Bia memilih membatalkan semua jadwal meeting hari ini. Konsentrasinya terpecah. Bagaimana tidak, satu satunya keluarga yang ia miliki masih terbaring tak berdaya.
Terpaksa Nathan yang menghandle pekerjaan Bia. Sebenarnya siang ini adalah jadwal peninjauan proyek yang sudah berjalan 50%. Tidak mungkin dibatalkan begitu saja.
Di bawah terik panas, Nathan berdiri mengamati para pekerja yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Didampingi seorang mandor yang memberi penjelasan, Nathan hanya mengangguk merasa cocok hasil yang mereka berikan.
"Tapi … Jangan merasa puas dulu! Sebab menurut pengamatan saya akan ada beberapa bagian yang tidak akan disukai oleh Bu Direktur," tutur Nathan.
Mandor menelan saliva. Sejauh ini timnya sudah bekerja keras sesuai arahan langsung dari sang Direktur.
"Maaf Pak, bagian yang mana ini?" gugup Mandor.
Nathan melangkah maju sambil memasang kaca matanya kembali. "Mari ikut saya." Instruksi Nathan.
Dengan patuh, mandor mengikuti langkah Nathan menuju tempat yang di maksud.
"Sebaiknya setiap batas jangan ditutup tembok tinggi semua. Bagian depan buat setengah saja. Agar penghuni bisa saling berkomunikasi. Sebab Bu Dir ingin perumahan ini tidak seperti perumahan pada umumnya yang semua penghuni jarang berkomunikasi dengan tetangga," jelas Nathan.
Mandor kini mengangguk. Ia lupa bahwa sang Direktur ingin menciptakan suasana yang berbeda.
"Baik, saya mengerti Pak. Kami akan segera mengubah sesuai permintaan anda."
Terasa lelah, tapi itu tidak seberapa. Nathan mengistirahatkan tubuhnya di dalam mobil. Namun, belum sempat ia merasakan sebuah kenyamanan, ponsel Nathan berdering. Dan itu adalah panggilan dari Lia.
Nathan segera mengangkat panggilan tersebut. Ia sangat was was jika itu adalah kabar yang tak diinginkan.
"Halo Mas Nathan. Tuan siuman."
Terdengar jelas Lia mengatakan bahwa Wijaya telah sadar. Tanpa sepatah kata, Nathan langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia segera menancap gas menuju rumah sakit tanpa menghiraukan rasa lelah dan letihnya.
Sesampainya di rumah sakit, Nathan segera menuju kamar dimana Wijaya berada.
Wijaya yang telah sadar sudah di pindahkan runganannya. Untung saja Nathan sempat membaca pesan dari Lia jika Wijaya sudah pindah ruangan.
"Tuan." Nathan segera menggenggam tangan Wijaya.
"Alhamdulillah Tuan sudah sadar," lanjutnya lagi.
Tangan sebelah Wijaya terulur membelai rambut Nathan.
"Sa-ya Ti- dak ap-a ap- a," ucap Wijaya terbata.
Wijaya segera menatap Lia yang juga berada di ruangan itu. Seolah matanya sedang berbicara kepada Lia.
"Tenang Tuan, saya sudah mengabari keluarga pak Arya," ucap Lia.
Wijaya mengangguk pelan. Nathan yang tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya hanya melongo.
"Maksudnya apa ya?" Dengan terpaksa Nathan bertanya.
"Mas Nathan coba hubungi Nona Bia jika Tuan sudah sadar." Bukan menjawab, Lia malah memerintah.
Ah, benar sekali ucapan Lia. Bia harus segera mengetahui berita bagus ini.
"Iya, kamu benar, Mbak," tutur Nathan.
Dengan segera Nathan membuat panggilan suara kepada Bia.
Bia sangat gembira mendengar berita besar dari Nathan. Tanpa pikir panjang Bia segera menuju ke rumah sakit bersama dengan pak Dadang.
"Pak, ayo dong cepetan!" titahnya pada pak Dadang.
"Iya Nona."
Seperti langkah Nathan sebelumnya, Bia juga berjalan cepat kala menuju ruang rawat ayahnya.
Tak henti hentinya Bia mengucap rasa syukur. "Papa." Bia segera menghambur dalam dekapan Wijaya yang masih terbaring lemah. Sedikit terisak. Menangis karena rasa bahagia.
"Syukurlah Papa sudah sadar," lirih Bia.
Tangan Wijaya menyapu rambut Bia. Seolah mengatakan, Sudahlah, Nak. Namun, itu terasa sulit dan bertahan di kerongkongan saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
🍃 Mama Muda
Bianca itu wanita strong 💪🏻💪🏻
2021-11-19
1