Terik panas menyengat kulit. Begitulah yang Bia rasakan saat ini, meski sebuah payung telah melindunginya.
Terlihat satu rombongan menghampiri Bia dan teamnya.
Salah seorang menunduk, memberi hormat kepada Bia.
"Maaf Ibu Direktur, atasan kami tidak bisa hadir karena suatu hal penting," tuturnya
Bia terbelalak mendengar penuturan utusan CEO ternama itu.
"Saya Rafa, asisten pribadi tuan Anyer." Sambungnya lagi.
Dalam hati Bia mengutuk atasan Rafa. Percuma Bia berada di bawah teriknya panas jika tidak bisa bertemu langsung dengan CEO perusahaan nomer 1 se-Indonesia raya.
"Nath, kamu urus!" titahnya pada Nathan.
Dengan anggukan Nathan segera maju ke depan dan membimbing Rafa dan rombongan untuk melihat lokasi.
Sementara Bia memilih kembali kedalam mobil dengan perasan kesal. Memang benar rumor yang beredar, pengusaha yang bernama Adipati Anyer Subrajdo memang sangat sulit untuk bisa bertemu langsung dengannya.
"Dasar, CEO belagu," umpatnya pelan.
Sopir yang duduk di tempat pengemudi sekilas hanya melirik Bosnya yang sedang memaki seseorang.
"Lama banget sih Nathan," gerutu lagi.
"Awas aja kalau gak bisa menyakinkan mereka!"
Duduk, namun pikiran berkelana sambil menggerutu. Itulah kebiasaan Bia.
Dilain sisi, Nathan dan Rafa membahas lahan yang akan di jadikan proyek kerjasama antara perusahaan mereka.
Setelah melalui survei dari beberapa orang yang di bawa oleh Rafa, akhirnya pihak dari Rafa menyetujuinya lahan tersebut.
"Berhubung atasan kami tidak bisa hadir, kami belum bisa mengatakan in dea meski kami merasa sudah sangat cocok. Tapi kami akan berusaha meyakinkan atasan kami," ucap Rafa dengan penuh sopan.
Sedikit kecewa namun, Nathan tetap memperlihatkan senyum indahnya.
"Baiklah saya mengerti. Semoga Tuan Anyer setuju," ucap Nathan penuh harap.
Setelah berjabat tangan, team Rafa dan Nathan pun segera membubarkan diri. Begitu juga dengan Nathan. Ia segera kembali ke mobil yang sudah berada Bia di sana.
Sambil mengipaskan tangannya ke depan wajah. "Huh… Panas banget. Pak nyalain ac dong!" perintahnya pada pak sopir. Dengan patuh sang sopir menyetel ac mobilnya.
Bia sudah tak sabar ingin mendengar kabar dari Nathan.
"Jadi gimana Nath? Setuju kan?"
"Mudah mudahan." ucap Nathan datar.
"Lho kok gitu? Jangan bilang mereka gak mau kerja sama. Aku potong setengah bonus bulanan mu!" ancam Bia.
"Bu Dir yang terhormat, tuan Anyer tidak hadir. Tapi tenang saja team mereka sudah setuju dan akan berusaha menyakinkan tuan Anyer untuk menyetujuinya."
Mendengar ucapan Nathan, wajah Bia sedikit tersenyum. Itu berarti harapannya bekerja sama dengan perusahan paling besar akan terwujud. Ini adalah kabar baik yang harus ia sampaikan kepada ayahnya.
. . .
Berhubung tak ada lagi pekerjaan di kantor, Bia memutuskan untuk pulang cepat. Berharap kabar baik segera ia sampaikan kepada ayahnya.
"Lho kok sepi," batin Bia saat ia memasuki rumah besarnya. Biasanya ia akan melihat ayahnya menonton seputar berita di ruang tengah.
"Mbak Lia…Bik Juminten…," teriak Bia.
"Papa…," teriaknya lagi.
Tak ada yang menyahut. Dan semua nama yang dipanggil tidak terlihat.
Bia segera menuju kamar ayahnya.
Lagi lagi kosong. Mengecek keberadaan penghuni rumah yang nihil akhirnya ia berlari keluar.
"Pak satpam, ini semua orang pada kemana?" tanya Bia tak sabar.
Jendri, satpam penunggu rumahnya langsung segera berdiri lalu membungkuk.
"Maaf nona, saya kurang tahu. Tapi tadi siang Lia dan Bik Jum membawa Tuan pergi." Jendri memberi pengakuan.
Bia semakin mengernyit. "Kok bisa gak tahu sih, Pak? Memangnya bapak gak tanya mau kemana mereka? Gimana sih, Pak." kesal Bia.
"Coba di telepon dulu, Non." Saran Jendri.
Bia segera membetulkan ucapan Jendri.
Ia segera merogoh ponselnya lalu mencari kontak nama sang ayah.
Namun belum juga tersambung, suara klakson mobil meminta di bukakan pintu gerbang membuat Bia segera menghentikan panggilan.
Terlihat mobil Wijaya memasuki halaman rumah. Mbak Lia dan Bik Jum pun mulai turun dari mobil. Sementara sopir segera membukakan pintu untuk Tuannya.
"Papa… Papa dari mana? Bikin panik aja." gerutu Bia di hadapan ketiga orang yang hendak memasuki rumah.
"Maaf Non, tadi Tuan merasa bosan di rumah dan meminta kami mengantarkannya untuk belanja bulanan," jelas Mbak Lia.
"Sudahlah, Bi. Jangan berlebihan! Ayo masuk!" Wijaya segera merangkul Bia meski dengan rasa gemetar dalam tubuhnya.
Bik Jum segera menyimpan barang yang telah mereka beli. Sementara Mbak Lia turut mengantar Wijaya kedalam kamar.
"Non Bia, Tuan belum makan. Saya akan siapkan makan untuk Tuan." ucap Mbak Lia. Bia hanya mengangguk.
Setelah kepergian mbak Lia. Bia menatap Wijaya. "Papa dari mana sih? Gak biasanya Papa pergi bawa Mbak Lia dan Bik Jum?" Cecar Bia.
Wijaya tersenyum. "Papa hanya dari supermarket belanja. Lagian Papa bosan di rumah. Kalau Papa suruh mbak Lia atau Bik Jum, nanti belanjaan gak sesuai dengan keinginan Papa," kilahnya.
Bia menarik nafas beratnya.
"Sudahlah! Kamu pasti capek. Sana mandi terus makan!" Wijaya merasa tak nyaman jika Bia terus menginterogasinya.
"Baiklah. Bia ke kamar dulu ya." Pamit Bia.
Sebelum keluar, Mbak Lia sudah datang kembali ke kamar Wijaya dengan sebuah nampan.
"Bi, maaf Papa tak bisa menemani kamu makan. Papa makan di kamar ya," ucap Wijaya.
Bia hanya mengangguk pelan kemudian berlalu.
Dalam releung hatinya Bia merasa sedikit kecewa dengan sikap ayahnya yang akhir akhir ini susah untuk diajak ngobrol bersama.
"Tuan, seharusnya anda dirawat jika tidak ingin kondisinya semakin buruk." Mbak Lia segera menyiapkan obat obat yang hendak di minum oleh Wijaya.
"Kamu mau Bia mengetahui penyakit saya? Cepat bawa sini obatnya," pinta Wijaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
next thour
2022-03-18
1
♀️
semangat Alma perjalanan nya smoga tanpa hambatan
2022-01-17
1
verawati
lanjut .... masih penasaran sama cerita nya😊😊
2022-01-11
1