Anggota HAWASI berkumpul di sudut masjid Ulil Albab usai shalat dhuhur berjamaah membicarakan tentang kompetisi MTQ tahunan di Universitas Islam Indonesia. Peserta lomba tak terbatas mahasiswa UII saja melainkan bisa dari kampus dan sekolah lain. Dalam hal ini HAWASI selalu menunjuk setidaknya 2 orang untuk mengikuti kompetisi tersebut.
Hasan selaku ketua memulai pembicaraan, tahun ini ia tidak akan mengikuti kompetisi itu untuk memberi kesempatan kepada anggota lain yang masih baru.
"Kebetulan Azfan hari ini ikut berkumpul, saya akan menunjuk Azfan dari FIAI Ahwal Al-syakhshiyah untuk ikut serta dalam MTQ tahun ini, semoga Azfan berkenan." Ucap Hasan.
Azfan yang dari tadi menunduk seketika mendongak mendengar Hasan menyebutkan namanya, mengapa setiap kali hadir ia selalu saja ditunjuk oleh Hasan. Apakah ini hukuman untuknya karena jarang ikut berkumpul.
"Tapi saya tidak bisa." Jawab Azfan dengan suara rendah, ia tidak bisa tampil di depan orang banyak.
Khalisa mengangkat alisnya mendengar jawaban Azfan, masih bilang tidak bisa padahal sudah terbukti kalau suara Azfan memang bagus saat qiraah di depan HIQMA juga. Khalisa bertanya-tanya mengapa Azfan begitu tidak percaya diri dengan suara bagus dan wajahnya yang tampan. Maksudnya—bukankah kebanyakan cowok akan percaya diri saat mereka memiliki wajah tampan. Sedangkan Azfan memiliki kelebihan lain tapi ia orang yang mudah minder apalagi di depan banyak orang.
Bahkan jika diperhatikan banyak mahasiswi yang tampak tertarik dengan Azfan. Hanya saja Azfan yang lugu itu tidak menyadarinya atau ia tak pernah berpikir jika mereka para gadis bisa menyikapinya.
"Kenapa bilang tidak bisa, buktinya suara kamu bagus, nanti tinggal latihan aja sedikit sama kating yang udah pernah ikut MTQ."
Azfan mengangguk pelan tak kuasa menolak Hasan padahal ia tak tahu apakah dirinya mampu atau tidak mengikuti ajang bergengsi tersebut. Azfan tak pernah memiliki pengalaman mengikuti lomba apapun, ia hanya murid biasa saat sekolah dulu.
"Untuk anggota perempuan saya ingin menunjuk Syifa dari Fakultas Hukum, bagaimana Syifa?" Hasan melihat Syifa yang duduk di barisan paling depan.
"Terimakasih atas kesempatan nya kak." Syifa mengangguk.
"Untuk anggota lain yang ingin mendaftarkan diri, silahkan angkat tangan." Hasan mengedarkan pandangan ke seluruh anggota HAWASI yang hadir siang itu. "Saya dengar informasi dari panitia beberapa mahasiswa dari Lembaga Dakwah juga akan ikut serta dalam kompetisi ini, silahkan angkat tangan."
Hasan melihat ada 4 anggota laki-laki dan perempuan mengangkat tangan, ia segera mencatat pada tablet yang ia bawa untuk mendaftarkan nya ke panitia lomba.
Mereka lanjut membicarakan tentang kompetisi tersebut seperti hal-hal yang harus dipersiapkan dan sebagainya.
Ponsel Khalisa berdering saat ia keluar dari masjid usai Hasan membubarkan pertemuan hari itu. Ia mengaduk isi tasnya mencari benda pipih tersebut.
"Eh!" Khalisa memekik saat ada yang menabraknya dari belakang.
"Sorry-sorry." Seorang mahasiswi mengucapkan maaf karena tidak sengaja menabrak Khalisa.
"Iya-iya, nggak apa-apa salah saya di depan pintu."
Azfan melangkah cepat dan berdiri sekitar setengah meter di belakang Khalisa menghalangi orang-orang agar tidak ada yang menabrak Khalisa lagi.
"Halo Rindang, iya aku udah selesai kamu dimana, ya udah aku nyusul ke monumen tugu."
Sekilas Azfan mendengar percakapan Khalisa dengan Rindang di telepon, meski tidak terlalu jelas tapi Azfan tahu bahwa Khalisa akan pergi ke monumen tugu.
Setelah memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas Khalisa pergi dengan terburu-buru. Azfan melihat punggung mungil Khalisa semakin menjauh. Raut wajah Azfan sulit diartikan, seperti penasaran, khawatir dan kecewa karena Khalisa pergi begitu saja. Namun tak seharusnya ia kecewa hanya karena Khalisa pergi.
"Azfan!" Seorang mahasiswi memanggil Azfan dari belakang.
Azfan spontan berbalik mendengar namanya dipanggil, ia melihat seorang mahasiswi berjas almamater jurusan hukum menghampirinya. Kalau tidak salah itu adalah Syifa yang juga ditunjuk Hasan untuk mengikuti MTQ, Azfan tidak mengenal banyak anggota HAWASI karena ia jarang ikut berkumpul.
"Azfan, karena kita sama-sama ditunjuk oleh Kak Hasan, bagaimana kalau kita latihan bersama?"
"Syifa, aku juga masih belajar jadi lebih baik kamu berlatih dengan kakak tingkat yang pernah ikut kompetisi ini seperti kata Kak Hasan." Azfan tersenyum tipis tidak bermaksud menolak ajakan Syifa hanya saja ia merasa harus lebih banyak belajar dalam bidang ini.
Raut wajah Syifa menyiratkan kekecewaan saat Azfan menolaknya berlatih bersama, "tapi suara kamu waktu itu bagus kok."
"Tentu kamu tahu kalau ini bukan hanya tentang suara."
Syifa mengangguk tersenyum hambar padahal ia sangat berharap Azfan setuju untuk berlatih bersama. Namun sayangnya Azfan sebagai laki-laki begitu tertutup.
"Kalau gitu aku permisi dulu." Azfan mengucap salam lalu pergi dari sana meninggalkan Syifa karena ia harus bergegas menuju tempat kerjanya.
******
Langit mulai gelap, lampu-lampu kota dihidupkan menerangi malam kota Yogyakarta yang cerah oleh sinar rembulan. Tempat-tempat nongkrong seperti cafe dan angkringan semakin ramai oleh muda-mudi. Tak ada kata tidur bagi kota Yogyakarta, justru semakin malam suasana terasa makin ramai.
Khalisa bersandar pada mobilnya melihat Rindang yang masih belum selesai melakukan pemotretan dengan salah satu fotografer profesional kenalan Rindang. Tadinya Rindang meminta bantuan Jason untuk memotretnya tapi cowok itu pulang lebih awal karena ada urusan mendesak di rumah. Akhirnya Rindang terpaksa menggunakan jasa fotografer profesional untuk menyelesaikan pekerjaannya. Rindang harus menggunggah foto-foto tersebut sesuai jadwal, karena hari ini ia sudah membawa banyak pakaian maka ia harus menyelesaikannya sekarang juga. Meski semakin malam sulit mencari tempat bagus yang tidak banyak dikunjungi orang, Rindang tidak menyerah untuk menemukan tempat tersebut.
"Aku ke masjid dulu ya, udah isya' tuh." Seru Khalisa pada Rindang.
"Bawa mobil nggak?" Tanya Rindang.
"Enggak, masjidnya deket sini kok." Khalisa masuk ke mobilnya mengambil tas tempat ia menyimpan barang-barangnya termasuk mukenah dan tasbih.
Khalisa melihat ada masjid dekat sini sehingga ia hanya perlu berjalan sebentar untuk sampai kesana.
"Coba lihat hasilnya." Rindang setengah berlari melihat hasil foto Galen.
"Sesuai keinginan kamu nggak?" Galen menggeser foto-foto yang telah ia tangkap.
Rindang mengangguk, "makasih ya, sorry aku panggil kamu mendadak "
Galen memberikan kamera digital milik Rindang, "nggak masalah, kalau butuh bantuan lagi jangan sungkan kasih tahu aku." Ujar cowok berambut ikal tersebut, ia membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit turun.
"Nanti uangnya aku transfer ya." Rindang mengalungkan kameranya setelah melihat hasil foto Galen.
"Iya santai aja, habis ini mau langsung pulang?"
"Mau nyari makan dulu sih sekitar sini, nungguin Khalisa masih shalat dia."
"Aku balik duluan nggak apa-apa?" Galen mengeluarkan kunci motornya dari saku kemeja kotak-kotak yang ia kenakan.
"Iya-iya, nggak apa-apa." Rindang mengangguk mempersilahkan Galen pulang terlebih dahulu, lagi pula ia tinggal menunggu Khalisa shalat sebentar.
"Kalian hati-hati ya soalnya daerah ini sepi." Pesan Galen sebelum naik ke motornya.
"Oh ya?" Rindang melihat sekitarnya, ia baru sadar kalau tempat yang bagus ini cukup sepi. Saking asyiknya berfoto Rindang tidak menyadari itu.
"Mau aku temenin sampai Khalisa datang?"
"Enggak usah, palingan bentar lagi juga dateng."
"Aku balik ya."
"Iya, makasih ya Galen." Rindang melambaikan tangan pada Galen.
Rindang kembali melihat foto-fotonya termasuk hasil jepretan Jason sore tadi. Meski bukan fotografer profesional, skill Jason dalam memotret juga lumayan meski tak sebagus Galen.
"Akhirnya sendirian juga kamu." Suara berat seorang lelaki membuat Rindang mengangkat wajahnya. Tampak seorang lelaki tinggi kurus berdiri di hadapannya.
"Apa—kita saling kenal?" Rindang mundur selangkah karena jaraknya dengan lelaki itu terlalu dekat.
"Aku menunggu sangat lama untuk mendapatkan momen ini, aku harus ngikutin kamu terus kemanapun kamu pergi tapi pacar kamu si Jason dan Khalisa sahabat kamu itu selalu ada bersama mu, sekarang akhirnya kesabaran ku membuahkan hasil." Lelaki itu menyentuh rambut Rindang yang tergerai.
"Eh jangan macem-macem ya kamu!" Rindang kembali mundur, melihat kacamata hitam yang dikenakan lelaki itu Rindang sudah merasa aneh karena ini malam hari, tak ada yang mengenakan kacamata hitam saat langit gelap.
"Rindang Anjana, aku pengikut mu sejak lama." Ia maju selangkah, "aku tahu semua tentang kamu."
"Terus sekarang kamu mau apa?" Rindang melirik ke kanan dan kiri, jika ada orang lewat maka ia akan langsung berteriak minta tolong. Namun sayangnya seperti kata Galen, tempat itu sepi.
"Pertanyaan yang bagus, aku ingin menyentuhmu dari atas sampai bawah." Pandangan lelaki itu membara melihat Rindang ketakutan, ia tertawa lebar.
"Berani kamu macem-macem, aku bakal teriak." Rindang mundur hingga punggungnya membentur mobil Khalisa. Ia berlari hendak masuk ke mobil Khalisa tapi lelaki itu lebih dulu memeluknya dari belakang.
"Silahkan aja teriak ditambah desaahan juga nggak apa-apa." Lelaki itu mengembuskan napas di belakang telinga Rindang.
Air mata Rindang mulai meleleh, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia berdoa agar Khalisa segera datang atau setidaknya meminta pertolongan. Ia tak bisa menelepon siapapun karena meninggalkan ponsel di mobil.
Rindang bisa mencium aroma rokok bercampur alkohol, ia memalingkan wajah ketika pria brengsek itu berusaha menciumnya. Meski berusaha melepaskan diri, tenaga Rindang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan lelaki yang sedang memeluknya tersebut.
Rindang semakin ketakutan melihat dua laki-laki lain berdatangan mengerumuninya. Pandangan mereka liar dan penuh gairah.
Tolong ya Tuhan, lindungi aku. Teriak Rindang dalam hati. Bukankah selama ini aku selalu rajin beribadah, tolong lindungi aku.
"Kamu lebih cantik dilihat secara langsung." Ucap salah satu dari mereka. Namun Rindang tak peduli, ia tidak senang dipuji oleh mereka.
Dari kejauhan Khalisa terkejut melihat Rindang dikerumuni tiga laki-laki berpakaian serba hitam dan berantakan.
"Ya Allah, Rindang." Khalisa melihat sekelilingnya mencari sesuatu untuk menyerang mereka.
Khalisa berjongkok mengumpulkan batu berukuran sedang dan memasukkannya ke dalam tas.
"Bismillah." Khalisa berlari mengarahkan tasnya yang penuh dengan batu dan memukul bagian belakang lelaki yang sedang memeluk Rindang.
"Ah!" Ia meringis kesakitan mendapat pukulan cukup kuat di bagian tengkuknya.
Rindang melepaskan diri tapi lelaki lain lebih dulu menangkapnya, "Khalisa." Ia memanggil Khalisa penuh harap. Wajah Rindang sudah basah oleh air mata.
"Kurang ajar kamu!" Lelaki tinggi kurus itu mendorong Khalisa hingga jatuh tersungkur. "Jangan ikut campur kalau nggak mau abis di tanganku."
"Khalisa lari Khalisa!" Teriak Rindang.
Khalisa meringis merasakan telapak tangannya nyeri dan perih, ia spontan menahan tubuhnya dengan kedua tangan. Khalisa mengangkat tangannya, ia melihat beberapa kerikil menancap pada telapak tangannya tapi itu tidak penting, bagi Khalisa yang terpenting adalah Rindang tidak terluka sedikitpun.
Khalisa merangkak berlindung di balik pohon besar yang ada disana, ia menuang semua isi tasnya mencari ponsel dengan tangan gemetar. Sesekali ia melihat ke arah Rindang yang dikerumuni tiga laki-laki sekaligus.
Pandangan Khalisa berkabut karena air mata menggenang di pelupuk matanya, ia segera menghapus air matanya kasar dengan punggung tangan agar penglihatannya kembali jelas. Ia menghubungi nomor kontak paling atas pada riwayat panggilannya. Itu adalah Azfan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Sopi Yah
semoga Rindang lolos
2021-11-26
0
૦ 𝚎 ɏ ꄲ 𝙚 ռ
lanjut lagi kak..
kasihan rindang m Khalisa ini..
2021-11-25
0
Bundanya Abhipraya
ya Allah ikut gemeter
2021-11-25
0