Mahen meregangkan otot-ototnya yang kaku lalu turun dari ranjang. Ia ingin membuat segelas kopi agar matanya tetap terjaga. Pesta semalam membuat matanya terasa berat.
Saat menuruni anak tangga ia mendengar suara Nova sedang berteriak seperti orang kesetanan. Mahen makin mempercepat langkahnya. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui keberadaan istrinya itu.
Betapa terkejutnya Mahen ketika mengetahui istrinya sedang mengguyur tubuh Nova seperti orang kesurupan.
"Hentikan!!!" teriak Mahen.
Mendengar teriakan suaminya, Nova menghentikan aksinya. Mahen mendekat lalu menarik lengan istrinya.
"Ada apa ini?" tanya Mahen.
"Dia tadi nampar aku, Sayang!" ucap Nova.
"Benarkah, Vika?" tanya Mahen.
Vika tak menjawab dia hanya menunduk. Melihat Vika yang tidak memberikan jawaban, Mahen naik pitam.
"Mulutmu masih berfungsi dengan baik kan?" tanya Mahen dengan suara dingin.
"I-iya," jawab Vika gemetar.
"Kenapa menamparnya? Nova tidak akan bertindak sejauh ini kalau kamu tidak keterlaluan!" seru Mahen.
"Dia menghinaku karena mau menikah denganmu," ucap Vika lesu.
"Hanya itu?" ucap Mahen sinis.
"Dia bilang aku wanita j*lang karena menikah demi uang!" teriak Vika.
"Lalu apa namanya kalau bukan j*lang? Pelac*r?" ejek Nova.
Saat Mahen dan Nova hendak meninggalkannya, Vika mengumpulkan keberanian untuk angkat bicara.
"Coba bayangkan, jika yang aku alami ini menimpa saudara perempuanmu," ucap Vika sambil meneteskan air mata.
"Tapi sayangnya aku tidak memiliki saudara perempuan," kata Mahen sinis.
***
Mahen akhirnya memutuskan untuk mengantarkan Nova setelah mandi. Di dalam mobil ia berusaha menasehati istrinya. Bagaimanapun juga kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan.
"Sayang, seharusnya Kamu nggak melakukan hal rendahan seperti tadi," ucap Mahen.
"Terus aku harus diam saja? Dia nampar aku, Sayang!" Nova yang masih terbawa emosi setengah berteriak kepada Mahen.
"Lain kali kalau dia ngapa-ngapain kamu bilang ke aku, biar aku yang ambil keputusan," ucap Mahen sambil menggenggam tangan istrinya.
Nova mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di bahu Mahen.
"Iya, maaf yaa, Sayang. Lain kali nggak aku ulangi," ucap Nova sambil mengecup lembut pipi Mahen.
.
.
.
Jam menunjukkan pukul 13:00 saat Vika sampai di G-Mart. Ia memutuskan untuk berbelanja keperluan dapur. Diintipnya daftar belanja yang sudah tertulis di selembar kertas.
"Selada, tomat, cabai, sudah, sekarang..."
"Aduh!"
Karena terlalu fokus dengan daftar belanjaan, Vika menabrak seseorang yang sedang berdiri di depan rak.
"Eh, maaf, Kak. Aku nggak sengaja," ucap Vika.
"Lain kali hati-hati ya? Takutnya nabrak anak-anak," ucap lelaki itu sambil tersenyum.
"Hehe, iya Kak. Sekali lagi maaf ya?"
Lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Dari ekor matanya, Vika bisa melihat lelaki itu terus memperhatikannya. Ia menilik lagi penampilannya.
Bajuku sopan, walau pakai sandal jepit tapi ini terlihat bersih, bau badan? batin Vika sambil mengendus ketiaknya. Lalu menggeleng.
Wangi kok, bahkan pagi ini aku mandi dua kali! Jangan-jangan...
Kali ini Vika mencari kaca di dalam swalayan itu. Setelah menemukan kaca, tanpa rasa malu ia bercermin sambil tersenyum lebar. Ditelitinya satu per satu deretan gigi putihnya, kalau-kalau ada sisa makanan yang menyelip.
