Married With Single Daddy
Selamat membaca
Jangan lupa, vote, komen dan jempolnya (👍)
***
“Luna. Tunggu jangan cepat-cepat jalannya. Capek tahu.” Seorang wanita berjalan tergesa-gesa mengikuti langkah Luna di belakang.
“Kita udah telat, Rara. Nanti Pak Abdul bisa ngamuk kalau kita nggak cepat-cepat. Nilai dia lebih berharga dari tas-tas branded kamu.”
Luna berhenti sejenak melihat temannya yang terlihat kecapean dengan nafas tidak teratur sambil membawa tas belanjaan.
Tiga jam sebelumnya. Luna mengantarkan Rara ke mall untuk membeli tas branded yang diinginkan sahabatnya ini. Tapi saking asyik memilih-milih sampai ia lupa dengan waktu. Mereka berdua berjalan cepat untuk kembali ke kampus dengan tergesa-gesa.
Untung saat mereka sampai kelas dosennya belum datang untuk mengajar. Jadi mereka berdua aman.
Tidak lama kemudian masuk seorang wanita setengah baya masuk dan memberitahukan bahwa dosennya tidak masuk. Karena beliau kecelakaan lalu lintas saat mengantarkan anaknya sekolah dan dirawat dirumah sakit.
Abdul sosok pengajar yang amat dihindari para mahasiswa di kampus.
Apalagi mahasiswa yang akan melakukan skripsi dan tidak berharap mendapatkan dospem seperti Abdul yang dikenal killer.
“Pak Abdul kasihan juga ya, Ra. Kamu mau jenguk dia nggak?” tanya Luna merasa iba dengan niatan terselubung.
“Modus. Aku tahu kamu mau jenguk dia biar dapat nilai plus buat mata kuliah dia kan?” ujar Rara melirik Luna disebelahnya.
“Namanya juga usaha, Ra.” Ia diam sejenak dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku bakal lakukan apapun biar nilaiku bagus di mata kuliah dia.” Kata Luna mengangkat bahu.
“Sore nanti kita jenguk yuk?”
“Besok. Hari ini aku nggak sabar lihat tas aku yang tadi di beli.”
“Nggak sohib. Padahal aku―”
“OK! Kita jenguk dosen killer. Awas saja kalau nilai aku masih C- juga, setidaknya C+ lebih mendingan.” Kata Rara cepat membuat Luna kecurian start akan ucapan Rara yang lebih dulu menyahut.
“Itu aku nggak tahu. Hanya Pak Abdul yang kuasa.” Ujar Luna dengan segenap jiwa kalau membahas tentang nilai. Nilai saja menjadi tolak ukur untuk Luna yang sekarang sudah memasuki semester akhir dan mencari tempat magang yang bagus dan memiliki ardenaline yang cukup bukan yang ekstrim.
“Itu dosen harus kita pelet biar baik hati dan nggak pelit nilai. Biar mahasiswa di kampus sejahtera bukan malah melara begini kalau tiap pelajarannya.” Desis Rara.
Dia sudah gagal akan pelajaran dosen itu hingga selalu mengulang dan mengulang.
“Kita harus bawa parsel buah buat dia, biar memberi kesan baik dimata dia.”
***
Selesai kuliah Luna dan Rara bergegas ke ruang dosen untuk menanyakan di mana Abdul di rawat. Setelah mencari informasi mereka pun berangkat menuju rumah sakit besar di Jakarta. Memasuki lift ditekannya lantai sembilan tempat di mana dosennya berada. Dalam lift mereka masih merangkai kata-kata dan mempersiapkan segalanya saat berhadapan dengan macam Abdul.
“Ra. Benar ini tempatnya?” Luna penasaran. Tidak percaya. Karena melihat lantai ruangan rumah sakit di lantai sembilan sangat terlihat mewah seperti kamar hotel bukanlah rumah sakit pada umumnya. Yang dikenal seram dan bau obat-obatan tidak jelas. “Nggak salahkan, atau kita nyasar.” Tanya Luna lagi membuat Rara mendelik ke arahnya.
“Benaran, Luna. Gila tuh dosen kaya juga. Bisa di rawat di kelas VIP begini.” Rara sama tidak percaya seperti Luna. Karena dosen satu ini, yang mereka tahu adalah seorang dosen yang biasa-biasa saja. Kalau di lihat dari mobil saja, dia memakai mobil sedan kijang jadul yang tidak tahu keluaran tahun berapa. Saking jadulnya.
Sesampainya di depan kamar inap, Luna dan Rara mengetuk pintu di hadapannya. Detak jantung kedua wanita itu nampak bergetar hebat.
Tanpa waktu lama pintu terbuka seorang pria tampan dengan wajah datar tanpa senyuman berdiri di depan mereka. Luna dan Rara hanya diam melihat pria dihadapannya membuka pintu. Belum merespon sama sekali. Malah menatap keduanya penuh selidik.
“Luna. Ada malaikat nyasar disini. Ganteng banget.” Bisik Rara ketelinga Luna. Ia hanya mengangguk, mengiyakan.
Sesaat Luna melirik ke arah pria itu tampak dingin tidak begitu bersahabat.
“Diam, Ra. Kita kesini buat jenguk Pak Abdul.” Kata Luna tanpa memindahkan tatapannya ke pria di depannya.
“Maaf kalian cari siapa ya?” tanya pria itu. Dia masih memandang keduanya masih sibuk dengan obrolan bisik-bisik mereka.
“Kita mau jenguk Pak Abdul.” Luna sambil membawa parsel buah yang mereka beli di toko buah segar sebelum ke rumah sakit.
“Iya, kita berdua cari Pak Abdul.” Timpal Rara dengan mata masih melekat pada pria bak dewa yunani dihadapannya.
Pria itu pun mempersilahkan keduanya untuk masuk. Luna memandang ke depan dilihat dosennya yang masih terbaring lemah di ranjang ditemani seorang wanita, yang tidak lain istrinya. Seorang anak kecil berumur kisaran tiga tahun sedang duduk di pinggir tempat tidur Abdul.
Sementara Rara Memandang pria di samping dengan penuh ketertarikan. Melihat akan tingkah Rara yang kegenitan.
Luna menarik tangan Rara paksa melangkah mendekati dosennya. Pria tampan itu kembali ke sofa, menyibukkan diri dengan aktifitasnya yang tertunda.
“Sore, Pak Abdul. Maaf kita berdua tidak memberi kabar terlebih dulu kalau kita mau kesini.” Kata Luna sopan. Ia memberikan parsel buah pada istrinya.
“Tidak apa-apa Luna. Saya malah berterima kasih kalian berdua mau repot-repot untuk menjenguk.” Jawab Abdul dengan nada sedikit pelan sambil membenarkan sandarannya.
“Saya masih tidak percaya. Bakal di jengukin sama kalian berdua.” Katanya lagi dengan raut muka sedikit curiga.
Mendengar kata dosennya ini. Mereka berdua diam sesaat. Saling bertukar pandang gugup. Tidak tahu akan menjawab apa? sekejap memandang lidah keduanya begitu kelud. Ternyata Abdul sangat curiga akan maksud kedatangan mereka. Maklum mereka berdua di kenal kurang ajar, suka melawan dan bolos pelajarannya. Tiba-tiba melihat mereka menjenguk seperti ada sesuatu yang menganjal.
“Ehm...” Suara dehem Luna. “Pak Abdul, dosen kita. Masa kita nggak jengukin. Begini-begini kita juga peduli sama Pak Abdul.” Luna sedikit gugup menyikut Rara dan memberi kode pada sahabatnya untuk berbicara.
“Betul Pak. Kita kan anak yang baik hati dan tidak sombong.” Ucap Rara dengan sedikit candaannya agak kaku. Melihat tingkah Rara sahabatnya, Luna hanya bisa mengelus-elus dadanya. Setidaknya, tidak membuat dosen itu curiga.
“Saya percaya. Tapi rasanya aneh saja kalian berdua yang menjenguk duluan. Yang lain saja belum. Saya sangat tersanjung.” Katanya sedikit menyindir. Terlebih ternyata dosen atau mahasiswa lainnya belum menjenguk. Suatu keberuntungan untuk keduanya bisa lebih dulu meski mendapat terpaan.
Memang selama ini Luna dan Rara adalah mahasiswa yang terang-terangan tidak begitu suka dengan mata kuliah Abdul. Mereka berdua selalu saja bolos dan kalau masuk kelas, mereka tidak pernah memperhatikan ajaran Dosennya. Sibuk dengan dunianya sendiri. Setelah mereka dapat nilai jelek, Luna berusaha berbuat baik atau ikut kelas Abdul dengan serius karena memang untuk mengubah ekspektasi dosen itu terhadapnya selama ini. Melakukan sesuatu yang akan membuat mereka mendapat nilai tinggi. Tidak muluk-muluk B+ saja sudah bersyukur.
Memasuki semester akhir nilai mata kuliah Abdul lah yang sangat jelek. Karena keinginan lulus dengan nilai bagus mereka berdua pun melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai plus mata kuliah Pak Abdul yang pelit akan nilai.
Disela-sela obrolan mereka anak kecil menghampiri Luna. Meminta untuk di gendong. Anak kecil itu sangat tampan dan manis. Sekarang saja pakaiannya begitu modis. Kaos bergambar animasi dan celana jeans pendek. Dengan senang hati Luna menggendong anak kecil itu tanpa banyak berpikir. Ia memang menyukai anak-anak. Karena ia memiliki adik perempuan juga nan jauh di sana.
“Kamu lucu banget sih? Namanya siapa?” Luna gemas dengan anak kecil didepannya sambil mencubit pipi gembulnya.
“Bi...” balas anak kecil itu sambil meletakan tangannya di pipi Luna.
“Bi?” Luna mengulang perkataan anak kecil itu. Dan memandang sekilas ke arah pria yang dari tadi duduk sambil memainkan laptop di hadapannya. Dan kembali melihat ke arah anak kecil yang digendong Luna.
“Namanya Bima. Dia jarang banget mau digendong sama orang yang belum dikenal loh. Tapi sama kamu dia minta di gendong.” Kata Sarah istri Abdul menjelaskan. Abdul sendiri tersenyum melihat kedekatan Luna dan Bima.
“Benarkah?”
Luna tidak percaya. Padahal Bima terlihat sangat ramah pada orang. Anak kecil memang suka pilih-pilih karena memang belum mengenal akan wajah orang dalam waktu yang cepat.
Melihat Luna asyik dengan Bima. Pria itu memandang penasaran dalam benaknya. Melihat anaknya dekat dengan seseorang selain keluarga besarnya. Itu cukup membuat pria itu kagum.
Selama ini Bima sangat tidak bersahabat dengan siapapun. Biasanya dia bisa rewel, mengamuk bila ada seseorang mendekatinya atau mencoba untuk menggendongnya. Kali ini tidak. Malah Bima yang memintanya.
“Luna. Kamu sudah cocok menjadi seorang Ibu.” Kata Rara mengejek, nyengir. Melihat Luna asyik dengan bocah yang namanya Bima, Saking asyik, Luna lupa kalau dia kesini untuk menjenguk Pak Abdul.
“Kelak kita akan menjadi Ibu. Melahirkan anak-anak kita, Rara.” Balas Luna penuh makna. Membuat orang dalam ruangan terseyum akan ucapannya.
Rara tidak menjawab kali ini dia kalah telak. Karena apa yang dikatakan sahabatnya memang benar. Setiap wanita di muka bumi akan menjadi seorang Ibu dan melahirkan anak-anak untuk cucu-cucu mereka. Luna kembali bercengkerama dengan Bima hingga melupakan mereka di dalam ruangan yang memperhatikan keduanya merajuk canda.
“Maaf Pak jadi ke asyikan. Bi anaknya siapa Pak?” tanya Luna penasaran akan Bima yang cakep dan lucu ini.
Setahu Luna, kalau Abdul hanya memiliki anak perempuan bukan laki-laki. Di tambah Bima masih sangat kecil. Tidak ada kemiripan dengan Abdul maupun Sarah yang dilihatnya.
“Bima, anak adik saya. Itu, bapaknya yang lagi sibuk sama laptop.”
Abdul menunjuk ke arah pria yang sedang sibuk dengan laptopnya itu. Luna dan Rara menatap tidak percaya.
Rara dan Luna terkejut. Bisa dibilang kalau pria yang tidak tahu namanya itu sangat tampan dan muda. Tapi tidak menyangka sudah mempunyai anak.
Tidak seperti temannya yang terlihat syok tidak percaya.
“WHAT?” Rara sedikit keras. Karena suara keras Rara, pria itu pun memandang ke arah mereka berdua dengan raut wajah bingung.
“Upss sorry.” Katanya lagi sambil menutup mulutnya cepat.
Tidak enak akan sikap Rara yang terlalu lebay, Luna tersenyum kikuk.
“Kalau begitu kita pamit. Maaf kedatangan kita sedikit mengganggu Bapak. Kita harus pulang.” Kata Luna berdiri di tempat dengan pelan memindahkan Bima ke tangan Sarah.
Bima tidak mau beranjak dari gendongan Luna dan terus memeluk Luna dengan erat. Dengan sedikit paksaan Sarah mengambil Bima dari pelukannya.
Tasa berat hati Luna memandang sedih, seperti ia berpisah dengan anaknya sendiri. Bima menjadi rewel dan menggeliat tidak mau pisah dengan Luna.
Bima merengek.
“Cup-cup sayang. Tante Luna mau pulang. Nanti besok lagi ya.” Bujuk Sarah memberi ketenangan pada Bima yang sedang rewel dan merengek menangis. Luna mendekati Bima dan mengusap kepala Bima dengan lembut.
“Tante nanti kesini lagi. Tante pulang dulu. Kamu jangan nangis.” Dengan sentuhan lembut elusan Luna. Bima menjadi sedikit tenang. Tidak lama pria itu yang tidak lain Ayah Bima entah siapa namanya, mendekati mereka. Menggendong dan memeluk agar Bima tenang.
“Anak Daddy. Jangan nangis.” Ucapnya penuh lembut sekilas memandang kearah Luna yang berdiri di sampingnya.
Luna menunduk malu karena tidak sengaja tatapan keduanya bertemu.
“Kalau begitu kami pamit, cepat sembuh ya, Pak.” Kata keduanya, lalu berpamitan dan bersalaman. Keluar dari kamar Dosennya.
Masih dengan perasaannya yang tidak rela, saat Luna meninggalkan Bima yang masih sedikit rewel karena kepergian Luna. Mereka keluar dari ruangan inap Pak Abdul kemudian bergegas menuju parkiran.
Luna meminta Rara untuk mengantarkannya langsung ke apartemen. Karena badannya terasa lelah. Tadinya mereka berniat untuk pergi ke cafe tongkrongan mereka untuk sekedar santai dan cuci mata. Tapi niatnya diurungkan.
Rara memandang sahabatnya yang sejak tadi masih melamun. Dia tahu kalau, Luna pasti sedang memikirkan sesuatu.
Sebagai sahabat Rara hanya bisa merangkul Luna.
“Hey! Malah melamun. Kesambet baru tahu rasa.” Rara menyadarkan Luna dari lamunan.
Luna memandang Rara diam tanpa berkata apapun.
“Kenapa? Masih kepikiran anaknya? Apa Bapaknya?”ledek Rara keukeuh. Sejak tadi Rara terus saja membicarakan pria itu.
Katanya itu bukan tipe-nya tapi kenapa terus saja yang di bahas itu-itu saja.
Luna hanya mendengar tidak mau merespon tentang pria itu, yang jelas tidak mau disebut pelakor, yang sekarang sedang gencar untuk para istri menjaga suaminya.
“Anaknya. Masa Bapaknya. Nggak jelas. Dosa tahu masa mikirin suami orang. Aku masih waras.” Jawab Luna cepat dan menyanggah pemikiran Rara.
“Tapi, dia ganteng loh.”
“Iya terus? Aku harus bilang wow gitu?”
“Setidaknya kasih respon dong.”
“Respon seperti apa Nyai?” Rara mencubit bahu tangan Luna karena menyebutnya 'Nyai' dia tidak suka.
“Sakit, Ra.” Keluhnya menyentuh bekas cubitan Rara perbuatan. Hingga Luna mendelik kesal.
Rara cecengiran tanpa dosa.
“So, Why? what's happen? apa yang kau pikirkan sejak tadi?” tanya sambil menyetir pandangannya masih ke depan sesekali melirik ke arah Luna yang sedang duduk di sebelahnya.
“Hanya saja jadi inget sama mendiang Kak Anggi. Kalau anak-anaknya masih ada pasti umurnya sama kayak Bi.”
Cerita Luna merasakan kesedihan. Saat Luna menginggat kembali kejadian kecelakaan di mana kakaknya meninggal dan kandungan didalam ikut meninggal. Kakaknya beserta dua keponakannya meninggal di tempat.
“Sabar. Pasti sulit buat kamu lupain hal itu semua. Aku yakin mereka sudah hidup bahagia di sana.” Kata Rara menenangkan hati sahabatnya sambil mengusap punggung Luna lembut.
Luna menutup wajah dengan tangan sambil menahan rasa perihnya saat ditinggal kakak tersayang.
Apa kalian bahagia di sana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
nyimak nihh
2022-09-14
0
Sri Yanti
duren y
2021-08-13
0
diky hermawanrieo
mampir
2021-05-21
0