Sore itu Vika yang baru selesai makan, tiba-tiba rambutnya ditarik oleh salah seorang teman.
"Awww! Audi, Kamu kenapa?" tanya Vika.
"Halah! Nggak usah pura-pura ya!" tuduh Audi.
"Apa sih maksudmu, Di?" tanya Vika sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Audi dari rambutnya.
"Halah, nggak usah pura-pura deh, Kamu!" timpal Agnes.
"Aku benar-benar nggak tahu apa maksud Kalian!" teriak Vika.
"Kamu 'kan yang mencuri uang Suci!" tuduh Agnes.
"Uang apa, sih?" tanya Vika kebingungan.
"Dompet Suci ada di dalam dompet mekapmu!" teriak Audi.
"Mana buktinya? Ha?" tanya Vika kesal.
Tangan Audi menarik rambut Vika sambil berjalan ke arah loker. Lalu dilepaskan kasar. Di hadapan Vika sekarang sudah ada Leni, ia membalikkan dompet Vika yang sudah dalam keadaan terbuka. Semua alat mekap Vika berserakan di lantai. Mata Vika terbelalak, saat mendapati sebuah dompet kecil bermotif polkadot, tergeletak diantara mekap miliknya.
"Tuh, buktinya!" teriak Leni.
"Bu-bukan Aku yang mengambil dompet itu!" sanggah Vika.
"Bukan Kamu? Lalu siapa? Ha!" teriak Audi.
"Aku berani bersumpah! Bukan Aku yang mengambil dompet itu!" Mata Vika panas, karena rasa marah dan sedih bercampur jadi satu, dan suaranya mulai bergetar.
"Halah! Nggak usah sok suci Kamu, Vik!" ujar Agnes sambil mendorong tubuh Vika hingga tersungkur di lantai.
Suasana ruang istirahat menjadi begitu kacau. Agnes, Leni dan Audi mengeroyok Vika, sedangkan Suci dan karyawan lain hanya melihat tanpa ada yang membantu. Mereka dengan tega menjambak, menampar, bahkan menedang tubuh Vika penuh emosi. Vika hanya bisa menahan tangisnya.
"Hentikan!" teriak Fany.
"Fany, Kamu mau membela pencuri ini?" Audi menunjuk ke arah Vika.
"Pencuri ini pantas mendapatkan hukuman!" Leni melirik Vika sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Apa kalian punya bukti?" tanya Fany.
"Lihat itu!" Agnes menunjuk ke arah mekap dan dompet yang sudah berserakan di lantai dekat loker.
"Minggir kalian!" Mata Fany melotot, kemudian mulai berjalan mendekati Vika.
Ketiga orang itu menjauh, Fany membantu Vika berdiri. Keadaan Vika begitu kacau, rambutnya sudah acak-acakan, seragamnya kotor, dan sudut bibirnya berdarah.
"Kenapa kamu tidak melawan, Vik?" tanya Fany.
"A-aku ...." Tiba-tiba tangis Vika pecah.
"Sudah ... tenang, Kita nanti cari tahu kebenarannya. Sekarang obati dulu lukamu," ucap Fany, kemudian mengusap punggung Vika perlahan.
"Ternyata perasaan Kalian sudah mati, dan kelakuan Kalian bertiga seperti binatang!" Fany menatap sinis ke arah seluruh teman kerjanya itu.
Mulut Agnes, Audi, dan Leni menganga. Mereka tidak menyangka Fany mengatakan hal itu pada mereka.
"Cih, dasar sok suci!" ujar Audi.
Seketika langkah Vika berhenti, kemudian berkata, "Aku memang miskin, tapi mengambil hak orang lain, adalah pantangan bagiku!"
Fany memapahnya menuju pojok ruangan. Ia mengambil kotak P3K dari ruang admin, dan mengoleskan salep ke muka Vika.
"Kenapa tidak melawan?" tanya Fany sambil terus mengobati luka Vika.