Bersih kok! Nafasku juga segar aroma mint!
Setelah sibuk mengoreksi diri, akhirnya Vika mendekati lelaki tampan itu.
"Kak, maaf-maaf nih ya sebelumnya. Apa maksud Anda mengawasi saya daritadi? Apa Anda penguntit?"
Vika langsung berbicara tanpa berpikir lagi. Sedangkan si lelaki hanya melongo.
"Anu, itu mungkin perasaan Mbak saja. Saya mau membayar belanjaan kok," ucap lelaki itu sambil melihat ke arah meja kasir.
Sontak Vika mengikuti arah pandangan si lelaki. Dia baru sadar jika lorong tempat mereka bertemu lurus dengan meja kasir.
Setelah sadar bahwa Vika telah salah paham, ia langsung berlari sambil mendorong trolinya karena malu.
***
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa pernikahan Vika dan Mahen sudah menginjak dua bulan. Bu Winda sering sekali mengungkit masalah anak saat menelepon atau berkunjung ke rumah.
Sesaat Vika bisa merasakan apa yang tengah dialami Nova. Perempuan itu pasti jengah dengan sikap mertuanya. Terkadang manusia lupa bahwa setiap yang kita inginkan belum tentu segera terwujud. Salah satunya anak.
Setiap pasangan kebanyakan menginginkan keturunan. Tetapi Tuhan memiliki rencana terbaik untuk kita. Kalau Tuhan belum berkehendak untuk meniupkan ruh ke dalam rahim, kita bisa apa?
"Vikaaaaa!" teriak Nova.
"Sebentar Kak, Vika sedang goreng ayam," jawab Vika dari arah dapur.
"Cepetan kesini!"
Mendengar teriakan Nova, Vika bergegas ke lantai atas. Ia melangkahkan kaki sambil menggerutu.
"Apa, Kak?" tanya Vika.
"Tolong ambilin ponselku di balkon, tadi ketinggalan," ucap Nova sambil memulas wajah cantiknya di depan cermin.
"Kak, balkon cuma disitu loh. Nggak sampai satu menit Kak Nova udah sampai balkon!" ujar Vika sambil menunjuk ke arah balkon.
"Suka-suka aku dong! Cepet ambilin!" seru Nova.
Dengan kesal Vika mengambil ponsel itu lalu memberikannya pada Nova. Bukannya menerima ponselnya, Nova malah masih berpura-pura sibuk dengan mekapnya.
"Oke, terima kasih. Taruh meja sini aja," kata Nova.
Setelah itu, Vika keluar kamar. Belum sampai menginjakkan kaki ke anak tangga, suara melengking Nova kembali terdengar.
"Vikaaaaa!"
"Ck, kakak sihir satu ini kesurupan apa sih?" gerutu Vika.
Kali ini Vika hanya melongok ke dalam kamar.
"Tolong bantu naikin resletingku dong!" pinta Nova.
"Kak, ini resleting udah tinggal dua senti aja lho. Masa nggak bisa?"
"Udah, jangan banyak b*cot!" seru Nova.
Acara panggil memanggil itu terus berlanjut sampai setengah jam. Padahal apa yang disuruh Nova seharusnya bisa ia kerjakan sendiri.
"Kak, tolonglah, aku ini sedang ...." Seketika mata Vika melebar.
"Ayamku!" teriak Vika.
Secepat kilat Vika menuruni anak tangga lalu menuju ke dapur. Sesampainya di dapur, asap dari penggorengan sudah mengepul. Ayam yang seharusnya berwarna keemasan seperti cincin kawinnya, kini sudah berubah menjadi ayam baja hitam. Melihat nasib malang ayam gorengnya Vika merasa prihatin.
"Menyedihkan sekali nasibmu," ucap Vika sambil menatap nanar ayam itu.
.
.
.
Rasa bosan menyerang Vika sore itu. Setelah menimbang, akhirnya Vika memutuskan untuk menikmati senja di taman kota. Ia beranjak dari posisi rebahannya lalu menyambar asal sweater yang tergantung di pintu kamar.
“Mataku!” teriak Vika sambil menutup matanya dengan telapak tangan.
Vika tak sengaja melihat pemandangan yang sama seperti dua bulan lalu. Pasangan suami istri yang tinggal serumah dengannya itu sedang asyik bertukar saliva.
“Tolong dong, kalian kalau mau bermesraan jangan di sembarang tempat!” seru Vika.
“Apa urusanmu? Toh, ini rumah kami!” ucap Nova sambil bergelayut manja di pangkuan Mahen.
Mahen masih diam tak menanggapi. Dari mukanya terlihat menahan gairah dan amarah dalam waktu yang bersamaan. Mata lelaki itu terlihat merah.
“Sudah sana pergi kalau mau pergi, jangan ganggu kami!” usir Nova.
“Mengganggu? Justru kalian yang menggangu. Selalu berciuman di sembarang tempat. Dulu di tempat umum, sekarang di ruang tamu. Apa kamar kalian itu kurang luas?” gerutu Vika.
“Diam!” teriak Mahen.
Lelaki itu sekarang sudah berubah posisi. Kini dia berdiri sambil menggendong tubuh langsing istri pertamanya. Sorot matanya yang seperti kobaran api terlihat begitu menyeramkan bagi Vika. Ia selalu tak bisa membantah saat Mahen sudah memberi titah.
“Jika Kau mau pergi, pergilah! Aku tidak akan memperdulikannya. Sebagai gantinya, jangan pernah mengurusi kehidupanku! Jika bertemu pun berpura-puralah tidak mengenalku!” seru Mahen.
Vika hanya menunduk lesu. Bukan hanya Mahen dan Nova yang tidak menginginkan pernikahan ini. Dirinya juga tidak mau jika bukan karena keadaan. Tapi kenapa seolah-olah Vika-lah penyebab utama terjadinya pernikahan ini.
Langkah kaki Mahen menjauh, Vika memberanikan diri untuk menatap punggung suaminya itu.
“Aku juga tidak mau begini, Kak. Bahkan sampai detik ini aku masih belum berfikir tentang pernikahan,” lirih Vika.
Setelah berjalan selama 15 menit, akhirnya Vika sampai di taman kota. Hari itu suasana terlihat cerah, walaupun ada beberapa awan hitam bergelayut manja di langit jingga.
Vika duduk di sebuah bangku kosong ditemani oleh angin dingin bulan September. Saat sedang asyik menikmati senja, sebuah panggilan masuk. Vika melihat layar ponselnya, lalu menerima panggilan itu.
“Halo ... Vika. Lagi sibuk?”
“Nggak kok, Bu. Ada apa?”
“Ibu mau mengingatkan, lima hari lagi acara Dies Natalis. Kamu bisa pulang, Kan?”
“Astaga, iya, Bu.” Hampir saja Vika kelupaan jika sang ibu tidak mengingatkan.
“Vika mau pulang kapan?” tanya ibunya.
“Nanti Vika kabari lagi ya, Bu?”
Percakapan berlangsung sampai 20 menit. Telepon ibunya bisa membuat hati Vika menghangat. Sebuah kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan dalam kehidupan rumah tangganya.
Kehidupan berkecukupan tapi monokrom. Sangat berbanding terbalik saat ia hidup sederhana bersama ibunya. Saat sedang sibuk membandingkan kehidupannya yang sekarang dan dulu, rintik hujan mulai turun menyapanya. Ia menengadahkan tangan, menikmati setiap tetes air hujan yang masuk ke dalam pori-pori kulitnya.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
mestinya ibunya mahen kontrol y anaknya aja tetap sm istri pertama Vika ngk pernah di ksh kesempatan
2022-04-24
0
auliasiamatir
pasti Nova nanti selingkuh ini..
2021-12-18
0
🌸Santi Suki🌸
Kak semangat 💪🥰 selalu
2021-12-14
1