Ica cukup banyak berubah. Dua pekan ia bekerja sebagai sekretaris Bayu, sudah tampak perubahannya. Meskipun fakta kalau Ica tak suka diceramahi bos galaknya itu, tapi berkat itulah Ica dapat berubah.
"Raisa, nanti kamu ikut saya ketemuan sama Caca, ya."
Bayu sudah tidak terlalu galak hari ini. Ica memang sudah bersikap baik dan bekerja penuh teliti, sih. Tapi, seteliti apapun Ica, Bayu pasti melihat dengan kacamatanya ada hal yang harus diomeli. Ica sampai berpikir bahwa Bayu ini terkena penyakit atau bagaimana? Bayu terlihat lebih pendiam hari ini. Ternyata oh ternyata, ia ingin meminta pertolongan Ica untuk ikut dalam pertemuannya bersama Caca. Memang hukum alam, sih. Kalau kita baik, pasti ada maunya.
"Nggak, ah. Nggak mau," tolak Ica. Ia ingin mengetes Bayu rupanya.
"Kenapa menolak?"
"Anda nggak pernah terima penolakan, ya? Sorry banget, Pak. Cara ngomong Anda itu nggak membuat hati saya tergerak untuk membantu Anda. Jadi, saya tolak, deh," ucap Ica songong.
"Apa yang salah? Saya harus ngomong bagaimana?"
"Nggak tauk. Pikir aja sendiri!"
"Aa, ya sudah kalau tidak mau. Saya bisa sendiri."
"Bukannya itu akan menodai idealisme Anda? Kemaren-kemaren bilangnya nggak pernah terima penolakan."
"Sudah, saya sudah pernah di tolak. Saya rasa sudah pernah memberitahukannya pada kamu. Jadi, menambah satu juga tidak masalah." Bayu terlihat tenang, atau lebih terlihat sedih?
"Ini si galak kok tumben adem ayem. Ada yang aneh, nih, kayaknya," batin Ica heran. Ia jadi tidak enak dengan bosnya itu.
"Maksud saya tadi, saya berniat menerima permintaan Anda. Tapi, karena cara Anda bicara seperti itu, saya tidak ada tergerak hati jadinya. Anda lupa tentang yang waktu itu kita bicarakan? Dalam situasi ini, harusnya Anda menggunakan magic word untuk menggerakkan hati seseorang. Karena, posisinya Anda ingin dibantu, jadi gunakanlah kata please atau kata tolong," jelas Ica.
"Aa, magic word. Dia mengingatkanku kembali pada hal itu," batin Bayu.
"Raisa, bolehkah saya meminta tolong? Saya ingin bertemu Caca hari ini, jadi tolong temani, boleh?" Ica terkikik geli mendengarnya. Bayu masih tidak marah dengan sikap Ica, tidak seperti biasanya yang rempong mengomeli sikap Ica.
"Bagus, not bad lah." Ica memuji melalui hatinya. Ia tak punya nyali untuk bicara langsung.
"Jadi, kamu mau atau tidak? Kalau tidak mau, saya nggak mau ngemis-ngemis lagi." Bayu mulai kembali ke mode ia biasanya.
"Saya mau, kok. Jam berapa pertemuannya? Abis makan siang lagi kayak kemaren?"
"Hari ini setelah jam pulang kantor saja. Soalnya, hari ini ada pertemuan dengan keluarga dan katanya akan ada membahas hal penting. Nanti hanya minum saja saat di tempat pertemuan."
"Kalau gitu, saya di traktir, kan, Pak? Soalnya, waktu itu saya berasa kesel. Nggak dikasih makan, nggak dikasih minum, nggak dikasih bonus lagi."
"Ya sudah. Tapi hanya minum saja."
"Ye... Pelit amat," batin Ica mendumal.
...----------------...
"Bayu, kamu membawa Ica lagi?" sapa Caca. Ia tampak agak risih dengan kehadiran Ica. Terlihat Caca berias lebih cantik lagi ketimbang waktu pertama Ica lihat. Mungkin, ia bersetel seperti itu karena ingin makan malam sama Bayu, pikir Ica.
"Sayang banget, Mbak Caca. Si gila kerja ini memang cuma gila kerja doang. Jadi, mungkin dia nggak ada kasih tahu Mbak Caca kalau dia ada janji makan malam bersama dengan keluarganya. Kasihan banget, deh, Mbak Caca," batin Ica ingin melontarkan ucapan itu pada Caca, tapi nyalinya tak ada.
"Aa, iya. Sekarang dia sekretaris aku. Jadi, lebih mudah kalau dibantu langsung sama dia."
"Oi oi, apaan sih? Aku memang sekretarisnya, tapi itu cuma di kantor. Ini mana urusan kantor. Enak aja! Dasar! Suka banget mengeksploitasi tenaga manusia," batin Ica menggerutu kesal.
"Tapi, kamu nggak usah khawatir. Raisa sangat membantu, kok. Kerjanya bangus. Karena ada dia, pembicaraan waktu itu yang kita lakukan dapat terealisasi dengan baik karena dia mencatat semua obrolan penting kita. Jadi, adanya Raisa sangat tertolong," lanjut Bayu.
Ica jadi memerah karena dipuja langsung oleh Bayu. Selama ini, ia hanya tahu kalau dirinya suka membuat kesalahan saat bekerja. Namun, jika sudah dipuji seperti itu oleh sang pengkritik, berarti kerjanya sudah bagus.
"Oiya, Ca. Kamu udah makan?"
"Belum," Ica dan Caca menjawab bersamaan.
