Mobil Porsche Taycan yang dikemudikan Levin bergerak perlahan meninggalkan halaman Mangan Gelato. Sebenarnya Khalisa bisa berjalan kaki dari Mangan Gelato tapi Levin bersikeras mengantarnya karena tidak mau Khalisa malu berjalan dengan gamis dan jilbab basah. Padahal Khalisa tak akan malu hanya karena baju tersebut.
Pemandangan baliho mulai memenuhi jalanan. Tak hanya berada di bagian atas jalan, baliho yang menampilkan foto calon presiden Indonesia ke-sepuluh itu juga dipasang pada pohon tanjung di sepanjang jalan Kaliurang.
"Kok kamu titipin buku sketsa mu ke Mas-Mas itu sih?" Huma berbisik.
Khalisa menoleh mendengar ucapan Huma, "emangnya kenapa?" Wajahnya polos.
"Kita baru ketemu dia hari ini dan kamu percaya gitu aja titipin buku itu, kalau nggak dibalikin gimana? atau hilang?" Huma geregetan karena Khalisa terlalu percaya pada orang yang baru ditemuinya sebentar. Mereka tidak tahu apakah karyawan Mangan Gelato itu benar-benar bisa dipercaya atau tidak. Apalagi buku itu adalah barang paling berharga milik Khalisa.
"Kayaknya dia baik kok, lagian dia nggak akan kemana-mana juga." Khalisa memilih cara paling aman untuk melindungi bukunya, ia takut buku itu justru robek jika ia membawanya dalam keadaan basah.
Tidak sampai 5 menit mereka sampai di depan apartemen mewah 30 lantai, tertulis Casey Avenue pada bagian depan lantai paling atas yang bersinar saat terkena pantulan cahaya matahari.
"Makasih Koko udah anterin." Khalisa turun dari mobil Levin disusul Huma karena tempat kos nya ada di belakang apartemen Casey Avenue sehingga ia perlu berjalan kaki sebentar untuk sampai kesana.
"Sama-sama." Levin menurunkan kaca jendela melihat Khalisa yang berdiri di samping mobilnya.
"Jas nya aku bawa dulu ya."
"Jangan lupa dicuci ya." Tukas Levin dengan nada bercanda, meski baru satu bulan mengenal ia sudah sangat akrab dengan Khalisa. Pembawaan Khalisa yang ramah membuat Levin betah mengobrol lama.
"Beres Bos, nanti aku kasih pewangi satu botol deh." Khalisa mengacungkan jempolnya pada Levin.
Levin tertawa, ia tahu apartemen ini memiliki layanan laundry sehingga Khalisa tidak perlu mencuci bajunya sendiri.
"Aku balik ya, assalamualaikum." Levin melambaikan tangannya, ia menutup jendela mobil setelah mendengar Khalisa menjawab salamnya menancap gas meninggalkan area Casey Avenue.
Karena Khalisa anak pertama di keluarganya, mengenal Levin membuatnya seperti mendapatkan sosok seorang kakak yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Lahir sebagai anak dan cucu pertama di keluarga Alindra membuat Khalisa cukup menanggung beban berat di bahunya. Apalagi sejak kecil Khalisa sudah diberi hadiah rumah sakit oleh Akong nya, Jaya Alindra sehingga mau tidak mau ia juga harus bertanggungjawab terhadap rumah sakit itu. Sebenarnya rumah sakit itu tak hanya milik Khalisa melainkan juga milik saudara sepupunya, Kafa. Khalisa merasa sedikit lega karena Kafa bersedia kuliah kedokteran setelah lulus nanti sehingga ia tak harus berkuliah di jurusan itu. Namun meski dari kecil Khalisa senang menggambar, ia harus memilih jurusan farmasi yang masih berhubungan dengan dunia medis.
"Gimana sih pertemuan kamu sama Ko Levin?" Huma penasaran bagaimana cara Khalisa dan Levin bisa akrab seperti sekarang. Meskipun Huma tahu Khalisa mudah diajak ngobrol tapi tak banyak cowok yang bisa akrab dengannya. Tentu sebagai perempuan Khalisa membatasi pergaulannya dengan lawan jenis.
"Kan aku udah pernah bilang, kami ketemu waktu acara amal tahunan di rumah sakit."
"Maksudku, cerita detail nya." Huma terus mengekori Khalisa hingga halaman apartemen.
"Kamu mau denger ceritanya?" Khalisa menghentikan langkah sehingga Huma menabrak punggungnya.
"Iya." Huma menggosok-gosok dahinya yang membentur punggung Khalisa.
"Ya udah ayo ikut ke apartemen ku."
"Beneran?" Huma berbinar-binar karena Khalisa bersedia untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Levin.
"Iya." Khalisa mempercepat langkah karena tidak tahan ingin segera mengganti pakaiannya yang basah dan terasa lengket.
*******
Aula rumah sakit Kafasa penuh oleh donatur yang ikut serta mengikuti acara amal tahunan rutin yang diadakan oleh Alindra Grub sekaligus memperingati 20 tahun berdirinya rumah sakit tersebut. Para donatur yang datang berasal dari berbagai kalangan, karyawan kantor, pemilik UMKM hingga Mitra Nusantara yang merupakan perusahaan di bidang retail.
