Raka menunggu mereka membuka mulut untuk menjelaskan permasalahan. Namun, sudah sepuluh menit mereka bungkam. Ica sudah menetralkan tangisnya. Berkat kedatangan ayahnya, ia mulai tenang.
Sementara Bayu, ia merasa tidak enak dengan Raka. Bukan karena permasalahannya dengan putrinya Raka, tetapi karena permasalahan yang ia buat mengakibatkan para karyawan membicarakannya dan mengganggu konsentrasi mereka. Akibatnya, pimpinan perusahaan harus datang langsung melihat apa yang terjadi. Ia merasa gagal menjadi manajer yang tidak bisa mendisiplinkan bawahannya.
"Kamu udah tenang, Ca?" Raka mencoba menenangkan Ica lagi dengan mengelus badannya. Ica hanya mengangguk menanggapi.
"Diantara kalian, nggak ada yang mau bicara duluan? Saya minta penjelasan masalah, lho, tadi." Bayu menanyakan kembali. Namun, keduanya tidak ada yang ingin menjelaskan.
"Jadi, yang mulai duluan siapa?" Raka bertanya untuk memancing mereka bicara.
"Ica, Yah."
"Saya, Pak."
Mereka menunjuk diri sendiri bersamaan. Keduanya memang merasa menjadi orang yang memulai permasalahan ini duluan.
"Lho, kalian mengaku diri kalian sendiri yang membuat masalah? Coba saya dengar dari Ica dulu. Ca, silahkan kamu katakan bagaimana permasalahan ini bisa kamu yang memulainya?" ucap Raka mempersilahkan.
"Iya, Yah, Ica duluan yang mulai. Harusnya Ica nggak datang telat hari ini, walaupun cuma tiga puluh menit, sih. Gara-gara itu, Ica dipanggil ke ruangan Pak Bayu buat pendisiplinan karyawan katanya. Ya, ribut-ribut tadi juga karena Ica yang menantang balik Pak Bayu. Tapi tadi udah selesai kok, Yah, masalahnya. Pak Bayu udah mecat Ica, dan Ica disuruh keluar dari ruangan beliau. Waktu mau keluar malah nabrak Ayah, jadinya balik lagi deh ke ruangan panas ini." Ica menjelaskan dengan nada sinis di akhir. Ia memang anak yang jujur dan apa adanya setiap mengatakan kronologi kejadian. Alih-alih mengaku bersalah karena memulai permasalahan, ia menyiratkan sindiran untuk Bayu.
"Ca, udah saya bilang. Kalau di kantor panggil saya Pak Raka, jangan panggil Ayah. Kalau lagi nggak di kantor, kamu saya perbolehkan memanggil seperti biasanya," ucap Raka memperingatkan.
"Baik, Pak Raka. Kira-kira itu saja yang dapat saya jelaskan." Ica mengakhiri penjelasannya, ia kemudian melirik sedikit ke arah Bayu. Tampaknya ia tidak terusik dengan yang Ica katakan.
"Oke, kalau begitu giliran kamu Bayu. Tolong beri penjelasan, kenapa kamu mengakui bahwa kamulah orang yang pertama memulai," titah Raka.
"Benar, Pak Raka, saya yang duluan memulai permasalahan. Harusnya saya tidak terlalu meninggikan suara saya saat anak bapak menantang balik saya. Itulah pemicu keributan yang baru saja terjadi, Pak. Saya meminta maaf atas kelalaian saya mendisiplinkan karyawan, Pak. Dan maaf karena sudah memarahi putri bapak. Bapak sudah tahu kalau saya orang yang tidak pandang bulu sedikitpun dalam mendisiplinkan karyawan, jadi saya tidak ada pembelaan tentang sikap saya ke putri bapak." Bayu menjawab dengan apa adanya. Ica sempat naik pitam atas penjelasan Bayu. Pasalnya, secara tidak langsung Bayu menyimpulkan bahwa Ica lah yang pertama memulai masalah, lalu untuk apa Bayu repot-repot mengaku dirinyalah yang memulai duluan jika Ica juga yang ditujunya untuk dipersalahkan sebagai yang mulai duluan?
"Oke, dapat saya simpulkan kalau kamu menyalahkan Ica?" tanya Raka yang bingung maksud dari perkataan Bayu.
"Benar, Pak. Dan sebagai atasannya, saya memperbaiki kesalahannya demi kebaikan perusahaan di masa depan. Saya juga mendisiplinkannya sengaja agar dilihat karyawan lain supaya mereka lebih disiplin demi kepentingan perusahaan," jawab Irsyad.
"Jadi bos jangan berlebihan sikapnya. Cuma terlambat tiga puluh menit aja, kok. Lagian saya udah minta maaf, kan, tadi. Dan Anda juga udah pecat saya, ya udah selesai. Bilang juga dong ke Pak Raka nya kalau anda sudah memecat saya dengan alasan keterlambatan tiga puluh menit di hari pertama kerja. Biar jelas permasalahannya apa." Ica menyerobot bicara dengan nada sewot.
"Saya tidak berlebihan, memang begitu adanya," balas Bayu tak mau kalah.
"Begitulah kira-kira, Pak Raka. Saya sudah dipecat oleh bos galak ini. Tidak ada alasan bagi saya untuk tetap berada di ruangan ataupun di perusahaan ini. Kalau begitu, saya permisi, terimakasih untuk satu hari di pagi yang bermakna ini," ujar Ica. Ia hendak melangkahkan kakinya keluar menuju ruangan itu.
"Tunggu sebentar, Ica, kamu jangan main asal pergi gitu aja. Kalian berdua jangan seenaknya memutuskan. Keputusan ada di tangan saya." Bayu memberikan ketegasan di setiap katanya.
"Untuk kamu, Ica, baru di hari pertama bekerja sudah terlambat. Karena kamu sudah mengaku salah dan meminta maaf pada Bayu, saya maafkan. Jangan mengulanginya lagi untuk kedepannya." Bayu menceramahi Ica dengan melihat lekat padanya.
"Dan untuk kamu, Bayu. Saya pikir terlalu berlebihan untuk langsung memecat Ica di hari pertamanya bekerja. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Jadi saya memberikan kesempatan kedua untuk Ica. Namun, bukan semata-mata karena Ica adalah putri saya, ya. Saya berlaku adil, kok, dengan memberikan setiap orang kesempatan kedua." Raka bergantian menatap Bayu untuk di ceramahi.
"Terimakasih banyak Pak Raka karena tidak jadi memecat saya. Tapi bolehkah saya meminta untuk pindah divisi? Sepertinya saya tidak cocok berada di divisi ini. Saya tidak ingin menghambat atasan saya karena kepayahan saya kedepannya. Lebih baik saya pindah divisi, jika Pak Raka perbolehkan." pinta Ica pada Raka.
"Tidak, kamu tetap berada di divisi humas. Tidak ada penolakan," jawab Raka tegas.
"Saya meletakkan kamu di divisi humas agar kamu belajar kemandirian dari manajer humas. Kamu sendiri yang bilang tidak ingin terus-menerus bergantung pada orang lain, kan? Bayu adalah orang yang tepat untuk kamu belajar itu. Dan, Bayu, saya mempercayakan kepada kamu putri saya untuk kamu didik secara pribadi. Tegur saja dia kalau melakukan kesalahan seperti yang biasanya kamu lakukan pada bawahan kamu yang lain. Saya menitipkan Ica pada kamu karena saya yakin kamu bisa mendidiknya. Jadi, saya mohon kamu untuk tidak segan mendisiplinkan anak saya." ucap Raka berterus terang.
"Tapi, Yah, Ica ngga mau jadi bawahan bos galak kayak dia. Ica mending pindah divisi aja. Ayah nggak tahu seberapa galak dan menyebalkannya dia. Ica pindah divisi aja ya, Yah. Atau, Ica pindah perusahaan aja kan udah sempat dipecat juga tadi. Yang penting, Ica nggak mau jadi bawahan bos galak seperti dia." Ica tanpa sadar mengeluarkan nada manja saat meminta pada ayahnya. Padahal, Ica sudah diperingatkan untuk tidak memanggil seperti itu saat di kantor.
"Ica, kamu udah balik lagi manjanya, kan. Apa tadi yang saya bilang, coba? Suka tidak suka, mau tidak mau kamu tetap ada di divisi humas dengan Bayu sebagai atasan kamu. Ini juga papa lakukan untuk melatih kamu supaya tidak menjadi gadis manja lagi, Ca." balas Raka dengan lembut agar maksudnya tersampaikan ke Ica.
"Ya udah, Ica ikut aja mana baiknya," ucap Ica pasrah.
Pembahasan permasalahan sudah dirasa selesai. Ica kembali ke meja kerjanya dengan mata sembab. Keluarnya Ica dari ruangan Bayu membuat tatapan para karyawan divisi humas tertuju pada Ica. Mereka bertanya-tanya, setelah keributan antara Bayu dan Ica, apa yang terjadi saat pemilik perusahaan yang juga ikut masuk?
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments