Lokasi restoran dengan rumah Ica memakan waktu setengah jam dengan mengendarai mobil. Cukup memakan keheningan cukup lama dan canggung antara Ica dan Bayu.
Ica sama sekali tidak tahu masa lalu mereka, ia juga tidak pandai merangkai kata untuk memberikan Bayu ketenangan akibat perselisihan itu. Daripada salah berkata, lebih baik diam, pikirnya. Kalau orang sedang dalam mood yang berantakan, lebih baik jangan diajak bicara, nanti ikut kena getahnya. Kecuali kalau orang yang bersangkutan yang membuka suara lebih dulu.
"Soal tangan kamu yang sakit, saya minta maaf. Soal perkataan saya yang terlihat ambigu, saya minta maaf. Soal pujian saya ke kamu, itu benar adanya. Kerja kamu semakin bagus, saya juga mulai jarang komplain ke kamu. Tapi, pujian itu jangan membuat kamu besar kepala dan malah menurunkan kinerja kamu," Bayu buka suara setelah lama membisu.
Akhirnya ketegangan melonggar. Apalagi, setelah mendengar Ica dipuji sekali lagi, suasana jadi terasa lebih baik.
"Oiya, jangan bawa serius diri kamu ke kondisi tadi. Ini hanya urusan saya dengan Caca. Jika kamu terlibat akibat ucapan saya, saya siap bertanggung jawab. Jangan ragu bicara ya, kalau menyangkut urusan Ica," lanjut Bayu.
"Maaf melibatkan kamu dalam urusan pribadi kami. Maaf, kamu jadi terbawa-bawa." Tatapan Bayu terlihat sangat tulus mengatakannya.
"Iya, saya ngerti, kok. Pak Bayu sendiri, nggak papa, kan? Are you Ok? Maaf kalau saya lancang. Sepertinya, Anda terlihat menyesal udah ngomong seperti itu ke Mbak Caca."
"Kamu benar. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Lebih baik begini saja. Saya juga tidak mau berurusan dengan dia. Sebentar lagi saya akan menikah. Itu yang terbaik."
"Menikah?" Ica refleks bertanya dengan nada terkejut yang cukup kencang.
"Iya, obrolan nanti malam, sepertinya akan ada pertemuan makan malam dengan keluarga calon saya. Tapi, saya sama sekali tidak tahu. Saya hanya bisa menerima perjodohan ini. Toh, usia saya sudah siap untuk menikah. Orang tua saya pasti memilihkan wanita terbaik pilihan mereka."
"Ooh, jadi gitu. Pantes aja tadi agak kalem. Terus, pas berhadapan sama Mbak Caca malah mau nyelesain masa lalu. Ya, terpaksa nggak nyelesain dengan baik-baik, sih, emang. Ternyata mau nikah, toh... Dewasa bener nih bos," komen Ica dalam hati. Ia tak mungkin banyak berkomentar langsung, takutnya tidak enak dan malah menyakiti perasaan Bayu.
"Kata mereka, kami diminta tidak buru-buru melangsungkan pernikahan. Memberikan jarak satu bulan sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan, untuk saling mengenal. Jadi, ada kesempatan untuk mengetahui pribadi masing-masing."
Ica cukup terkejut karena Bayu terlihat santai mengatakan masalah pribadinya kepada Ica. Hal itu membuat Ica juga tergerak hati untuk menanggapi cerita Bayu, sesuai apa yang ia pikirkan secara jujur juga.
"Pak Bayu, Anda tidak bermain wanita seperti bos-bos lain. Anda juga bukan orang yang seperti itu. Tapi, tak disangka, Anda ternyata masih berhubungan dekat dengan wanita yang bukan mahram Anda. Sampai menjalin bisnis bareng dan sering bertemu bersama. Kalau saya di posisi Mbak Caca, saya juga akan jatuh hati sama Anda jika diberikan kesempatan untuk dekat seperti itu. Dan sekarang, Anda mencampakkan Mbak Caca begitu aja setelah Anda memberikan harapan kepadanya dari kedekatan kalian. Saya tahu Mbak Caca juga nggak bener, tapi saya tahu rasanya pasti sakit banget dicampakkan kayak gitu. Di depan orang lain, di depan saya juga," ungkap Ica. Namun, kelihatannya ia salah bicara lagi. Bayu tiba-tiba saja memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Maksud kamu apa bicara seperti itu?" tanya Bayu tak terima.
"Umm..., saya hanya mengungkapkan apa yang saya pikirkan juga. Soalnya, Anda sudah mencoba terbuka menceritakan hal pribadi Anda," jawab Ica apa adanya.
"Saya tidak minta ditanggapi!"
"Lha?"
"Kamu turun di sini saja! Dekat kantor, kan? Kamu bawa mobil, kan? Sudah, turun! Saya tidak mau mengantar kamu lagi. Jalanan pasti macet, dan saya mungkin akan terlambat maghrib jika mengantar kamu. Belum lagi acara makan malamnya." Bayu terlihat marah dan menatap Ica dengan pandangan rendah.
"Kalau gitu nggak usah sok bilang mau anterin pulang, dong, Pak! Suka banget ngasih harapan palsu! Hadeh...," balas Ica yang tak terima diperlakukan seperti itu oleh Bayu.
"Padahal udah mau iba tadi." Ica menyesal mengiba dengan yang Bayu alami.
"Maksud kamu apa ngatain ngasih harapan palsu?" Ucapan Bayu makin tinggi pula volumenya. Ia menantang Ica rupanya.
"Udahlah, Pak. Saya turun sekarang. Makasih udah dianterin setengah jalan! Assalamu'alaykum." Ica yang sudah terlanjur bad mood memilih untuk mengalah. Toh, mengalah bukan berarti kalah, kan?
"Rese banget sih itu bos, nyebelin. Mana belum makan lagi. Hadeh..., aku juga lupa hari ini nggak bawak mobil," umpat Ica saat ia sudah turun dari mobil Bayu.
Ica salah menyangka. Memang Bayu mulai terbuka untuk bicara, tapi saat menanggapi pun tetap salah. Intinya, jika hal ini terjadi lagi, lebih baik Ica tak usah buka suara juga.
"Dia bilang tadi nggak minta ditanggapi, kan? Tahu gitu aku harusnya nggak usah dengerin. Toh, dia juga nggak ada minta didengerin. Dasar! Aaaaa...., kapan sih berhenti kerjanya sama dia? Mana belum ada sebulan, lagi. Diri ini sudah lelah....," Ica berjalan sambil bicara sendiri. Untung jalanan sepi, tidak ada yang melihat Ica teriak-teriak dan berdrama sendiri seperti orang gila akibat perbuatan Bayu.
"Cari sate, ah." Ica mulai memulihkan diri dengan memikirkan makanan kesukaannya.
Di dekat perkantoran milik ayahnya, akan sulit menemukan pedagang sate pinggir jalan. Jadi, ia harus berjalan sedikit ke depan untuk menemukannya. Memang tidak nyaman di luar sendirian, mau maghrib begini, tapi ia tetap lakukan. Ia sudah menyeting otaknya bahwa dia sekarang adalah wanita karir yang mandiri. Tidak perlu kendaraan, tidak perlu ojol, dia bisa melakukannya sendiri.
Karena adzan duluan ia dengar, ia singgah dulu di sebuah masjid untuk melaksanakan shalat. Tepat sekali, di dekat masjid ada abang-abang penjual sate.
"Bang, satenya sebungkus makan sini, ya. Ayamnya dibuat jadi dua porsi. Kuahnya dibanyakin. Lontongnya standar aja."
"Oke, Neng, ditunggu, ya."
"Rame banget, ya jualannya."
"Alhamdulillah lagi rejekinya, Neng. Kalau lagi rame ya rame. Ya kalau sepi juga, tetap disyukuri."
Ica melahap sate itu dengan lahap. Cepat-cepat untuk menghabiskannya, ia sudah tidak bisa pulang lebih malam lagi dari ini.
Drrt Drrrrt Drrrrt
"Siapa nih yang nelpon? Bunda? Pasti kecarian aku belum pulang malam ini. Bunda juga kan tahu kalau aku nggak bawa mobil. Pas banget di telpon. Bunda ku ini perhatian banget, deh."
"Halo, Bun. Assalamu'alaykum?"
"Wa'alaykumussalam. Kamu di mana sih, Ca? Kok jam segini belum pulang? Ini, lagi cari makan, Bun. Tadi abis sholat maghrib. Pas banget bunda nelpon, Ica minta jemputin supir, ya, Bun."
"Ca, kamu kok santai banget. Kamu lupa harus pulang ke rumah cepat-cepat? Udah Bunda bilang, lho, tadi pagi."
Ica tampak mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh sang bunda tadi pagi.
"Ica, nanti kamu pulang ngantor langsung telpon supir ya untuk jemput kamu. Soalnya kita bakal ketemuan sama teman Ayah dan makan malam di rumah. Mau kenalin anaknya ke kamu. Mau ngobrolin masa depan kamu juga. Jangan lupa, ya, Ca."
"Iya, Bun."
Karena nyawa Ica belum terkumpul semua saat mendengarkan itu, makanya ia benar-benar lupa.
"Ya Rabbii..., maaf banget, Bun. Ica lupa, Ica juga udah makan banyak ini."
"Udah, kamu cepat sampai rumah aja dulu. Telpon Pak Dikin untuk jemput kamu. Dia supir jaga sekarang. Jangan lama-lama ya, Ca."
"Ica kayaknya isyanya di jalan, deh, Bun."
"Ya udah, nggak papa. Tapi jangan lama-lama. Baju kamu juga udah Bunda siapkan di kamar, kamu tinggal pakai aja dan sedikit dandan biar keliatan fresh. Bunda tutup dulu, mau siap-siapin yang lain. Assalamu'alaykum."
"Wa'alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
"Acara makan malam sama keluarga temannya Ayah kenapa harus pakai baju bagus dan make up segala, sih? Masa depan apa yang harus dibicarakan dengan keluarga temannya Ayah? Oiya, tadi Bunda bilang mau kenalin anaknya si temen Ayah ke aku. Apa aku mau dijodohin? Duh..., apes banget hari ini dah." batin Ica mendumal pasrah.
"Ini Bang, ambil aja sama kembaliannya," Ica memberikan uang dua ratus ribu pada si penjual.
"Wah, Alhamdulillah, ya Allah. Makasih banyak, ya, Neng. Semoga dapat rejeki yang melimpah. Cepat-cepat dapat jodoh juga."
"Yaelah, si Abang malah doain supaya dapet jodohnya cepat. Memang alamat mau dijodohin sih ini aku."
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments