Tenggat waktu untuk menjawab persetujuan tentang perjodohan itu tinggal tiga hari lagi. Ica santai sekali selama ini, sampai bundanya yang mengingatkan. Jika tidak ada Manda yang mengingatkan, mungkin ia benar-benar melupakannya.
Ica meminta untuk bicara dengan Bayu perihal ini. Dan entah bagaimana membujuknya, akhirnya Bayu setuju untuk bicara. Setelah selesai kantor, dan Ica menebeng mobilnya Bayu karena tidak membawa mobil.
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" mulai Bayu saat keduanya selesai bicara dengan waiters di sana. Tempat mereka bicara ada di sebuah restoran yang cukup ramai. Jadi, Ica juga tidak perlu segan berduaan saja dengan Bayu.
"Apa nggak lebih baik kalau Anda juga menolak perjodohan ini?" tanya Ica langsung to the point.
"Beri saya alasan untuk menolaknya juga," jawab Bayu menantang. Ia seperti sudah mantap dengan pilihannya untuk menikah dengan Ica. Karena dilihat dari manapun, menyatukan dua perusahaan dengan pernikahan ini tidak ada ruginya sama sekali. Sayangnya, Bayu tidak tahu kalau Ica merasa dirugikan.
Ica menarik nafas panjang sebelum mendeskripsikan secara jelas alasannya.
"Pertama, saya benci Anda, begitu juga dengan Anda, kan? Bagaimana bisa orang yang saling membenci dapat terikat dengan hubungan suci yang memerlukan cinta yang bernama pernikahan?" Ica memulai dengan mengakhiri ucapannya seraya melirik tajam ke Bayu.
"Kedua, Anda masih berhubungan baik dan dekat dengan Mbak Caca. Bagaimana bisa saya membiarkan suami saya sendiri nantinya berselingkuh di belakang saya?" lanjut Ica yang saat mengatakan hal itu sedikit memerah karena merasa mengatakan hal yang memalukan dan terlihat seperti perempuan yang pencemburu.
"Ketiga, jika Anda melihat tidak ada kerugian menyetujui ini, saya malah merasa sangat dirugikan. Jika dipikir-pikir, mungkin Anda akan mengeksploitasi saya, menjadi sekretaris di kantor dan di rumah. Anda juga tidak melihat pernikahan sebagai sesuatu yang serius. Apa Anda pikir pernikahan itu soal untung rugi?" Ica melanjutkan alasannya.
"Keempat, saya tidak mau dinikahkan dengan orang yang paling menyebalkan dalam hidup saya. Jika orang tua kita nantinya menuntut kita untuk punya anak, saya tidak yakin dapat memberikan itu karena saya tidak akan pernah cinta dengan Anda. Apalagi Anda, jika tidak melihat keuntungan yang akan di dapat di masa depan, Anda akan berpikir berulang kali untuk memiliki anak." Ica mengatakan alasan terakhir yang dapat ia pikirkan. Ia ingin memikirkan lagi alasan apa yang kuat untuk membuat Bayu juga ikut menolak perjodohan.
Ica menarik nafas panjang lagi, saat ingin melanjutkan alasannya. Namun, kalah cepat dengan Bayu yang duluan menimpali.
"Cukup. Kamu sudah bicara berlebihan dan kesannya saya yang salah di sini," cegat Bayu.
"Ya, itu memang benar, memang tujuan saya menyalahkan Anda. Lagian, seenaknya aja main setuju-setuju aja sama perjodohan ini," balas Ica secara jujur. Kapan lagi bisa ngomong kayak gini sama si bos, pikirnya.
Bayu pun menarik nafas panjang untuk segera menjawab dan mementalkan alasan tak kuat dari Ica untuk mengubah keyakinannya.
"Oke saya jawab. Pertama, setiap orang bisa saja berubah. Mungkin sekarang kamu membenci saya, tapi siapa tahu saat kita sudah hidup bersama, perasaan benci kamu berubah jadi cinta? Dan asal kamu tahu, saya tidak pernah membenci siapapun, termasuk kamu." Jawaban pertama Bayu sudah membuat Ica merona karena terkejut selama ini Bayu tidak membencinya.
"Kedua, saya dan Caca memang sudah berbaikan. Tapi kami tidak lebih dari sekedar teman lama dan rekan bisnis. Saya juga sudah mengatakan akan segera menikah. Sudah saya peringatan agar dia tidak berharap lebih kepada saya. Dan kamu tenang saja, saya tidak mungkin selingkuh, saya tahu batasan. Saya dan Caca akan menjaga sikap." Kali ini, Ica merasa berdesir hatinya saat mendengar ucapan Bayu yang terdengar tulus dan meyakinkan.