"Untuk apa? Buang-buang tenaga kalau Aku melawan," ucap Vika.
"Buang-buang tenaga?" Fany menautkan kedua alisnya.
"Semua orang pasti percaya bahwa Aku yang mencuri uang Suci, bukan? Buktinya sudah ada di dalam dompetku," ucap Vika pasrah.
"Tenang, Aku akan membantumu," ucap Fany sambil memandang CCTV di pojok ruangan.
"Bagaimana cara mendapatkan rekamannya?" tanya Vika sambil mengikuti arah pandangan Fany.
"Besok Aku akan meminta rekaman CCTV kepada Bu Sofia," ucap Fany sambil tersenyum.
.
.
.
Keesokan harinya ...
"Bu, permisi. Maaf mengganggu waktu Bu Sofia," ucap Fany sopan.
"Hm ... kenapa?" tanya Bu Sofia dengan nada yang tidak begitu ramah di telinga.
"Itu ... apa ... Kami boleh melihat rekaman CCTV kemarin?" tanya Vika sedikit gugup.
"Untuk apa?" Bu Sofia memutar bola matanya, kemudian menatap ke arah Vika dan Fany.
"Begini Bu, kemarin Vika dituduh mencuri uang salah seorang SPG disini. Tapi Dia tidak merasa mencuri," jelas Fany.
"Dituduh? Ada bukti?" tanya bu Sofia.
"I-itu ... tiba-tiba ... dompetnya berada di dalam dompet mekapku, Bu," ucap Vika ragu.
"Sudah ada buktinya 'kan? Untuk apa memutar kembali CCTV Buang-buang waktu dan tenaga saja!" seru Bu Sofia.
"Kami tahu dompet itu tidak punya kaki! Untuk itu kami ingin tahu siapa sebenarnya orang yang menaruh dompet itu!" Fany menggebrak meja di hadapannya.
Badan Bu Sofia terkesiap mendengar bentakan Fany. Ia terus menatap dua perempuan di hadapannya, kemudian mulai memutar ulang rekaman CCTV. Dari layar komputer terlihat seorang perempuan dengan poni belah kiri, memasuki ruang istirahat. Dia menggunakan seragam pramuniaga.
Perempuan itu tahu betul bahwa letak CCTV menghadap ke loker karyawan. Dia menggunakan masker saat membuka loker, kemudian memasukkan sebuah dompet polkadot ke dalam dompet mekap Vika.
"Sial!" umpat Fany meninju telapak tangannya sendiri.
"Jadi, setelah ini mau dibantu apalagi?" tanya Bu Sofia.
"Sudah cukup, Bu. Terima Kasih waktunya," ucap Vika datar.
Vika dan Fany keluar dari ruangan Bu Sofia. Kepala Fany seakan mau meledak karena tidak bisa menebak si pelaku sebenarnya. Ia meremas rambutnya frustrasi.
"Kita mengalami jalan buntu, Vik," ucap Fany.
"Aku sudah tau orangnya." Vika tersenyum datar.
"Hah? Darimana Kau tahu?" Langkah Fany berhenti, dan matanya terbelalak.
"Dari poni rambutnya," ucap Vika sambil merapikan beberapa helai poni rambutnya yang terurai.
"Astaga!" Fany menutup bibirnya setelah mengetahui siapa orang yang Vika maksud. "Tega sekali dia! Lalu setelah ini, apa yang akan Kamu lakukan, Vik?"
"Biar Aku yang urus. Terima kasih ya Fan, sudah mau membantuku," ucap Vika sambil tersenyum.
"Sama-sama. Aku tidak rela orang baik sepertimu dianiaya seperti itu." Kini Fany menggenggam jemari lentik Vika.
.
.
.
Saat jam pulang, Vika melihat Suci sedang kebingungan di tempat parkir. Perlahan Vika mendekatinya.
"Ci, kenapa?" tanya Vika.
"Ban motorku bocor!" jawab Suci dengan nada ketus.
"Ayo, Aku temani mencari tempat tambal ban. Ini sudah larut malam." Vika manawarkan bantuan kepada Suci.
"Nggak usah!" Suci tak menggubris ajakan Vika, ia terus sibuk memainkan ponsel untuk menghubungi seseorang.
"Atau mau nebeng Aku dulu? Kita kan searah. Besok pagi baru kesini lagi ambil motor dan dibawa ke bengkel." Vika memberi pilihan lain.
"Aku bilang nggak usah!" bentak Suci, matanya kini melotot ke arah Vika.
Vika sedikit terkejut dengan sikap Suci. Perempuan di depannya itu biasanya tenang dan jarang bicara. Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu kepada Vika?
"Ci, apa Aku memiliki salah padamu?" tanya Vika sambil tertunduk.
"Apa Kamu lupa? Kamu kemarin sudah mencuri dompetku!" teriak Suci.
"Aku sudah tau, Ci. Kamulah yang sengaja menaruh dompet itu ke dalam dompetku, bukan aku yang mencurinya." Vika tersenyum kecut.
Mendengar ucapan Vika, mata Suci terbelalak. Melihat ekspresi Suci yang terkejut Vika tersenyum.
"Salahku apa, Ci?" tanya Vika sekali lagi.
"KARENA KAMU ITU TERLALU BAIK!" seru Suci, matanya mulai mengembun, dan napasnya terlihat memburu.
"Apa salahnya menjadi orang baik, Ci?" tanya Vika.
"Aku sebenarnya iri padamu, Vik." Suci memalingkan muka, dan air matanya mulai menetes.
"Iri? Kenapa?" Vika merangkum wajah Suci, tatapan mereka kini beradu.
"Orang-orang selalu menyukaimu, padahal Kamu hanya sedikit membantu mereka," ucap Suci sambil terus terisak.
"Ci, Aku menolong orang lain karena memang mereka membutuhkan, tidak ada niat untuk mencari simpati mereka." Vika kini memegang bahu Suci.
"Tapi jika terhadapku, mengapa mereka berbeda!" teriak Suci.
"Apa maksudmu, Ci?" Vika memiringkan sedikit kepalanya.
"Aku selalu membantu apapun yang mereka minta agar mereka mau menyukaiku! Tapi apa? Mereka malah memanfaatkan setiap kebaikan yang sudah Aku berikan!" teriak Suci.
"Hei, bukankah mereka juga mempedulikanmu? Bahkan kemarin mereka membantumu untuk mendapatkan kembali uang dan dompetmu," ucap Vika dengan suara lembut.
Mendengar ucapan Vika, tangis Suci semakin pecah. Vika bisa merasakan sakit yang di derita Suci. Ia membawa Suci dalam pelukannya.
"Sudah, tidak apa-apa. Cukup buat dirimu sendiri bahagia dulu, membantu orang lain semampu kita," hibur Vika.
Setelah Suci tenang, mereka pulang bersama. Suci berulang kali mengucapkan maaf kepada Vika. Hari berikutnya, tanpa sepengetahuan Vika, Suci mengundurkan diri. Beberapa teman yang menindas ketika dompet Suci hilang, berbondong-bondong meminta maaf.
Dua bulan kemudian...
Hari ini Vika meminta bantuan Bulan untuk menjual motornya. Jadi, dia harus berangkat kerja dengan kendaraan umum. Sesampainya di tempat kerja, ia dibuat heran dengan suasana toko yang terlihat begitu menegangkan.
"Loli, Aku merasakan suasana yang sedikit menyeramkan hari ini. Ada apa?" tanya Vika yang sedang penasaran akut.
"Katanya ... nanti ... istri dari pemilik toko akan berkunjung," ucap Lolita dengan suara lirih.
"Terus, kenapa semua orang terlihat begitu tegang?" tanya Vika makin penasaran.
"Jadi ... Bu Nova itu tipe orang yang sangat galak. Kalau kita membuat kesalahan sedikit saja, bisa-bisa langsung dipecat!" ucap Lolita sambil terus berbisik.
"O ...." Vika membulatkan bibirnya sambil mengangguk.
.
.
.
Di food court, saat jam istirahat ...
" Permisi, boleh saya duduk disini?"
Vika yang sedang menikmati makan siangnya mendongak, kemudian mengangguk sopan. Di hadapannya kini sudah ada seorang wanita yang mungkin seumuran dengan ibunya.
"Namamu Vika?" Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada kursi, kemudian melipat tangan ke depan dada.
"I-Iya, Bu. Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Vika.
"Tentu saja tahu, Aku bisa mengetahui apa saja yang ingin kuketahui," ucap wanita itu dengan dagu diangkat.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Vika.
"Sebelumnya perkenalkan, Saya Winda, ibu dari Mahendra Dirgantara." Wanita itu mengulurkan tangan.
"Saya Vika." Ia tersenyum, kemudian menjabat tangan Bu Winda.
"Langsung saja pada intinya. Saya sudah mengetahui semua tentang Kamu dan kehidupan pribadimu. Saya ingin menawarkan sebuah kerja sama," ucap Bu Winda.
"Kerja sama?" Vika mengerutkan dahi.
"Kamu membutuhkan uang dalam jumlah besar, bukan? Kebetulan saya juga menginginkan seorang cucu," ucap Bu Winda.
"Maaf, Saya tidak mengerti maksud Anda." Vika menggaruk kepalanya yang tidak gatal, karena tidak mengerti arah pembicaraan Bu Winda.
"Menikahlah dengan Mahen. Sebagai gantinya, Aku akan melunasi hutang ibumu dan menjamin seluruh biaya hidup kalian. Bahkan kamu bisa meneruskan pendidikanmu!" Sebuah seringai muncul di bibir Bu Winda.
"Apa? Bu Winda jangan bercanda," ucap Vika heran.
"Aku tidak menawarkan kesempatan ini dua kali. Pikirkan baik-baik. Permisi." Bu Winda meninggalkan sebuah kartu nama diatas meja.
Vika meraih kartu nama tersebut, lalu memasukkannya ke kantong kemeja, dan menyelesaikan makan. Setelah selesai, Vika kembali ke konter sepatu. Loli langsung pergi istirahat begitu Vika datang. Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik datang ke konternya.
"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa Saya bantu?" tanya Vika sopan.
"Apa? Ibu? Apa Aku terlihat seperti seorang ibu-ibu?" ucap perempuan itu sambil memincingkan mata.
"Maaf, jika Saya tidak sopan, Kak." Vika mencoba meminta maaf sambil membungkukkan badannya.
"Kamu SPG baru?" tanya perempuan itu.
"Iya Kak, Saya baru akan lepas training akhir bulan ini," jawab Vika.
"Oh, tunjukkan Aku koleksi terbaru produkmu!" Perempuan itu menyilangkan kedua lengannya ke atas dada.
"Mari Saya tunjukkan, Kak." Vika mengajak perempuan itu menuju rak tempat produk baru dipajang
Namun, perempuan itu sama sekali tidak bergeming. Vika mencoba mengajak lagi perempuan di hadapannya itu, tapi hasilnya sama.
"Bawakan kemari! Siapa Kamu berani memerintahkan untuk mengikutimu!" bentak perempuan itu.
Seketika Vika menjadi pusat perhatian. Para pengunjung melemparkan tatapan penuh tanya, sedangkan para karyawan memandangnya dengan tatapan kasihan.
"Panggilkan Bu Sofia kemari!" teriak perempuan itu.
Salah seorang SPG yang mendengar perintah perempuan itu langsung berlari ke kantor. Tak lama kemudian, Bu Sofia datang dengan nafas terengah-engah.
"Bagaimana Nona? Ada yang bisa Saya bantu?" tanya Bu Sofia.
"Hubungi koordinator sepatu Yongkru, dan suruh dia mengganti SPG ini!" seru perempuan itu sambil memandang Vika sinis.
"Ya? Maksud Nona Nova?" tanya Bu Sofia meminta penjelasan.
Mendengar nama Nova mata Vika terbelalak. Ia baru sadar, jika sekarang ia sedang berada dalam masalah besar.
"Tapi Nona, dia salah satu SPG dengan penjualan terbaik. Saya rasa ...." Belum sampai Bu Sofia menyelesaikan kalimatnya, Nova memotong.
"Atau Kamu mau menggantikannya untuk angkat kaki dari toko ini!" Nova menyipitkan matanya.
"Maaf ...." Bu Sofia menunduk.
"Tidak perlu!" teriak Vika.
"Saya akan mengundurkan diri, jadi kalian tidak usah repot-repot mengetik surat peringatan ataupun surat pemecatan!" ucap Vika dengan berani.
"Vik ...," lirih Bu Sofia dengan wajah sendu.
"Oh, bagus, kalau tahu diri!" ucap Nova sambil meninggalkan Vika dan Bu Sofia.
"Vik, Kamu serius?" Bu Sofia mendekati Vika, dan meraih kedua lengannya.
Vika memandang wajah Bu Sofia. Vika menggeleng, matanya mulai berembun, dan menghambur ke pelukannya.
"Aku sombong sekali, bagaimana ini?" Vika mulai terisak.
"Maaf, Aku tidak bisa membantu. Apa Kamu tidak tahu kalau dia adalah Bu Nova?" tanya Bu Sofia.
Vika menggeleng. Tak lama Lolita datang. Ia kebingungan melihat Vika yang sedang menangis sesegukan.
"Vika kenapa? Maaf, Loli lupa memberitahumu. Bu Nova paling benci dipanggil dengan sapaan ibu," ucap Lolita penuh penyesalan.
"Huuuuaaaaaaa ... Loli!" Tangis Vika semakin pecah.
.
.
.
Vika tak menyangka, rejekinya di toko itu habis secepat ini. Ia berjalan lunglai menuju halte bus. Ia berharap motornya terjual secepat mungkin. Vika menghubungi Bulan, teman yang tadi pagi membawa motornya untuk dijual.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Harap coba hubungi beberapa saat lagi.
Mendengar sapaan dari operator seluler, membuat perasaan Vika tidak enak. Ia mencoba lagi menghubungi nomor temannya. Sekali, dua kali, bahkan ia mencoba hal yang sama puluhan kali. Tapi hasilnya sama. Nomor temannya itu tidak dapat dihubungi.
Vika mulai panik, ia memesan ojek online untuk enyambangi rumah temannya itu. Saat sampai di rumah temannya, bangunan itu sudah kosong. Ia mencoba bertanya kepada tetangga.
"Permisi Pak, apa Bulan ada?" tanya Vika pada seorang lelaki paruh baya yang sedang melintas.
"Bulan? Dia sudah seminggu lebih pindah rumah," jawab lelaki itu.
"Apa Bapak tahu, dimana dia tinggal sekarang?" tanya Vika.
"Waduh, maaf, Dek. Saya tidak tahu. Apa Adek ini kena tipu juga?" tanya bapak itu.
"Maksud Bapak?" Vika menyatukan alisnya.
"Bulan itu makelar bodong! Sudah banyak yang kena tipu sama dia!" ucap bapak itu penuh emosi.
Setelah itu bapak itu berlalu. Seketika tubuh Vika lemas. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semua kejadian ini kepada ibunya.
.
.
.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
apes banget Vika nasib nya!
2022-04-24
1
IG : @thatya0316
semangat kak
2022-02-08
1
auliasiamatir
sedih banget nasib mu Vika
2021-12-18
0