"Astaga, kebiasaan. Maaf Mbak Caca, Pak Bayu."
"Tidak apa-apa Raisa."
"Caca, kamu kalau belum makan, pesen aja. Aku ada makan malam bareng keluarga besar, katanya ada pembicaraan penting yang mau dibicarakan. Jadi, kita segerakan ini, ya."
"Kamu nggak bilang sama aku, Bayu." Tiba-tiba Caca terlihat naik pitam. Untung ruangan mereka vip, jadi tidak terlalu membuat perhatian orang sekitar.
"Wajar sih, Mbak Caca marah. Soalnya udah dandan rapi begitu berharap bisa dinner romantis, eh, taunya nggak jadi. Mana aku juga ada di sini, lagi," Ica berkomentar dalam hati.
"Kenapa harus bilang?"
"Dih..., malah dilawan kalau cewek lagi marah. Tapi, nggak heran sih kalo itu Pak Bayu. Udah ciri khasnya itu, mah. Suka marah-marah nggak jelas. Eh, kali ini jelas, sih," lagi-lagi Ica berkomentar dalam hati. Menjadi saksi pertengkaran suami istri yang tidak jadi ini.
"Udahlah, Bayu. Kamu suka banget kayak gitu. Akhirnya aku sadar, keputusan aku waktu itu udah tepat karena menolak lamaran kamu. Aku pikir kamu mau berubah, ternyata masih gini-gini aja. Aku udah terbuka untuk menerima kamu lagi kalau kamu berubah, tapi sekarang, sorry, deh, aku berharap banyak banget sama kamu. Padahal, aku udah mulai menata hati dan siap untuk menikah."
"Lho, Ca. Kamu yang nggak berubah! Masih aja kayak gitu. Ini apa lagi, bawa-bawa masa lalu. Hubungan kita sekarang, kan, cuman rekan bisnis, nggak lebih. Kamu yang bilang pengen merintis karir dari bawah, terus aku bantu. Ya udah, kita cuma itu doang. That's it."
Adu mulut itu makin sengit. Tidak ada yang mau kalah dari mereka. Dan staff restoran yang berlalu lalang mulai menaruh perhatian pada ruang vip itu.
"Aaa, Bayu. Jadi, kamu nggak ada niat untuk mengajukan lamaran lagi ke aku? Waktu itu kamu sampai ngemis-ngemis, lho."
"Aku nggak suka harga diriku diinjak-injak. Bahkan oleh orang yang aku sukai sekalipun. Kita sudahi saja pertemuan ini. Kalau kamu seperti itu terus, pembicaraan nggak akan lancar."
"Kamu selalu seperti itu, Bayu. Nggak pernah mau ngertiin perasaan orang lain. Dasar gila kerja! Perfeksionis! Nggak tahu mana yang harus diprioritaskan!"
"Salsa! Cukup dramanya! Aku nggak mau melontarkan kata-kata yang akan menyakiti kamu kalau aku ucapkan dalam keadaan marah seperti ini."
"Ucapin aja! Kamu emang hobi marah, kan? Cepat, aku tungguin."
"Lha, kok jadi gini. Wong cuma perkara nggak ngomong karena nggak bisa ikut dinner bareng doang. Aduh..., salah tempat, deh, aku kayaknya," batin Ica mengasihani nasibnya.
"Ayo Raisa, kita pulang." Bayu menarik tangan Ica tiba-tiba.
"Tapi, Pak...," keluh Ica yang kebingungan
"Sudah, ikuti saja! Please!" Pandai sekali ia berkata seperti itu kalau sudah ada keuntungannya di dirinya, pikir Ica.
"Jangan pengecut kamu, Bayu. Cepat ucapkan!" Caca rupanya belum puas meluapkan kemarahannya.
"Sekarang aku bersyukur karena kamu sudah menolak lamaran itu meskipun aku sudah mengemis-ngemisnya. Ternyata Allah udah nunjukin mana yang baik buat aku. Allah juga udah tunjukkan siapa kamu, sifat kamu. Jalankan saja bisnis ini sendirian! Aku udah nggak butuh! Biarlah aku relakan semua modal yang kutaruh. Aku juga nggak tahan bicara berdua sama orang yang udah menolak aku mentah-mentah. Jangan pernah tunjukkan wajah kamu lagi di depanku," ungkap Bayu penuh ketegasan. Tangannya yang menggenggam tangan Ica menjadi erat. Ica berusaha menahan rintihannya karena merasakan sakitnya.
"Siapa yang baik untuk kamu? Siapa wanita yang baik yang udah Allah tunjukkan ke kamu? Siapa? Apa wanita ini?" Caca menatap jijik ke arah Ica. Menatap tangan Bayu yang sudah menggenggam Ica, itu yang menjadi pemicunya berbicara begitu.
"Kalau memang iya, kenapa? Lagian, sudah tidak ada lagi urusannya sama kamu, Salsa." Bayu segera meninggalkan ruangan vip itu dengan kesal.
"Bayu! Bayu, tunggu, Bayu! Bayu!!!!" panggil Caca seraya teriak kesal.
Bayu terus menarik tangan Ica hingga ke parkiran. Genggamannya pun kian kuat.
"Dudu, sakit tangan saya, Pak," ucap Ica yang tidak tahan karena genggaman Bayu yang semakin kuat tak terkira.
"Ayo masuk mobil! Saya akan mengantarkan kamu pulang!" titah Bayu. Jika sudah begini, mana ada celah Ica untuk menyela. Jika bicara satu kata saja, itu akan membuat mobil ini kebakaran oleh api Bayu.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments