seorang lelaki tampan yang sepertinya tidak asing. Vika kembali menggali memori otaknya. Saat file yang berisi wajah lelaki itu terdeteksi, sebuah senyum konyol menghiasi bibirnya.
"Apa kabar, Nona?"
"Hehe, Tuan Penguntit ... halo!" sapa Vika.
"Kamu ... bekerja disini?"
"Iya, Pak. Saya SPG disini, jualan sepatu."
"Kebetulan saya sedang mencari sepasang sepatu pantofel, boleh saya melihat-lihat dulu? Siapa tahu cocok?"
"Te-tentu saja boleh, Pak. Mari." Vika berjalan lebih dulu sambil menunjukkan rak berisi sepatu pantofel pria.
Setelah melihat-lihat beberapa sepatu dan juga mendengar saran dari Vika, akhirnya pria itu memilih sepatu berwarna coklat tua.
"Baik, terima kasih. Saya bayar dulu," pamit lelaki itu.
Loli yang sedari tadi memperhatikan Vika dan lelaki itu mendekat. Wajahnya menunjukkan ekspresi kagum.
"Tampan sekali dia, terlihat sangat charming. Kalian terlihat akrab sekali. Apa kalian saling mengenal?" tanya Loli.
"Hehe, itu .... " Akhirnya Vika menjelaskan kepada Loli bagaimana ia dan lelaki itu bertemu. Tawa Loli pecah mendengar penuturan sahabatnya.
"Hahahaha, bisa-bisanya Kamu Vik!" seru Loli.
"Ya ... namanya waspada. Sekarang kan banyak sekali modus kejahatan Loli," ucap Vika sambil mengusap tengkuknya.
"Tapi parah banget Kamu, Vik. Terlalu percaya diri!" Sekali lagi tawa Loli pecah.
"Apa yang kalian tertawakan?"
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments