"Vika, mulai hari ini kamu tinggal bersama mama dan papa. Biar Mahen yang datang ke rumah. Pantas saja kamu tak kunjung hamil, pasti disini Kamu merasa tertekan!" ujar Bu Winda.
Bu Winda dan Vika melangkah pergi lalu masuk ke dalam mobil. Dalam diam, mereka membelah kota Jakarta yang tak pernah tidur.
"Kenapa tidak melawan?" tanya Bu Winda memecah keheningan.
"A-aku sedang dalam mode hemat energi, Ma."
"Hemat energi?"
"Haha, itu maksudnya aku tidak mau buang-buang terlalu banyak energi untuk melakukan hal tidak penting. Bertengkar dengan kak Nova, misalnya," jelas Vika.
"Jangan pernah mau ditindas, dikuasai keadaan, dan terlihat lemah dihadapan orang lain!"
Vika melirik ibu mertuanya itu, tatapannya sedang memperhatikan jalanan yang mulai basah karena rintik air hujan. Tak lama kemudian, Bu Winda merogoh ponselnya.
"Mama, mau Vika tinggal di Rumah Besar"-rumah Bu Winda dan Pak Theo-"jiwanya harus senang dan tetap waras agar segera hamil."
" ... "
"Bawakan keperluannya, pakaiannya, dan .... " suara Bu Winda menggantung karena Vika mencoleknya. Pandangannya kini beralih ke Vika.
"Seragam kerja, dompet mekap, dan sepatu kerja," ucap Vika pelan.
Setelah menyampaikan apa yang diucapkan Vika, Bu Winda menutup sambungan telepon.
"Kamu bekerja?"
"I-iya, Ma."
"Apa uang bulanan dari Mahen masih kurang?"
"Bu-bukan begitu, Ma. Vika merasa sangat bosan jika hanya berada di rumah seharian penuh. Jadi Vika meminta ijin kepada Mahen untuk bekerja," ucap Vika.
"Baiklah, tapi jangan terlalu capek!" ujar bu Winda.
Vika mengangguk, kemudian kembali terdiam memperhatikan jejeran gedung pencakar langit yang ia lewati.
"Seandainya bukan karena ingin memiliki cucu, apa mama juga akan sepeduli ini denganku?" batin Vika.
.
.
.
Jam nenunjukkan pukul 22:15 ketika Vika dan Bu Winda sampai di Rumah Besar. Pantas saja disebut seperti itu. Karena memang rumah dua lantai itu terlihat seperti istana dari luar. Jika akan memasuki rumah, kita harus melewati halaman seluas satu hektar.
Vika diantar oleh seorang pelayan yang terlihat seumuran dengannya.
"Silahkan, Nyonya," ucap pelayan itu sembari membuka pintu sebuah kamar.
"Terima kasih." Vika melangkah masuk, matanya memindai isi ruangan itu.
Ruangan itu sangat besar untuk ukuran kamar. Furnitur dan interiornya terlihat maskulin dan elegan karena di dominasi dengan warna hitam dan putih. Diatas nakas terdapat bingkai foto kecil yang menarik perhatian Vika. Ia meraih foto dua anak laki-laki. Sekali melihat, Vika sudah tahu jika satu dari anak laki-laki itu adalah Mahen kecil.
"Ternyata kamu pernah semenggemaskan ini kak," ucap sambil tersenyum memandang foto dalam genggamannya itu.
"Kenapa aku nggak pernah tahu yaa kalau kakak punya saudara laki-laki?" sambung Vika.
Saat sedang asyik meneliti wajah Mahen dalam foto, tiba-tiba pintu kamar dibanting kasar. Sontak Vika menoleh. Mahen sudah berdiri di ambang pintu sambil menatap tajam ke arah Vika.
"Bisa tidak sehari saja tidak membuat masalah?" ucap Mahen dingin.
Begitu pintu kamar tertutup Mahen mendekati Vika, lalu melemparkan sebuah tas jinjing ke kaki gadis cantik itu.
"Bu-bukan aku yang mulai, Kak. Aku hanya .... "
Belum selesai Vika bicara, lelaki yang sudah berstatus sebagai suaminya itu mendorong tubuh Vika ke atas ranjang. Mahen mengungkung tubuh Vika, tatapannya terlihat begitu menakutkan. Sebuah senyuman miring terbit di bibir lelaki itu.
"Mari kita selesaikan ini secepat mungkin, aku sudah muak!"
Mahen mencoba mencium Vika secara beringas. Sekuat tenaga Vika meronta, ia tak mau melakukan kontak fisik tanpa cinta. Mahen tetap berusaha mencium Vika. Wajah Vika berpaling ke kanan dan ke kiri untuk menghindari Mahen.
Air mata Vika meleleh, ia mulai terisak. Berulang kali ia memukul dada bidang Mahen agar lelaki itu sadar. Akhirnya tangis Vika pecah.
"A-aku mohon, Kak. Ja-jangan seperti ini, aku takut." Vika memelas, berharap suaminya itu menghentikan aksinya.
Melihat tangis Vika, Mahen menjauh. Lelaki itu mendapatkan kesadarannya kembali. Kepalanya terasa pusing, saat melihat Vika yang sedang menangis. Sekelebat memori tiba-tiba muncul. Entah ingatan macam apa yang terlintas. Tapi hal itu membuat kepala Mahen pening luar biasa.
.
.
.
Sejak malam itu, Vika sebisa mungkin menghindari Mahen. Rasa takut dan tidak nyaman ia rasakan begitu melihat sosok Mahen. Bahkan perutnya akan bergejolak setiap menatap Mahen terlalu lama.
Setiap pagi dan malam Bu Winda mencekoki menantunya itu dengan jamu tradisional dan suplemen agar Vika segera hamil. Gadis itu hanya tersenyum miring. Jelas saja semua itu akan sia-sia, bak menggarami air laut. Ia dan Mahen tidak pernah berhubungan suami istri, saling menggenggam tangan saja tidak pernah. Bagaimana bisa hamil?
Pagi itu Vika dan Bu Winda sedang menikmati sarapan. Pak Theo sedang tidak berada di rumah karena ada urusan bisnis dengan koleganya di luar negeri. Tiba-tiba Bu Winda membuka pembicaraan.
"Vik, mama bisa minta tolong?" ucap bu Winda.
"Apa, Ma?"
"Seminggu ke depan, Nova ada show di luar kota. Tolong tinggal di rumah Mahen selama Nova tidak ada."
Mendengar permintaan Bu Winda, tubuh Vika menegang. Perutnya mulai bergejolak, sepertinya kejadian malam itu menyisakan memori buruk di alam bawah sadar Vika. Tinggal serumah lagi dengan Mahen? Tapi gadis itu tidak berani menolak. Akhirnya Vika mengangguk tanda setuju dengan permintaan Bu Winda.
Selesai sarapan, Vika kembali ke kamar untuk menyiapkan beberapa keperluannya selama seminggu kedepan. Selain keperluan pribadi, Vika juga tengah mondar-mandir menyiapkan mentalnya.
"Duh, gimana ini. Tiap kak Mahen berada disini saja aku selalu tidur di sofa agar tidak terlalu dekat dengannya. Tapi bukannya aku akan lebih bebas di rumah kak Mahen karena tidak ada Mama?" ucap Vika mencoba menenangkan dirinya sendiri.
.
.
.
Hampir satu bulan Vika tidak menginjakkan kaki di rumah Mahen. Kondisinya masih sama seperti sebelumnya. Berulang kali Vika mencoba menekan bel, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Vika menggunakan kunci cadangan untuk masuk.
Suasana rumah begitu sepi, ia melihat pintu kamar Mahen setengah terbuka. Pikiran buruk hinggap di kepala Vika. Ia langsung meletakkan tas jinjingnya, lalu menuju gudang mengambil sapu ijuk. Begitu mendapatkan sapu di tangan, ia menaiki anak tangga perlahan.
"Awas ya kau maling! Kubuat kau babak belur! Kucolok matamu pake gagang sapu ini!" bisik Vika.
Tangan Vika sedikit bergetar ketika mencapai tuas pintu. Ia membuka secara kasar pintu di hadapannya. Kondisi kamar Mahen ternyata baik-baik saja. Sepertinya tidak ada tanda-tanda ada maling masuk.
Ketika mencoba mencari kejanggalan, Vika dikagetkan dengan suara deritan pintu kamar mandi. Tubuh Vika menegang, ia melihat Mahen mulai berjalan mendekatinya. Perlahan Mahen melangkah mendekat.
"Kau sudah pulang?" ucap Mahen dengan suara serak.
Saat sudah di hadapan Vika, tiba-tiba tubuh Mahen ambruk. Dengan sigap Vika menahan tubuh suaminya itu agar tidak beradu dengan lantai. Setelah memapah Mahen dengan susah payah, Vika berhasil merebahkan tubuh tegap Mahen ke atas kasur.
"Aduduh, tenagaku hampir habis! Kak Mahen, bangun," ucap Vika sambil menepuk pipi suaminya.
Melihat Mahen tidak merespon membuat Vika cemas. Ia langsung mengecek suhu tubuh Mahen dengan punggung tangannya. Benar saja, tubuh Mahen terasa seperti bara api.
"Astaga, panas sekali."
Vika langsung menelepon dokter pribadi Mahen. Tak lama dokter Vito datang. Setelah memeriksa Mahen, ia berpamitan dan memberikan resep obat.
"Dia hanya kelelahan, tuan akan segera pulih setelah bedrest beberapa hari."
"Terima kasih, Dok."
"Saya permisi, jangan lupa berikan dia obat secara teratur."
"Baik,"
Akhirnya Vika memutuskan untuk mengajukan ijin selama tiga hari. Setiap hari Vika merawat suaminya itu dengan telaten.
Setiap jam makan, Vika menyuapi Mahen dengan bubur yang ia buat sendiri. Membersihkan tubuh Mahen, tapi gadis itu tidak bisa mengganti pakaian Mahen karena malu.
Setelah merawat Mahen selama dua hari, Vika sedikit khawatir karena demam Mahen tidak turun. Ia memutuskan untuk membawa Mahen ke rumah sakit keesokan harinya.
Malam itu Mahen merasa kerongkongannya kering. Ia terbangun, diraihnya air putih di atas nakas. Setelah meneguknya, Mahen berusaha mengembalikan gelas itu ke atas nakas. Sialnya gelasnya malah jatuh ke lantai dan pecah.
Mendengar suara benda pecah, Vika terkejut dan terbangun. Ia mendekati Mahen, untuk memastikan suaminya itu baik-baik saja.
"Kak Mahen, kenapa?"
"Bukan urusanmu! Sana pergi!"
Melihat Mahen kesulitan saat hendak berbaring lagi, Vika bermaksud membantunya. Tetapi Mahen menepiskan tangan Vika dengan kasar. Alhasil, tubuh Vika tersungkur di lantai. Tanpa sengaja pecahan gelas tertancap di telapak tangan Vika.
"Awww!" pekik Vika. Darah mulai mengalir dari tangan Vika lalu menetes ke lantai.
"Salah sendiri! Aku sudah bilang tidak apa-apa tapi kamu terlalu keras kepala!"
"Kak, Vika hanya bermaksud membantu Kakak. Apa aku salah?"
"Aku paling tidak suka bau darah! Cepat bersihkan semua ini."
Vika tak berkata apapun, ia keluar dari kamar. Rasa perih karena luka itu tidak seberapa dibandingkan perlakuan kasar Mahen.
"Aku hanya bermaksud melakukan tugasku sebagai istri, apa aku salah?" lirih Vika.
Air mata Vika mulai menetes mengingat kembali kepingan kenangan buruk bersama Mahen. Tak pernah sekalipun ia mendapatkan perlakuan manis dari suaminya itu. Semua yang Vika lakukan selalu salah di mata Mahen. Setiap niat baiknya selalu dianggap buruk oleh suaminya itu. Jika bisa mempercepat waktu, ia ingin segera mengakhiri pernikahan ini agar rasa sakitnya tidak kian bertambah.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
sabar Vika yg penting mertua sayang jgn menyerah
2022-04-24
0
auliasiamatir
lagian Vika... iss racun ajalah di mahen.. ngeselin
2021-12-18
0