Terik matahari menyambut kedatangan Luna yang datang tiba-tiba ke kampusnya. Luna dengan cepat masuk ke ruangan Dosen untuk mengikuti magang untuk sebuah perusahaan. Luna memang dari jurusan bisnis. Ia pun mendaftarkan dirinya pada Pak Diaz untuk magang di perusahaan SJ COMPANY. Perusahaan ini amat di minati seluruh mahasiswa maupun orang-orang di luar sana. Karena bagi yang ingin bekerja di sana amat sangat susah hanya orang terpilih yang dapet bekerja di perusahaan tersebut.
Setelah selesai menulis data formulir Luna bergegas ke kantin kampusnya untuk makan siang. Kantin pada jam begini tampak ramai hingga Luna mencari tempat untuk duduk. Melihat Rara sedang duduk sendiri, ia mendekati sahabatnya.
"Rara." teriak Luna. Rara melonjak kaget akan suara sahabatnya. Untung dia tidak tersedak akan makanan yang sedang di makan.
"Astaga! Bisa nggak lebih kenceng lagi? Biar seluruh kampus denger teriakan kamu." protes Rara acara makannya terganggu. Sedangkan tersangkanya hanya tertawa.
"Habis. Sahabat lagi puyeng sama program magang. Nah, kamu malah enak-enak makan."
"Deritamu. Siapa suruh ambil program magang?"
"Pengen cepat lulus,Ra."
"Jadi pengen tinggalin aku nih. Kalau kamu lulus wisuda duluan. Aku gimana?"
"Makanya nekad. Belajar yang bener. Jangan belanja mulu."
"Sudah kodratnya kali." ngelesnya. Kemudian seseorang meletakkan es kelapa yang sudah dipesannya. "Terus, kamu sudah mengajukan lembar formulir ke Pak Diaz?" katanya lagi sambil menyuapkan mie ayam kedalam mulut sedikit-sedikit.
"Sudah, tapi nggak yakin bakal di terima magang di sana. Pasti banyak mahasiswa yang ikut daftar. Mereka punya nilai plus di banding aku." Ucap Luna pesimis mengambil es kelapa milik Rara. Yang punya hanya berdecak akan kelakuan wanita di hadapannya.
"Positive thinking dong. Aku yakin Luna Anatasya Gerraldy bakal di terima magang. Percaya akan keberuntungan." kata Rara memberi semangat 45' kepada Luna di sampingnya.
"Thank you. Rara." kata Luna merangkul Rara. Merasa senang sahabatnya selalu mendukung dan memberikan semangat.
"Kamu nggak ke rumah sakit lagi? bukannya sudah janji sama itu anak." Rara mengingatkan.
"Aku lupa." kata Luna sambil memukul keningnya pelan, tiba-tiba teringat akan janjinya. "Tapi, aku nggak enak sama Pak Abdul. Masa aku datang buat ketemu sama keponakannya." Tambahnya sambil menimbang-imbang haruskah ia kesana atau tidak.
"Janji itu hutang. Atau mau akui temanin ke sana? Kira aja ada Bapaknya yang ganteng itu." Rara bertingkah mengoda.
"Modus! mending nggak usah. Kalau niatan kamu buat godain suami orang." ketusnya. Rara cemberut sekilas memalingkan wajahnya.
Tidak lama suara ponsel Luna terdengar nyaring. Ia pun memandang ponselnya merasa bingung akan panggilan tidak di kenal masuk. Hanya memandangi layar ponsel.
"Siapa?" tanya Rara penasaran, karena Luna nampak kebingungan.
"Nggak tahu nomor tidak di kenal."
Luna hanya memandang tidak berniat mengangkat, tapi ponselnya terus bersuara.
"Kira aja penting."
Luna mengangguk. Takut menganggu pendengaran orang-orang di sekitarnya juga. Luna dengan sigap mengangkat ponsel itu dan ia terima.
Di ujung telepon terdengar suara tangisan seorang anak kecil yang Luna kenal. Suara seorang pria pun terdengar lega.
"Akhirnya kamu angkat telpon juga, Luna." Suara seorang pria terdengar gusar. Belum sempat Luna menjawab pria itu melanjutkan kata-katanya. "Ini Pak Abdul. Kamu bisa kerumah sakit sekarang tidak? Bi dari tadi nangis melulu pengen ketemu sama kamu. Bukannya kamu janji mau ke sini lagi." Kata Pak Abdul dengan nafas yang sedikit terengah-engah.
"Baru saya mau kesana Pak. Kalau begitu saya segera ke rumah sakit." Jawab Luna agak ragu.
"Saya tunggu. Maaf kalau merepotkan kamu."
"Nggak apa-apa, Pak. Saya tidak merasa di repotkan."
Tidak menunggu lama Luna pun bergegas ke rumah sakit dengan Rara yang memaksa ingin mengantar dan ikut menemui Bima anak dari adiknya Pak Abdul yang entah siapa namanya itu, sampai sekarang Luna tidak mengetahuinya.
"Kamu yakin mau ikut." kata Luna. Dengan cepat ia pun melanjutkan perkataanya. "Awas saja jangan keganjenan." Luna mengingatkan sahabatnya agar tidak berbuat aneh-aneh apalagi mengoda suami orang.
"Iya janji. Lagian siapa juga yang mau jadi pelakor". Rara jengkel.
"Pegang itu janji". Luna menggingatkan kembali.
"Iya, Luna bawel." balas Rara kesal.
Keduanya berjalan ke parkiran. Dalam perjalanan banyak yang mereka obrolankan. Dari kampus ke rumah sakit jaraknya hanya lima belas menit saja.
Sesampainya di rumah sakit Luna dan Rara langsung memasuki Lift. Hanya dalam waktu satu menit, lalu mereka sudah sampai di kamar Pak Abdul di rawat. Luna bergegas mengetuk pintu. Masuk. Lalu Luna mendengar suara tangisan Bima. Begitu keras dan sesegukkan.
Terdengar suara pintu terbuka di lihatnya Bima yang sedang menangis di gendongan Ibu Sarah. Luna pun masuk dan membungkuk sopan pada Pak Abdul yang masih berbaring di ranjangnya.
"Hai Bi. Sama Tante, maaf ya Tante telat datangnya." kata Luna mengambil alih Bima dari gendongan Bu Sarah. Dalam sekejap Bima berhenti dari tangisannya setelah Luna datang dan mengendongnya.
"Ya, ampun. Anak ini benar-benar suka banget sama kamu Luna. Tangisanya aja langsung berhenti." Jelas Bu Sarah melihat Bima dalam pelukan Luna.
Rara dan Pak Abdul memandang kekaguman ke Luna bisa menenangkan Bima begitu saja tanpa repot.
"Kangen ya, sama Tante." kata Luna memandang Bima dalam pelukanya yang sedang memainkan rambutnya dengan raut muka yang masih suram. Tanpa menjawab.
"Bi, kamu marah sama Tante karena telat datang." Bima hanya mengangguk dan entah mengerti atau tidak dengan kata yang Luna maksudkan. Karena Bima masih kecil.
"Kamu mau ice cream."
"Mau." Bima pun langsung menjawab dengan hati senang.
Pak Abdul, Ibu Sarah dan Rara hanya memandang Luna maupun Bima tanpa ingin merusak moment keduanya, di mana mereka sedang asyik berdua.
Luna mengusap punggung Bima. Anak kecil itu amat terlihat lelah. Luna tidak tega mengajaknya keluar untuk makan ice cream.
"Luna. Terima kasih kamu mau datang kesini. Maaf jadi ngerepotin kamu." Pak Abdul membuka suara. yang masih bersandar di kasur empuknya.
"Tidak apa Pak. Saya senang kok. Lagian saya juga udah janji mau ke sini lagi." jawabnya yang masih mengendong Bima.
"Dia biasanya tidak begini sama siapapun. Tapi sama kamu dia itu merasa seperti sosok Ibu yang tidak pernah anak ini lihat sejak lahir." ucap Ibu Sarah menjelaskan. Luna hanya memandang bingung ke arah Ibu Sarah dan Pak Abdul dengan raut muka sedih.
"Maksud Ibu Sarah, Ibunya sudah meninggal." kata Rara dengan cepat membuka suara penasaran.
"Iya, benar. Ibunya meninggal saat melahirkan Bi. Jadi Luna tidak tahu rupa atau mendengar suara Ibunya." Sarah menjelaskan dengan hati yang masih sedih. Jadi pria itu Duda toh, batin Luna.
Karena sibuk bercerita tanpa sadar Bima tertidur di pelukan Luna, mereka tidak sempat untuk membeli ice cream.
Luna membaringkan Bima di atas ranjang yang sudah di sediakan oleh rumah sakit. Wajar di ruangan Pak Abdul memang bukan seperti kamar atau bangsal yang sering Luna lihat. Fasilitas di kamar ini seperti berada dalam hotel semuanya lengkap.
Setelah membaringkan Bima ke tempat tidur single. Luna dan Rara berpamitan untuk pulang. Tidak mau terlalu lama di ruangan Pak Abdul. Merasa tidak enak dan nyaman. Apalagi Luna dan Rara tidak bergitu dekat dengan Pak Abdul.
