Mahabbah itu mencintai secara mendalam, perasaan rindu dan senang terhadap sesuatu khususnya kepada Allah menyebabkan seseorang terpusat kepada-Nya, kalau yang namanya cinta berarti kita akan melakukan apapun yang diperintahkan oleh-Nya dan menghindari semua perbuatan yang Dia benci. Jika kita beribadah kepada Allah berdasarkan cinta, inshaa Allah tidak ada perasaan terpaksa atau kesal saat melakukan itu semua. Sebaliknya kita akan menikmati saat-saat beribadah bermesraan dengan Allah.
Kalimat itu terus terngiang di telinga Khalisa sejak ia mendengarnya kemarin pada pertemuan Komunitas Mualaf yang diketuai oleh Levin—kakak tingkatnya sekaligus ketua Komunitas Mualaf Yogyakarta. Komunitas itu sendiri didirikan oleh Daniel—papa Khalisa sejak belasan tahun yang lalu.
Khalisa takjub mendengar penjelasan Levin tentang konsep mahabbah, meski itu bukan pertama kalinya ia mendengar soal pengertian mahabbah tapi ia tetap kagum khususnya pada mualaf yang terlihat bersungguh-sungguh ingin mencintai Islam lebih dalam. Meski terlahir sebagai muslim, Khalisa juga banyak belajar dari mereka para mualaf.
"Assalamualaikum cantik."
"Hai mau kemana."
"Selamat sore, udah mau pulang?"
Khalisa menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya meski tidak mengenal mereka. Jika ada kesempatan maka Khalisa akan menanyakan nama mereka lalu mengingatnya untuk ia sapa esok hari dan seterusnya. Ia menebarkan aura positif ke setiap tempat yang dilewatinya.
Khalisa Syanin Alindra atau biasa dipanggil Khalisa adalah mahasiswi tahun pertama FMIPA jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia. Khalisa gadis yang ramah dan mudah mengingat nama orang. Seperti ia ingat nama penjual balon pinggir jalan yang sering didatanginya dulu saat masih berusia 3 tahun atau orang yang pernah memberinya permen berbentuk kaki saat ia duduk di depan gedung play group menunggu mamanya datang. Khalisa ingat nama-nama orang yang bahkan hanya bertemu dengannya sekilas.
Setelah lulus SMA akhirnya Khalisa memberanikan diri menuntut ilmu jauh dari kampung halamannya di Banyuwangi ke Yogyakarta. Bukan tanpa alasan, ia sudah mengimpikan UII sejak lama. Memikirkan ia bisa berkumpul dengan orang-orang shalih dan shalihah membuatnya bertekad harus bisa kuliah disini.
"Nggak capek emang negur mereka semua?" Tanya seorang gadis yang dadi tadi berjalan di samping Khalisa, ia yang hanya melihat saja merasa lelah apalagi Khalisa. Zalfa Humairah—teman pertama Khalisa sejak mereka sampai di Yogyakarta, ia berasal dari Surabaya yang masih satu provinsi dengan kota asal Khalisa. Huma panggilan akrabnya adalah gadis pecinta novel fantasi, ia sangat terobsesi pada Harry Potter yang seri pertamanya telah ditulis lebih dari 40 tahun lalu. Huma dikenalkan dengan buku-buku fantasi sejak kecil karena orangtuanya memiliki perusahaan penerbit buku yang masih produktif hingga saat ini.
"Pertanyaan macam apa itu?" Khalisa mengerutkan kening tidak senang, ia tak pernah lelah bertegur sapa dengan orang-orang yang ditemuinya.
Mereka berjalan menuju Mangan Gelato—tempat makan gelato dekat kampus UII yang selalu ramai oleh pengunjung yang sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa. Selain rasa gelato nya yang enak, Mangan Gelato juga memiliki tempat yang bagus dan nyaman sehingga para mahasiswa betah berlama-lama disini.
"Hai Khalisa." Seorang mahasiswi berjilbab segi empat biru muda menyapa Khalisa ketika mereka berpapasan di depan pintu masuk Mangan Gelato—ia adalah satu dari 10 mahasiswa non-muslim yang berhasil masuk ke UII melalui jalur tes tulis.
"Halo Clarin, mau kemana?" Khalisa membalas sapaan gadis itu. "Jilbab kamu miring." Ia membenarkan jilbab Clarin yang sedikit miring, maklum selama ini Clarin tidak pernah mengenakan jilbab tapi karena kuliah di Universitas Islam ia wajib mengenakannya.
"Begah perut gue kebanyakan makan." Clarin menepuk-nepuk perutnya, "duluan ya."
"Oke!" Khalisa melambaikan tangan pada Clarin.
Huma yang dari tadi berjalan di samping Khalisa sudah hafal jika temannya itu memang mengenal banyak orang disini.
"Pesan apa?" Tanya Huma sesampainya di Mangan Gelato.
"Eh Mas pegawai baru ya?" Khalisa melihat seorang lelaki yang sibuk meracik berbagai rasa gelato ke dalam satu gelas.
"Kamu kenal?" Huma menyikut lengan Khalisa.
"Belum." Khalisa menggeleng sambil mengerlingkan mata. Belum? artinya sebentar lagi ia akan mengenal karyawan baru Mangan Gelato tersebut.
Huma punya perasaan tidak enak terhadap Khalisa, pasti sebentar lagi Khalisa akan mengajak mas-mas Mangan Gelato itu berkenalan.
"Mau pesan apa?" Lelaki berpenampilan rapi dengan seragam coklat tua khas Mangan Gelato itu menebarkan senyum ramah, memperlihatkan giginya yang rapi. Untuk sesaat pandangannya terkunci pada wajah cantik Khalisa tapi ia segera beristighfar dan menunduk.
"Ya ampun kok mas gelato ini ganteng banget sih?" Huma berbisik di telinga Khalisa.
"Butterscotch Vanilla Gelato." Khalisa menyebutkan pesanannya mengabaikan bisikan Huma, setiap kesini ia tak pernah memesan menu lain—ia tipe orang yang setia termasuk pada makanan.
"Dengan Choco Waffle?"
"Iya."
"Atas nama siapa?"
"Khalisa."
"Khalisa?" Ulangnya, ia seperti pernah mendengar nama itu sebelumnya.
"Khalisa Syanin Alindra."
Ia menghentikan aktivitasnya menabur choco chip di atas gelato saat mendengar gadis itu menyebutkan namanya.
"Ada satu pelanggan kita yang tiap datang pasti pesan Butterscotch Vanilla, dia cantik, baik dan super ramah sama semua orang jadi jangan kaget kalau tiba-tiba dia ngajak kamu ngobrol, namanya Khalisa—Khalisa Syanin Alindra."
Ia tiba-tiba ingat ucapan Fendi saat mengajarinya beberapa hal mendasar soal kombinasi menu gelato di tempat tersebut, Fendi adalah karyawan lama yang telah bekerja di Mangan Gelato selama satu tahun terakhir. Fendi berhenti karena harus ikut sang istri ke kampung halaman nya di Jepara.
"Dua ya Mas." Ucapan Khalisa membuyarkan lamunan lelaki itu tenang percakapannya dengan Fendi.
"Ditunggu sebentar ya." Ia kembali mengulas senyum ramah dengan bibirnya yang sedikit tebal itu.
"Makasih Mas Azfan." Khalisa tersenyum lebar melirik nametag yang terpasang pada dada kanan lelaki itu.
Lelaki bernama Azfan itu gelagapan saat Khalisa tiba-tiba menyebutkan namanya, harusnya ia tidak terlalu terkejut karena nametag nya jelas terpasang di dada tapi dari tadi tak ada pelanggan yang memanggil namanya, Khalisa adalah orang pertama atau mungkin satu-satunya. Tentu bagi pelanggan nama seorang karyawan yang bertugas membuat pesanan mereka tidak lah penting, tujuan mereka kesini adalah untuk makan gelato bukan mengetahui nama karyawannya.
Belum sempat Azfan membalas ucapan terimakasih Khalisa, gadis itu sudah berlalu meninggalkan kasir mencari tempat duduk di tengah ruangan.
"Jadi itu penggantinya Mas Fendi." Huma mendekatkan wajahnya pada Khalisa seolah seseorang yang tengah ia bicarakan bisa mendengarnya. "Kayaknya seumuran kita deh."
"Sepertinya juga mahasiswa sini." Duga Khalisa, ia meletakkan tas kuliahnya di atas lantai dan mengeluarkan buku sketsa tempatnya menorehkan berbagai ide desain pakaian.
"Yang jelas bukan anak jurusan kita." Huma menunduk membaca buku bersampul hitam yang dari tadi dipegangnya.
"Kok tahu?" Tanya Khalisa tanpa melihat Huma karena serius mengarsir desain gamis A line dengan aksen bunga di bagian pinggangnya.
"Kalau dia ada di jurusan farmasi pasti kamu udah kenal lah dari dulu."
Saat pertama kali mengenal Khalisa Huma dibuat kaget karena gadis itu selalu menyapa siapapun yang ditemuinya. Kadang Huma merasa malu karena Khalisa suka tiba-tiba mengajak ngobrol orang asing. Namun sekarang ia sudah terbiasa dengan sikap Khalisa yang terlampau ramah.
"Kamu bilang ada janji sama siapa disini?" Huma ingat tadi Khalisa bilang ada janji dengan seseorang disini sepulang kuliah.
"Oh iya, hampir aja lupa, aku janjian sama Ko Levin." Khalisa beranjak meletakkan buku sketsa dan pensil di atas meja.
"Mau kemana?" Huma mendongak mengalihkan pandangan dari bukunya.
"Pesenin gelato buat Ko Levin." Khalisa melangkah ke meja kasir untuk memesan satu gelato lagi, ia lupa kalau tujuan utama nya kesini adalah bertemu dengan Levin. Cowok yang juga keturunan Tionghoa itu berjanji akan meminjamkan buku kepada Khalisa. Tadi Levin telah mengirim pesan singkat pada Khalisa bahwa ia ingin gelato matcha tanpa campuran apapun.
"Mas Azfan aku mau pesen satu lagi, taruh dalam cup ya." Tukas Khalisa. "Oh itu punyaku bukan?" Ia melihat Azfan meletakkan dua piring Waffle dengan gelato di atasnya.
"Silahkan, yang ini mau rasa apa?" Azfan mengambil satu gelas bersiap mengisinya dengan gelato rasa apapun sesuai pesanan Khalisa.
"Matcha aja." Khalisa mengambil piring dua gelato memindahkannya ke meja dimana Huma dan dirinya duduk.
"Gelasnya mau dikasih nama?" Tanya Azfan setelah Khalisa kembali dan ia selesai mengisi penuh gelas berukuran sedang tersebut dengan gelato rasa matcha.
"Beri nama Levin Evander Deristiano." Khalisa menyebutkan nama lengkap Levin.
Dengan cekatan Azfan mengukir nama tersebut pada gelas plastik di tangannya dengan bolpoin khusus berwarna silver metalik.
"Wah Mas kidal ya?" Khalisa kagum melihat Azfan menulis dengan tangan kiri, ia tak pernah melihat orang kidal sebelumnya.
"Iya." Azfan menyodorkan gelato pada Khalisa.
"Eh maaf!" Khalisa terkejut ketika ibu jarinya tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Azfan yang amat dingin karena berkutat dengan gelato. Khalisa takjub melihat tulisan tegak bersambung Azfan pada gelas tersebut. Tangan kiri Azfan sungguh mengagumkan.
Dengan cepat Azfan menarik tangannya kembali, ia menelan ludahnya kasar seperti terkena sengatan listrik saat tidak sengaja bersentuhan dengan jemari Khalisa.
"Aku denger ada yang sebutin namaku barusan." Seseorang muncul di belakang Khalisa, cowok tinggi, putih dengan sepasang mata sipit.
Khalisa berbalik, "Ko Levin, kok lama?" Ia sedikit mundur agar jaraknya tidak terlalu dekat dengan Levin.
Azfan mengangkat wajah sebentar demi melihat cowok yang sedang berbicara dengan Khalisa. Mereka sama-sama memiliki mata sipit, tunggu dulu apakah mereka kakak adik? tidak mungkin.
"Maaf ya, kelas ku baru aja selesai." Levin tersenyum manis—sangat manis hingga membuat gelato di tangan Khalisa minder dibuatnya.
"Iya Pak dokter emang hampir nggak pernah ada waktu senggang." Khalisa meledek Levin yang jadwal kuliahnya selalu padat dibandingkan dengannya mahasiswi tahun pertama.
"Aduh gak pantes aku diceluk pak dokter, masih jauh perjalannya." Levin menggeleng, ia masih harus menjalani koas tahun depan, itupun dirinya masih harus melewati perjalanan panjang untuk disebut dokter.
Khalisa mengeluarkan kartu debit dari saku gamisnya, "jadi berapa semuanya Mas?"
"Tiga ratus lima puluh." Azfan menyebutkan harga tiga gelato yang Khalisa pesan.
"Oh iya ini sesuai pesanan." Khalisa memberikan gelato matcha pada Levin.
"Biar aku aja yang bayar." Dengan cepat Levin memberikan uang tunai kepada Azfan sebelum Khalisa menolak.
"Wah orang kaya nih." Khalisa melirik sebentar pada Levin.
"Nggak apa-apa aku traktir kamu setahun penuh deh asal nanti izinkan aku koas di rumah sakit mu." Levin terkekeh di ujung kalimatnya, ia hanya bercanda soal itu. Tanpa embel-embel izin koas pun Levin mau mentraktir Khalisa.
"Kejauhan kali Ko, disini juga banyak rumah sakit bagus."
Azfan tidak bermaksud menguping pembicaraan antara Khalisa dan Levin tapi ia mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Azfan dapat menyimpulkan bahwa cowok bernama Levin itu adalah seorang mahasiswa kedokteran sedangkan Khalisa memiliki rumah sakit yang jauh dari sini. Namun bagaimana mungkin seorang mahasiswi memiliki rumah sakit?
Mereka meninggalkan meja kasir setelah membayar untuk melanjutkan pembicaraan mereka sambil duduk. Tidak lupa Khalisa mengucapkan terimakasih kepada Azfan.
"Kenalin Ko, ini Huma temen aku." Khalisa mengenalkan Levin kepada Huma.
"Halo salam kenal Huma." Levin menganggukkan kepala menyapa Huma yang tengah menikmati gelato.
"Oh ini yang kamu bilang cowok gan—" Kalimat Huma terputus karena Khalisa menginjak kakinya. Huma ingat sepulang dari Banyuwangi satu bulan yang lalu Khalisa bercerita bahwa dirinya bertemu dengan mualaf tampan dan shalih bernama Levin. Ternyata cowok bernama Levin itu juga berkuliah di UII.
Khalisa nyengir mata sipitnya mendelik kepada Huma, melalui matanya ia berkata stop ngomongin itu! Huma tahu betul arti tatapan itu sehingga ia segera menunduk pura-pura serius membaca buku.
Levin keheranan melihat tingkah dua adik tingkatnya itu, ia menggeleng samar berusaha tidak berpikir macam-macam.
"Jadi Huma tinggal di apartemen Casey Avenue juga?"
"Hm?" Huma mengangkat wajah mendengar pertanyaan Levin lalu otomatis ia menggeleng. Ia bukan Khalisa yang bisa tinggal di apartemen mewah seperti Casey Avenue. "Tinggal disitu setahun sama aja kayak biaya kuliah sampe wisuda, nggak mampu aku."
"Bener banget." Levin menyetujui ucapan Huma, ia merasa beruntung karena rumahnya berada di dekat sini sehingga tak perlu mengeluarkan biaya tempat tinggal.
"Itu aja Ama yang pilih tempatnya, sebenarnya aku juga nggak mau tinggal di apartemen semewah itu, boros banget, tapi Ama kalau udah memutuskan sesuatu nggak bisa diganggu gugat."
"Ama emang nggak salah pilih." Levin manggut-manggut, selain mewah Casey Avenue juga dekat dengan kampus UII.
Mereka terdiam menikmati gelato masing-masing di tengah ramainya pengunjung lain siang itu.
"Mana buku yang Koko bilang?" Khalisa menagih janji Levin yang hendak meminjamkannya buku tentang Rabi'atul Adawiyah.
"Sek sabar." Levin bicara dengan logat jawa yang kental, ia nyengir melihat eskpresi Khalisa yang tidak sabar meminjam bukunya. "Nih." Ia mengeluarkan buku tebal bersampul putih bertuliskan Mahabbah Rabi'atul Adawiyah dari dalam tasnya.
"Aku pinjem dulu ya." Khalisa sumringah melihat-lihat halaman buku tersebut, ia akan membacanya di apartemen nanti.
Levin mengangguk tidak bisa membalas ucapan Khalisa karena mulutnya penuh oleh gelato rasa matcha favoritnya.
"Beliau seorang sufi yang pertama kali mencetuskan soal mahabbah, kita bisa belajar banyak dari seorang Rabi'atul Adawiyah." Terang Levin setelah menghabiskan gelato di mulutnya.
"Aku juga punya buku tentang tokoh Al-Qaysiyah bernama Rabi'atul Adawiyah tapi itu cetakan lama yang enggak begitu lengkap."
Dari meja kasir Azfan melihat Khalisa dan Levin tampak membicarakan sesuatu yang serius. Kadang Azfan juga ingin seperti mahasiswa lain yang bisa main-main keluar setelah kuliah. Namun tak semua orang beruntung seperti mereka. Azfan tersenyum samar menguatkan dirinya sendiri.
"Kamu pulang naik apa?" Tanya Levin setelah menyudahi diskusi mereka tentang mahabbah dan menghabiskan satu gelas gelato.
"Naik sepatu pantofel nih." Khalisa melirik ke bawah pada sepasang kakinya yang terbungkus sepatu pantofel hitam. Jarak kampus dan apartemen khalisa bisa ditempuh dalam 15 menit dengan jalan kaki. Mobil Khalisa sering menganggur karena ia juga jarang keluar selain kuliah.
"Aku anterin ya." Ujar Levin bersemangat tapi suaranya tenggelam oleh dua orang yang terlihat sedang ribut di tengah ruangan itu.
Khalisa dan Huma sama-sama menoleh ke sumber suara. Mereka saling berteriak, memaki dan mengumpat hingga menjadi perhatian pengunjung lain. Tampaknya mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
"Jangan lihat." Khalisa berbisik memegang tangan Huma agar berhenti melihat keributan itu.
"Ahhh!" Khalisa memekik ketika merasakan cairan dingin menyiram tengkuknya—mengalir hingga sepanjang punggung nya. Apa ini?
Azfan terkejut melihat punggung Khalisa basah tersiram minuman. Azfan segera meraih kemeja hitam yang sebelumnya ia kenakan saat kuliah tadi.
"Khalisa!" Levin beranjak menghalangi tubuh Khalisa dari dua orang yang sedang ribut itu. "Kalian ngapain sih ribut disini!"
"Maaf-maaf saya nggak sengaja." Cewek berambut coklat bergelombang itu syok, ia tidak sengaja menumpahkan minumannya hingga mengenai Khalisa.
"Kalau mau berantem di luar aja tuh!" Sentak Levin membuat semua orang di dalam sana terdiam termasuk Khalisa. "Kalian udah ganggu kenyamanan banyak orang."
"Mbak saya minta maaf!" Ia hendak menghampiri Khalisa untuk meminta maaf tapi Levin mencegahnya.
"Nggak apa-apa kok." Seru Khalisa, ia tidak mau memperpanjang masalah ini lagi pula sebentar lagi ia sudah harus kembali ke apartemennya.
Cewek itu keluar bersama pacarnya dari pada menimbulkan keributan lagi di dalam sana. Beberapa orang yang berkerumun juga mulai buyar melanjutkan kegiatan mereka masing-masing.
"Maaf atas ketidaknyamanan ini." Azfan datang membawa alat pel untuk membersihkan lantai yang penuh dengan noda minuman berwarna coklat.
"Duh maaf ya Mas jadi kotor gini lantainya." Khalisa beranjak memberi ruang untuk Azfan. Begitupun dengan Huma, tidak lupa ia mengambil tas Khalisa yang tergeletak di atas lantai. Untung saja tas itu tidak ikut basah, karena Huma yakin di dalam sana ada banyak berharga milik Khalisa.
"Ini bukan kesalahan kamu." Azfan melihat Khalisa yang wajahnya berubah merah mungkin karena terkejut oleh peristiwa barusan.
"Ah buku aku basah!" Khalisa menyambar buku sketsanya yang juga terkena noda minuman.
"Tenang-tenang, dia nggak bakal luntur kok tinta nya." Huma berusaha menenangkan Khalisa.
Bagi Khalisa buku tersebut lebih penting dari pada gamis ataupun jilbab yang dikenakannya. Jika pakaian bisa dicuci maka gambar desain itu tak bisa digambar ulang. Khalisa telah mengerahkan seluruh pikirannya untuk menggambar satu desain.
"Kalau mau dikeringkan, di meja kasir ada kipas angin." Azfan menawarkan bantuan menyelamatkan buku Khalisa yang basah.
"Boleh minta tolong nggak Mas?" Khalisa menyodorkan buku tersebut pada Azfan. "Titip dulu ya, besok aku ambil kesini." Ujarnya.
"Hm?" Azfan tertegun mendengar ucapan Khalisa, titip katanya? mengapa Khalisa menitipkan barang penting itu padanya?
"Pakai jas ku." Levin melepas jas dan menyampirkan nya pada punggung Khalisa. "Mending sekarang aku anterin kalian pulang, kalau kelamaan kamu bisa masuk angin."
"Makasih Ko." Khalisa masih sempat mengulas senyum meski jauh dalam hatinya merasa kesal, tapi cewek tadi menyiramnya secara tidak sengaja sehingga ia tidak bisa marah. Tanpa menunggu jawaban Azfan, ia keluar dari sana mengekori Levin.
Azfan memperhatikan kemeja di tangannya saat Khalisa dan temannya serta satu cowok keturunan Tionghoa itu pergi, tadinya ia hendak memberikan kemeja itu pada Khalisa untuk menutupi jilbab dan gamisnya yang basah. Ia merasa bertanggungjawab karena Khalisa adalah salah satu pelanggannya. Namun ada orang lain yang melakukan itu terlebih dahulu sehingga Azfan mengurungkan niatnya.
Tiba-tiba pandangan Azfan terfokus pada tasbih digital berwarna merah di atas meja. Ia melihat tasbih tersebut terpasang di jemari Khalisa tadi. Azfan mengambil tasbih tersebut dan berlari keluar berharap Khalisa masih belum jauh. Namun mereka bertiga sudah benar-benar pergi tak terlihat meski Azfan telah mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru halaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
૦ 𝚎 ɏ ꄲ 𝙚 ռ
waah..ko Levin suka nih ma Khalisa..
2021-11-15
0
✿⃝⭕🌼Ohti
semangat kk up Nya
2021-10-07
2
Nina
akhirnya ada kelanjutan nya thor,semangat
2021-10-06
1