Sebuah kue berbentuk seperti gedung rumah sakit berada di depan pada hadirin tengah menjadi pusat perhatian. Kehadiran dua orang yang menjadi alasan berdirinya rumah sakit Kafasa sedang bersiap memotong kue membuat semua orang yang hadir tak bisa melepaskan pandangan dari mereka.
Keluarga inti Jaya Alindra kompak mengenakan pakaian berwarna merah. Mereka berdiri di belakang kue bertuliskan angka 20 di bagian atasnya. Dimulai dari Umar yang berdiri paling ujung, di sampingnya ada sang istri Aisyah lalu si kembar Fatah dan Fatimah. Jaya Alindra dan Renata berada di tengah lalu Zunaira, Azmal, Ica dan Daniel.
Khalisa dan Kafa memegang pisau kue mereka masing-masing bersiap memotong kue dalam hitungan ketiga. Kilatan blitz tak henti menerpa sosok dua orang remaja tersebut, para wartawan berlomba-lomba mendapatkan gambar Khalisa dan Kafa sebanyak mungkin.
"Satu—" Khalisa menghitung lebih dulu.
"Dua—" Sambung Kafa.
"Tiga!" Mereka berseru bersamaan diikuti tepuk tangan riuh oleh para hadirin dan keluarga yang juga ikut memeriahkan acara tersebut.
"Potongan pertama buat Ama dong." Khalisa memberikan potongan pertama kue untuk Renata.
"Yang ini buat Akong." Kafa memberikan kue di tangannya untuk Jaya yang duduk di atas kursi roda. Meski telah menginjak usia 80 tahun Jaya masih terlihat bugar hanya saja ia tidak bisa berdiri terlalu lama.
"Makasih sayang." Renata mencium kedua pipi Khalisa, menghirup dalam aroma pipi sang cucu yang lebih enak dari aroma apapun di dunia ini.
Khalisa memberikan potongan kedua untuk papa dan mamanya. Khalisa mengucapkan terimakasih karena mereka telah membimbingnya hingga menjadi sekarang.
Ica memeluk Khalisa sangat lama karena selama setengah tahun ini sang anak sulung berada sangat jauh darinya untuk menempuh pendidikan. Sebentar lagi Khalisa kembali ke Yogyakarta memulai semester baru dan akan disibukkan oleh kegiatan kuliah. Meski sering berkomunikasi melalui video call tapi tetap saja memeluk dan menggenggam tangan seperti ini tak akan bisa selalu ia lakukan.
"Pa, makasih ya." Khalisa memeluk Daniel yang telah menjadi sosok lelaki paling ia hormati selain Jaya. Khalisa banyak terinspirasi dari suka duka Daniel semasa muda dan perjuangannya memeluk Islam.
"Sini biar Papa yang suapin Mama." Daniel mengambil alih piring di tangan Khalisa, ia menyuapkan sepotong kecil kue dengan rasa vanilla tersebut pada Ica.
"Aduh Papa emang pria paling manis deh di dunia." Khalisa memegang pipinya yang memanas meski sudah terbiasa melihat kemesraan papa dan mama nya. Mereka memang seringkali memperlihatkan kemesraan di depan anak-anaknya.
"Ai makasih ya." Khalisa juga memberi pelukan kepada Aisyah.
"Aduh keponakan Ai makin cantik sekarang." Aisyah mencium pipi Khalisa kanan dan kiri, dulu ia selalu membawa Khalisa ke rumahnya saat masih bayi, tiba-tiba sekarang gadis itu sudah tumbuh remaja dan berkuliah.
"Keponakan siapa dulu dong." Khalisa mengerlingkan matanya.
"Cece, jangan balik lagi ke Jogja." Zunaira—anak bungsu Ica dan Daniel berlari memeluk Khalisa, dulu sebelum Khalisa kuliah di Yogyakarta, Zunaira paling lengket dengannya.
"Cece kan harus kuliah sayang." Ica mengusap rambut lurus Zunaira tidak seperti milik Khalisa yang bergelombang.
"Iya nih, kan disini Zunai punya banyak temen." Khalisa mengangkat tubuh gadis berusia 5 tahun itu dan menggendongnya. "Aduh berat banget adik Cece ya sekarang." Kata Khalisa dengan suara tertahan. Meski terlihat kurus tentu saja Zunaira sudah mulai berat dibandingkan dulu saat masih bayi.
"Cece mau ini nggak?" Azmal tak mau kalah mencari perhatian Cece mereka, ia menyodorkan manisan ceri kepada Khalisa.
Tanpa menjawab Khalisa membuka mulutnya menyambut manisan buah di tangan Azmal. Tak terasa Azmal yang dulu masih belajar berjalan sekarang sudah setinggi Khalisa.
"Umm enak banget." Suara Khalisa tidak terlalu jelas karena mulutnya penuh dengan manisan. "Mau lagi dong."
Azmal langsung pergi untuk mengambil manisan buah lagi untuk Khalisa. Ia paling tahu kesukaan Cece nya yakni makanan apapun yang berbahan buah-buahan.
"Cece," panggil Daniel pada Khalisa, ia mengajari Azmal dan Zunaira memanggil Khalisa Cece. "Kenalin, ini temen Papa dari Jogja."
Khalisa kesulitan melihat seorang lelaki yang datang bersama papanya karena terhalang Zunaira.
"Zunai ayo turun dulu, sama Mama yuk." Ica menurunkan Zunaira dari gendongan Khalisa agar mereka lebih leluasa mengobrol.
Ica membawa Zunaira bergabung dengan Kafa serta si kembar Fatah dan Fatimah yang baru masuk Sekolah Dasar tahun ini.
"Ce, ini Levin ketua Komunitas Mualaf di Jogja." Daniel mengenalkan seorang lelaki berwajah oriental setinggi dirinya pada Khalisa. "Dia kuliah di UII juga."
"Salam kenal Ko, aku Khalisa." Khalisa menganggukkan kepala menyapa Levin yang ia tebak lebih tua darinya. "Jadi Koko kuliah di UII, kok aku nggak pernah lihat ya?"
"Kampus UII kan luas Ce." Sahut Daniel. "Kalau nggak salah jurusan kedokteran ya?"
"Iya Pak Daniel." Levin tersenyum mengangguk.
"Dia juga berdonasi dengan jumlah tinggi untuk rumah sakit kita."
"Masya Allah, terimakasih Ko semoga bisa bermanfaat dan membawa berkah untuk kita semua, Allah pasti akan menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak."
"Aamiin, karena sesungguhnya nggak ada orang yang lantas jadi miskin karena bersedekah." Tambah Levin.
"Papa samperin Mama dulu ya, Vin saya tinggal dulu, kalian ngobrol aja." Daniel menyentuh lengan Levin sebelum pergi. Daniel tahu Khalisa akan mudah akrab dengan Levin meski mereka baru pertama kali bertemu.
"Papa emang nggak bisa jauh dari Mama." Gumam Khalisa seraya melangkah mencari kursi kosong agar lebih nyaman mengobrol dengan Levin. "Jadi Ko Levin sejak kapan mualaf?" Ia sudah ingin bertanya sejak tadi, jika Levin menjadi ketua komunitas mualaf di Yogyakarta berarti ia sudah cukup lama memeluk islam.
Komunitas mualaf yang didirikan Daniel kini sudah memiliki ratusan ribu anggota yang tersebar di sekitar 50 kota di seluruh Indonesia. Masing-masing kota memiliki satu orang ketua yang bertanggungjawab terhadap kegiatan di dalam komunitas seperti belajar shalat, mengaji, hafalan Al-Qur'an dan berbagai kegiatan bakti sosial.
"Aku jadi mualaf sejak usia sepuluh tahun." Jawab Levin dengan senang hati.
"Ternyata udah lama ya, semoga Koko bisa terus Istiqomah di jalan Allah."
Levin mengangguk, "karena banyak temen mualaf di komunitas itu aku jadi makin mencintai islam dan bersyukur karena Allah memberi ku hidayah itu, aku selalu berdoa agar Papa dan Mama ku juga bisa mendapat hidayah itu."
Khalisa tersenyum teduh, ia mengerti perasaan Levin, itu sama seperti saat ia berharap Jaya dan Renata memeluk islam seperti dua anaknya Aisyah dan Daniel.
"Cece, ini manisannya." Azmal datang membawa dua tusuk manisan buah ceri, "satu lagi buat Koko." Ia memberikan dua tusuk manisan kepada Khalisa dan Levin.
"Wah, Koko dapat juga, kamsia ya." Levin tersenyum manis pada Azmal dan sedikit mengacak rambutnya.
"Makasih ganteng." Khalisa juga berterimakasih pada Azmal yang sudah berbaik hati memberinya manisan buah.
"Ngomong-ngomong kamu kuliah farmasi ya?" Kini giliran Levin bertanya, ia menggigit buah berlapis gula karamel hingga menimbulkan bunyi cukup keras.
"Iya, baru mau semester dua." Khalisa memakan satu buah ceri sekali lahap.
"Ini tanghulu bikinan Mama." Mama Khalisa tidak bisa dibilang mahir memasak tapi tanghulu buatannya selalu membuat Khalisa rindu rumah.
"Karena kita udah saling kenal dan satu kampus, harusnya setelah ini kita sering ketemu ya."
"Inshaa Allah." Khalisa mengangguk.
Catatan:
Ama\= Nenek
Akong\= Kakek
Ai\= Bibi
Cece\= Kakak perempuan
Kamsia\= terimakasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Emaknya Rio
mampir thor
2022-08-13
0
૦ 𝚎 ɏ ꄲ 𝙚 ռ
eh..Masyaa Allah .. ganteng banget ko Levin.. ngiler aku ya Allah 🤣🤣😍
2021-11-15
1
Reena Azza
itu visual levin kah thor?
2021-10-23
1