Dalam perjalanan sahabatnya ini tidak bisa berhenti bicara bila menyangkut obrolan tadi dirumah sakit mengenai Bima dan Bapaknya yang ternyata seorang Single Daddy alias Duda.
"Sumpah ya, Aku nggak percaya. Si ganteng itu teryata Duren. katanya spontan.
"Udah deh kamu itu dari tadi ngomongin itu itu aja. Nggak bisa gitu bahas yang lain." ucap kesal Luna mendengar ocehan Rara saat keluar dari rumah sakit sampai sekarang masih belum percaya dengan apa yang di dengar. Masih Speecles.
Bicara soal Duda, kebanyakan beranggapan keren untuk wanita. Apalagi Duda nya masih muda. Beuh, pasti banyak yang antri dan mengejar.
•••
Suasana dalam ruang kantor terasa kacau. Seorang pria dengan cepat melonggarkan dasi bajunya karena terasa letih. Dan menyandarkan tubuhnya di bangku. Menghela nafas dengan berat karena lelah melanda.
Sesekali ia mengerutkan dan menyentuh pelipis di hidungnya sembari memejamkan matanya.
"Pak Reza, maaf saya ganggu. Ini data karyawan magang yang direkomendasikan dari beberapa peguruan tinggi." kata seorang pria berjas rapi menghampiri, meletakkan dokumen di atas meja.
Tanpa bicara apa-apa Reza mengambil dokumen di atas meja dan dengan serius, membaca data formulir untuk karyawan magang. Beberapa menit melihat data formulir yang di pegangnya, Reza mengenal di antara daftar mahasiswa yang ia ketahui. Dengan raut sedikit tidak terduga.
Ini kan mahasiswanya Mas Abdul. Yang namanya Luna. Jadi dia berniat magang disini, Reza dalam hati.
"Kamu proses saja semua anak magang ini. Dan tempatkan mereka pada bagian yang membutuhkan tambahan karyawan. Dan pastikan mereka bekerja dengan baik. Dan tetapkan tanggal panggilannya." katanya tegas. Meletakan kembali dokumen tersebut.
"Baik Pak, saya mengerti". Ucapnya sekretaris itu sambil meninggalkan ruangan.
Reza bergegas mengambil ponsel didalam jasnya dan menelpon seseorang.
"Assalamualaikum, Mbak sarah bagaimana keadaan Biboy sekarang?" tanya Reza merasa cemas akan keadaan anaknya.
"Walaikumsalam, Biboy sudah tidur. Lelap banget. Mungkin tadi dia menagis terus." balas Sarah pada adik iparnya.
"Syukur. Kalau gitu. Nanti aku jemput setelah kerjaan Reza di kantor beres."
"Iya, adikku sayang. kamu jangan cemasin dia. Kamu urusin aja kerjaan kamu."
"Terima kasih ya Mbak mau jagain anak Reza. Padahal Mas Abdul masih di rawat. Reza jadi banyak repotin Mbak Sarah. Nanti Reza akan cari baby sitter yang baru."
"Siapa yang repot. Malah Mbak senang bisa jagain Biboy. Cari baby sitternya yang benar jangan kayak kemarin."
Baby sitter sebelumnya ternyata terlalu mengekang Bima. Dan parahnya Bima pernah di sentak Babysitter. Hingga menangis. Untung Reza selalu mengawasi Bima di apartemen melalu kamera CCTV yang tersembunyi. Baby sitter itu Reza berhentikan. Sejak saat itu Bima di titipkan pada Sarah, kakak iparnya. Dan belum mencari baby sitter baru. Masih sedikit trauma.
"Iya, aku akan selektif mencari Babysitter baru buat Biboy."
"Kamu ingin punya seseorang yang bisa jaga Biboy dengan aman dan menyayanginya?"
Tanpa Reza tahu, dia menjawab polos.
"Tentu saja."
"Seorang Istri. Cepat nikah cari Mommy buat jagain Biboy."
Ungkap Sarah pada adiknya. Selama ini Reza terlalu lama sendiri. Tidak mencoba untuk mengenal atau mendekati wanita lain di luar yang selalu mendekati Reza.
Dari ujung telpon Reza tidak merespon ataupun berbicara sesaat ia terdiam memikirkan perkataan kakaknya ini. Reza tahu kalau Bima membutuhkan sosok seorang Ibu yang bisa menyayanginya.
Ia pun menghela nafas panjang dan tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, Reza dengan sopan ijin untuk mengakhiri pembicaraannya ditelpon. Melanjutkan pekerjaanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Mutia
koreksi
menagis => menangis
2023-03-14
0
Wanda Meilani
👍😌
2022-01-16
0
Vina Bestfriend
Baca lagi😊
2021-07-20
0