Vika membersihkan tubuhnya setelah lelah menangis. Ia mengguyur tubuhnya dengan air. Berharap seluruh penderitaannya ikut luntur bersama keringat sisa perjuangan hari ini.
Setelah selesai, Vika membalut tubuh rampingnya dengan handuk halus berwarna biru muda. Saat hendak melemparkan seragam ke keranjang pakaian kotor, ia teringat tentang tawaran Bu Winda tadi siang.
Vika merogoh saku kemejanya dan mengambil kartu nama Bu Winda. Lalu ia menyimpannya ke dalam laci nakas.
***
Pagi itu keluarga Dirgantara sedang menikmati sarapan bersama. Berbagai menu ala restoran terhidang di atas meja.
Saat sedang menikmati makan, ponsel bu Winda berdering. Mendengar deringan ponsel istrinya Pak Theo berdehem dan menatap tajam ke arah istrinya.
"Ehm, apa Kamu lupa peraturan rumah ini?" ucap Theo mengingatkan istrinya.
"Maaf Pa, aku akan mematikan ponselku dulu," jawab Winda patuh.
Setelah itu Bu Winda mematikan ponselnya. Hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring.
"Bagaimana keadaan Mahen dan istrinya?" tanya pak Theo kepada istrinya.
"Masih belum," jawab bu Winda.
Seketika nafsu makannya menghilang. Suaminya selalu menunggu berita kehamilan Nova, menantunya.
"Apa mereka tidak ingin mencoba program bayi tabung?" tanya pak Theo.
"Apa Papa lupa? Dua tahun lalu saat Papa membahas tentang program bayi tabung?" Bu Winda mengingatkan kembali kejadian dua tahun lalu.
"Papa heran, apa mereka tidak merasa kesepian? Mereka sudah menikah lima tahun. Normalnya, pasangan lain akan mencoba mengadopsi anak. Tapi mereka?" ucap pak Theo menyayangkan prinsip putra dan menantunya.
Mahendra dan Nova memang sama-sama keras kepala dan memiliki prinsip yang kuat.
Pasangan itu hanya ingin memiliki anak dari darah daging mereka sendiri dan dengan cara senormal mungkin.
Setelah selesai sarapan, Bu Winda segera menyalakan ponselnya. Saat dibuka, sebuah pesan masuk.
Maaf Bu. Saya mengganggu. Saya Vika, apa hari ini kita bisa bertemu?
Begitu membaca pesan itu, Bu Winda langsung menelepon Vika.
"Halo." Suara lembut Vika dengan cepat menyapa pendengaran bu Winda.
"Orion Cafe jam lima sore," ucap Bu Winda singkat lalu mematikan sambungan telepon.
Di ujung telepon Vika menggerutu. Ia tak menyangka, diperlakukan seremeh itu. Tapi apa mau dikata, dia harus segera mendapatkan uang itu.
***
Vika bersiap-siap menemui Bu Winda. Ia menggunakan gaun pendek lengan tulip bermotif bunga daisy. Ia memulaskan mekap bernuansa peach.
Gadis itu menggunakan flat shoes berwarna oranye dilengkapi dengan tas selempang berwarna senada. Ia menggerai rambut hitam panjangnya.
"Bu, Vika keluar sebentar ya," pamit Vika kepada ibunya.
"Mau kemana?" tanya Bu Lasmi.
"Mau interview, hehe," bohong Vika.
"Baiklah, hati-hati di jalan," kata Bu Lasmi.
"Iya Bu," sahut Vika sambil tersenyum.
Kemudian Vika keluar rumah. Saat baru sampai halaman, sang ibu menyusul keluar.
"Vika!" teriak Bu Lasmi.
Vika menoleh ke arah ibunya. Ibunya terlihat begitu bersemangat. Dia mengepalkan tangan lalu meninjukannya ke udara.
"Semangat! Pasti diterima!" ujar Bu Lasmi memberi semangat.
Vika merasa bersalah saat melihat ibunya. Ia harus berbohong. Jika mengetahui apa yang akan ia lakukan, pasti ibunya akan menentangnya.
Setelah menempuh perjalanan 30 menit, akhirnya Vika sampai di Orion Cafe. Ia memasuki kafe elit itu dengan gugup.
Seorang pelayan menyapa Vika.
"Selamat sore, Nona. Apakah sudah memesan meja?" tanya pelayan itu sopan.
"Atas nama Winda Dirgantara," ucap Vika.
"Baik, mari ikuti saya," pelayan itu menunjukkan jalan menuju sebuah ruangan.
Sesampainya di depan pintu pelayan itu meninggalkan Vika. Dipintu ruangan tersebut terukir huruf bertuliskan VIP. Tangan Vika gemetar, ia membuka tuas pintu perlahan.
Betapa terkejutnya Vika saat membuka pintu. Ia sedang memergoki sepasang kekasih sedang berciuman begitu mesra.
"Astaga!" teriak Vika sambil menutup matanya dengan telapak tangannya.
Kedua orang itupun sama terkejutnya. Mereka mulai merapikan pakaian yang mulai terlihat acak-acakan.
"Si-siapa kamu?" tanya si pria.
"Ahh ... itu ... sepertinya pelayan salah menunjukkan ruangan. Saya minta maaf!" ucap Vika sambil terus memejamkan mata.
Saat ia hendak keluar ruangan si pria berteriak.
"Tunggu! Kamu si pump shoes kan?" tanyanya.
Sontak badan Vika berbalik arah. Ia semakin terkejut saat mengetahui orang yang ada di dalam ruangan itu adalah Mahen dan Nova.
"K-kalian?" ucap Vika terbata-bata.
"Kamu, ngapain kesini?" tanya Nova ketus.
"Aku ... ingin bertemu ..., " jawab Vika ragu.
Vika belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tubuhnya terdorong dari belakang. Otomatis Vika terjungkal, ia mengaduh dan berusaha bangkit.
"Maaf, saya tidak tahu kalau ada
kamu dibalik pintu!" ucap Bu Winda sambil membantu Vika bangun.
"Iya Bu, tidak apa-apa," Vika merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya.
"Kamu mimisan!" teriak Bu Winda.
Bu Winda merogoh tasnya, lalu mencoba menyeka darah yang mengalir dari dalam hidung Vika dengan tisu.
"Sini duduk dulu," ucap Bu Winda.
Beberapa menit kemudian, setelah mimisan Vika berhenti mereka memulai perbincangan.
"Jadi, apa maksud Mama mengumpulkan kami disini?" tanya Mahen.
"Bukankah Kalian menginginkan seorang anak?" tanya Bu Winda kepada Mahen dan Nova.
"Ma, Kami sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi memang Tuhan belum berkehendak. Lalu kami bisa apa?" ucap Nova lesu.
"Tapi kenapa tidak mencoba menikahi perempuan ini?" ujar Bu Winda.
Vika hanya menunduk, ia tak menyangka harus mendengarkan percakapan keluarga terpandang ini.
"Dia? Aku tidak mau Ma!" teriak Mahen.
"Ini satu-satunya cara kalau kamu menginginkan keturunan dengan cara senormal mungkin!" tegas Bu Winda.
Ia berusaha mengingatkan kembali tentang prinsip Nova dan Mahen tentang cara mendapatkan keturunan.
"Ya tapi nggak begini juga Ma, caranya! Bukankah Dulu Mama adalah orang yang menentang keras poligami?" ucap Mahen mencoba membalikkan keadaan.
Mata bu Winda melotot. Ia menampar putra kesayangannya itu.
"Jangan pernah mengungkit kejadian itu!" bentak Bu Winda.
Mahen hanya mematung, dia menunduk. Nova menggengam erat tangan suaminya untuk memberi kekuatan.
"Jadi, kamu setuju, Vik?" tanya Bu Winda memastikan.
Vika sebenarnya bimbang. Ia tidak mau menjadi duri di dalam rumah tangga Mahen dan Nova.
Tapi keadaan memaksanya untuk menyetujui persyaratan dari Bu Winda. Vika mengangguk perlahan, disusul tatapan tajam dari Mahen dan Nova.
"Kami pergi! Lakukan apapun yang Mama mau!"
Mahen meninggalkan ruangan itu bersama Nova. Setelah pasangan itu pergi, Vika dan Bu Winda melanjutkan perbincangan.
"Aku akan mentransfer separuh dari uang yang aku janjikan, sisanya akan kuberikan setelh kamu melahirkan anak," ucap Bu Winda.
"Baik Bu, tapi bagaimana setelah saya melahirkan anak saya?" tanya Vika.
"Kamu boleh pergi, melanjutkan lagi kehidupanmu dengan tenang," ucap Bu Winda.
Setelah menimbang lagi, akhirnya Vika menyetujuinya. Yang terpenting saat ini adalah, dia bisa membayar hutang kepada juragan Banyu.
Bu Winda menyodorkan selembar kertas berisi sebuah kontrak perjanjian. Setelah membaca semua isi surat itu, Vika menghela nafas. Lalu menandatanganinya.
***
Dalam perjalanan sebuah notifikasi dari bank masuk. Benar saja, Bu Winda langsung mentransfer sejumlah uang yang sangat cukup untuk melunasi hutang ibunya.
Sebelum pulang ke rumah, Vika mampir ke rumah juragan Banyu. Ia meminta nomor rekeningnya, lalu mentransfer seluruh hutang beserta bunganya.
"Haha ... apa kamu jual keperawanan hingga bisa melunasi hutang ibumu dalam waktu yang begitu singkat?" ejek juragan Banyu.
"Bukan urusan Juragan, saya mendapatkan uang itu dari mana. Yang penting urusan kita sudah selesai!" ucap Vika.
Kemudian juragan Banyu menyerahkan map berisi sertifikat tanah milik almarhum ayahnya.
"Senang berbisnis denganmu Vik! Hahaha!" ujar juragan Banyu.
Sekarang Vika sedang memutar otak, mencari alasan untuk pergi dari rumah.
***
Satu minggu kemudian Vika dan Mahen menikah. Pernikahan itu berlangsung sangat sederhana. Hanya ada kedua mempelai, orang tua Mahen, Nova, dua orang saksi, dan penghulu.
Mereka menikah siri di kediaman Mahen. Setelah acara ijab kabul selesai, para saksi dan penghulu berpamitan.
Vika, Pak Theo, dan Bu Winda duduk di ruang tamu. Sedangkan Mahen dan Nova harus pergi menghadiri pesta pernikahan salah satu model yang bekerja untuk Nova.
"Vika, maaf ya sudah menyeretmu ke dalam masalah keluarga kami," ujar Pak Theo.
"Tidak apa-apa, Pak. Hanya ini yang bisa saya lakukan karena Bu Winda sudah bersedia membantu masalah keluarga saya," kata Vika
"Saya harap Kamu segera memberi kami keturunan, aku malu setiap arisan para ibu-ibu selalu memamerkan cucu mereka kepada anggota arisan lain!" ucap Bu Winda.
"Ma, tolong jangan bebani Vika dengan urusan anak. Dia juga butuh waktu!" ucap Pak Theo.
Vika hanya menyimak cek cok ringan mereka. Setelah lelah beradu argumen, mereka berpamitan.
"Saya pulang dulu ya, Vik. Baik-baik di rumah. Jika butuh apa-apa bisa hubungi aku atau Mama," pesan Pak Theo.
Vika hanya mengangguk. Setelah memastikan mertuanya pergi, Vika masuk kembali ke dalam rumah.
Ia terheran-heran. Bagaimana bisa mereka mengurus rumah sebesar ini tanpa ART?
Padahal Mahen dan Nova adalah orang-orang yang super sibuk. Vika memutuskan untuk menelepon ibunya sambil menunggu Mahen dan Nova pulang.
"Bu, apakabar?" tanya Vika.
"Baik, Nak. Gimana kerja magangnya?" tanya Bu Lasmi.
"Lancar kok Bu. Disini orangnya baik dan banyak yang saling membantu," bohong Vika.
Vika dan ibunya terus berbincang untuk melepas rindu. Saat meninggalkan rumah Vika berbohong kepada ibunya.
Ia mengatakan bahwa dia mendapatkan tawaran kerja magang di perusahaan asing. Vika tersenyum kecut mengingat kebohongan itu.
"Vika kerja dulu ya, Bu. Nanti Vika telepon lagi," pamit Vika.
Akhirnya sambungan telepon terputus. Cacing di perut Vika meronta minta makan.
Vika melangkah ke dapur dengan malas. Ia membuka kulkas berharap ada banyak bahan makanan di sana. Tapi harapannya pupus. Kulkas dua pintu itu kosong melompong hanya berisi air mineral dan beberapa pot krim wajah.
"Ck, pasangan ini sepertinya tidak pernah makan di rumah," gumam Vika.
Vika kembali lagi ke ruang tamu dan memutuskan untuk pesan makanan lewat aplikasi.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 23:00 tapi Mahen dan Nova belum pulang. Mata Vika sudah mulai pedas karena kantuk yang ia tahan.
Vika akhirnya tidur di sofa malam itu. Dia tak tahu harus menempati kamar mana. Mahen bahkan sama sekali tidak menghubunginya.
Keesokan paginya Vika bangun dalam kondisi leher kaku dan badan pegal-pegal. Otaknya memerintahkan tubuh untuk segera bangkit dari sofa. Akhirnya Vika bangun lalu masuk ke kamar mandi.
Di lantai atas Mahen dan Nova masih tertidur pulas setelah party sampai subuh. Nova bangun duluan kemudian mandi.
Selesai mandi, Nova menghujani Mahen dengan ciuman. Hal itu membuat tubuh Mahen menggeliat dan akhirnya bangun.
"Selamat pagi, Sayang," ucap Nova.
"Pagi, Cintaku," jawab Mahen.
"Aku harus segera berangkat ke butik. Ada janji dengan Loui," pamit Nova.
"Loui? Hanya pertemuan biasa, kan?" cecar Mahen.
Nova mengangguk lalu mencium bibir Mahen sekilas. Nova bisa memaklumi sikap suaminya itu saat ia menyebutkan nama Loui. Mahen selalu cemburu kepada lelaki itu.
Loui adalah model pria dan juga sahabat Nova sejak kecil. Tapi sebagai seorang pria, Mahen tahu sebenarnya Loui memiliki ketertarikan kepada istrinya.
Saat Nova turun ke lantai bawah ia mendapati Vika sedang membongkar koper. Ia hampir lupa jika sekarang Vika sudah menjadi madunya.
Nova mendekati Vika, ia melemparkan tatapan sinis. Vika mendongak karena merasa diawasi.
"P-pagi, Kak," sapa Vika gugup.
"Pindahkan kopermu ke sana!" perintah Nova sambil menunjuk sebuah ruangan di dekat dapur.
"Baik, Kak," ucap Vika.
"Disana kamar bekas ART, pakai saja. Toh kamu cuma sementara tinggal di sini," ujar Nova sambil tersenyum licik.
"Baik, Kak," ucap Vika.
"Jangan lupa bersihkan rumah ini! Tolong tahu diri ya, kamu disini menumpang! Anggap saja sebagai ganti karena kami sudah memberimu tempat tinggal!" kata Nova.
Deg!
Hati Vika terasa begitu nyeri. Apakah menjadi miskin itu pantas direndahkan seperti ini?
Vika sudah tak tahan dengan perkataan Nova. Ia berdiri dan melayangkan tatapan tajam.
"Bu Winda yang menyeret aku ke dalam kekacauan ini! Semua ini bukan seutuhnya salahku!" teriak Vika.
"Hah, kamu dibayar berapa oleh mama agar mau menjadi perempuan j*lang!" ejek Nova.
Reflek tangan Vika menampar pipi halus Nova.
"Aaaaakkk!!!" teriak Nova.
Dalam sekejap rambut Vika sudah berada dalam genggaman tangan Nova. Ia diseret menuju ke arah kamar mandi.
"Lepaskan!" teriak Vika.
"Tidak! Jika kamu menamparku, maka aku harus membalasmu lebih kejam!" bentak Nova.
Sesampainya di kamar mandi, Nova mengguyur tubuh Vika dengan air. Berulang kali Vika meronta karena hampir kehilangan napas.
"Rasakan! Jangan pernah berani kepadaku!" ujar Nova sambil terus mengguyur tubuh Vika.
"Hentikan!!!" teriak Mahen.
Bersambung...
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
hina Nova udh gabut juga belagu
2022-04-24
1
SOO🍒
heh tuan mahen yg terhormat Vika gk bakal mukul duluan klo istri tercintamu yang cari gara2 duluan
2022-02-01
1
auliasiamatir
kkkkkk ahh Vika berani nampar tapi gak berani melawan. gimana sih.
2021-12-18
1