"Ketiga, kamu berpikir naif soal itu. Menjadi sekretaris adalah pekerjaan kamu, menjadi istri adalah kewajiban kamu. Tidak ada yang harus dirugikan jika harus melayani suami sendiri. Justru semakin berpahala, kan?" Kalau sudah mengaitkan dengan agama, Ica jadi malu sendiri memposisikan Bayu sebagai tokoh antagonis dalam penjabaran alasan yang dibuatnya tadi.
"Keempat, saya tidak akan memaksakan kehendak untuk menyentuh kamu jika kamu tidak ingin. Urusan punya anak, saya tidak ingin egois. Karena yang kita ciptakan adalah individu baru." Jawaban terakhir kurang memuaskan Ica. Lagian, ini hanya bisa terbukti jika pernikahannya sudah terjadi.
"Tidak ada alasan untuk saya menolak perjodohan ini. Saya juga tidak bisa lajang terus. Umur seperti saya sangat sulit untuk menjaga pandangan. Jadi, solusinya adalah menikah, kan? Selain sudah siap fisik mental dan finansial, saya ingin menyegerakan ibadah ini untuk menyempurnakan separuh agama. Saya sudah siap di segala hal, lebih baik di segerakan." Pernyataan terakhir Bayu ia lontarkan dengan pandangan yang mantap. Bayu menatap Ica, tapi kemudian segera mengalihkannya.
"Omongan laki-laki nggak bisa dipegang." Ica masih belum puas. Padahal, sebagian besar jawaban Bayu sudah membuatnya sedikit goyah dan mengubah keyakinan.
"Laki-laki? Berarti itu termasuk dengan Pak Raka, dong, ayah kamu? Bukannya kamu sangat mempercayainya?" Bayu mengoreksi. Tampak sekali Ica kesal dengan respons Bayu.
"Omongan Anda nggak bisa dipegang. Anda pandai bicara karena terbiasa dengan pekerjaan yang harus bermulut manis. Saya nggak akan tergoda dan tetap akan menolak perjodohan ini," ralat Ica yang terlihat seperti orang marah untuk menutupi malunya.
"Oke, nggak masalah. Saya tetap dengan jawaban yang saya pegang, dan kamu juga. Kita sama-sama tidak akan mengubah keyakinan. Kita lihat saja seberapa kuat kamu akan bertahan dengan keyakinan kamu saat makan malam bersama nanti." Bayu menantang Ica. Terlihat nada bicara Bayu seperti membuat pembicaraan mereka sebagai permainan bisnis.
"Anda menganggap pernikahan sebagai sebuah bisnis. Saya benci itu." Terdengar nada kecewa Ica di sana.
"Saya terima jika kamu mengatakan demikian. Mulai sekarang, saya akan giat mempelajari ilmu tentang pernikahan demi kamu. Tidak hanya sebagai 'bisnis' seperti yang kamu bilang, tetapi juga sebagai usaha saya menjalankan ibadah." Pipi Ica kembali merona karena jawaban Bayu menjelaskan bahwa ia juga akan menganggap serius soal pernikahan mereka.
"Anda curang! Di saat diskusi seperti ini, Anda terlihat lebih menguasai agama ketimbang saya. Bagaimana pun saya bicara, pasti Anda yang selalu menang." Lagi-lagi, Ica menutupi malunya dengan marah kepada Bayu.
"Saya tersanjung jika kamu mengatakan itu. Mungkin dengan menikah dengan saya, kamu akan mendapatkan imam yang bagus, yang dapat membimbing kamu tentang agama. Untung di dunia dan akhirat, kan?" Bayu seperti menggoda.
"Curang!!!! Pas ngomong gini aja baik banget, halus bahasanya, nggak galak." Ica mencemooh Bayu. Yang dicemooh malah terlihat bahagia dengan itu. Ekspresi bahagianya semakin membuat Ica kesal.
"Bukankah itu etika bernegosiasi?" tanya Bayu yang membuat Ica makin kesal.
"Udah, ah. Capek ngomong sama Pak Bayu," ucap Ica mengalah. Malas ngeladenin, toh nggak pernah menang juga, pikirnya.
Dan kemudian, makanan yang mereka pesan sudah datang. Tidak ada yang buka suara lagi diantara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing dan fokus untuk segera menghabiskan makanan.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments