Hari Minggu, Ica habiskan untuk tidur setelah malamnya lama ia tidak bisa tidur sehabis rombongan keluarga Surya Group itu pulang dari rumahnya. Ia baru bisa tidur setelah melaksanakan shalat subuh. Sudah ia lakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk Sang Illahi saat malam, ternyata jawabannya tidak mudah untuk dan cepat didapat.
Perjodohan mereka tidak dipaksa, tapi terlihat dipaksakan. Dua karakter yang sering beradu argumen ini tidak mungkin mudah disatukan. Jika niat pernikahannya adalah untuk membuat perubahan yang baik pada dua individu ini, serta menyatukan perusahaan dari dua keluarga, ini benar-benar dipaksakan. Apalagi, Raka memberikan interval waktu untuk Ica berpikir hanya dalam dua minggu. Sudahlah, ini namanya perjodohan paksa. Ayahnya Ica itu lebih sulit diajak negosiasi, tidak mungkin ia menerima penolakan dari Ica. Apalagi, kedua keluarga sudah setuju, Bayu juga sudah setuju meskipun Bayu cuma ingin membuat masa depan perusahaan lebih cerah jika dua keluarga disatukan. Bayu hanya menganggap perjodohannya ini ibarat kerjasama dengan perusahaan yang saling menguntungkan. Pikir Bayu, jika merasa untung, untuk apa menolaknya?
Senin pagi Ica tidak terlambat ke kantor. Ia tidak sarapan karena memang tidak selera sehabis makan malam bersama itu. Ia mengemudikan mobil sendiri, jika kejadian diturunkan di pinggir jalan terjadi lagi, Ica bisa pulang dengan aman bersama mobilnya.
Masuk ke ruangannya, Ica langsung mengerjakan tugasnya sebagai seorang sekretaris. Membuatkan minuman dan membelikan makanan untuk Bayu sarapan. Lalu, lanjut membuat poin penting dari kegiatan yang akan dilakukan hari ini. Menyiapkan bahan rapat yang sudah dikirimkan Bayu melalui email. Ica tampak tak bersemangat, padahal ia orang yang paling ceria di divisi humas ini. Orang-orang humas yang melihat Ica tidak seperti biasanya mengira-ngira kalau Ica pasti habis kena semprot si bos galak.
"Raisa, kamu membelikan sarapan yang salah lagi. Sudah berapa kali kamu melakukan hal yang sama, kenapa kali ini bisa salah? Kalau kamu karyawan baru saya bisa maklum, tapi kamu sudah bukan karyawan baru lagi. Saya sudah memberitahukan kepada kamu di awal kamu kerja sebagai sekretaris saya, kan?" Tuh, kan, baru juga dibilang. Lagian, Bayu cukup berlebihan, sarapan yang dibeli tetap sama seperti biasanya. Hanya saja, penjualnya yang memasak agak kemerahan, sehingga Bayu yang hanya melihat wujudnya itu merasa makanannya terlihat pedas, tidak dicicip lebih dulu. Ia juga seenaknya menyalahkan Ica dengan memarahinya.
"Iya, Pak. Maaf." Ica malas berargumen. Melihat wajah Bayu saja sudah sangat membuat Ica bad mood.
"Kamu saja yang makan, saya tidak suka pedas," suruh Bayu seenaknya.
"Saya sudah kenyang, Pak. Lebih baik Anda buang saja, atau kasih ke karyawan lain yang belum sarapan." Ica berbohong. Sebenarnya ia belum ada makan apa-apa sejak semalam, mana mungkin ia sudah kenyang. Hanya saja, ia tidak ingin membuat keributan, lebih baik ia menolaknya dengan lembut tanpa protes.
"Tumben nggak protes." Bayu berucap sarkas. Ia kembali ke ruangannya dan mencoba memakan sarapan itu karena perutnya sudah lapar. Ia menjilat ludahnya sendiri.
"Anda mau saya protes, huh?" Ica menatap sinis pada Bayu. Rupanya Bayu tidak terlalu ambil pusing soal pembicaraan tadi malam. Berbeda sekali dengan Ica yang sampai tidak bisa tidur dan tak selera makan karena memikirkannya. Ingin menentang, ia akan membuang energi, toh masih pagi juga. Ica hanya tak menghiraukan ucapan Bayu, hanya tatapan sinis itu saja yang ia berikan pada Bayu.
"Nggak pedes, sih. Enak. Tapi kenapa merah gini, ya?" batin Bayu bertanya saat menyantap makanan itu. Mulutnya saja yang senang sekali marah, aslinya ia memang suka dengan makanan yang dibelikan Ica. Sudah begitu, tidak ada pula rasa bersalah terbesit di pikiran Bayu, padahal ia sudah salah sangka. Gengsi sekali ia meminta maaf.
...----------------...
"Raisa! Kamu melamun terus saat rapat tadi. Tangan kamu tidak bergerak untuk mencatat poin pembicara. Maksud kamu apa?" Keluar dari ruang rapat, Ica langsung disemprot Bayu. Hal ini sudah biasa bagi Ica, tapi entah mengapa Ica berpikir kalau hari ini Bayu lebih galak dari biasanya. Terbukti dengan nada bicara Bayu yang lebih tinggi dari biasanya saat ia bicara.
"Saya ingat, kok, Pak," jawab Ica tak bersemangat.
"Kalau begitu, tulis sekarang. Kalau sudah selesai, bawa ke ruangan saya," titah Bayu.
"Um, oke, Pak."
Ica melamun, mana mungkin ia ingat soal isi rapat itu. Lagian, sudah tak ada ruang lagi untuk memikirkan hal lain. Isi kepalanya sudah penuh dengan peristiwa makan malam bersama itu dan pikiran Ica saat di masa depan benar-benar dinikahkan dengan Bayu.
Karena pusing memikirkan banyak hal, Ica akhirnya tertidur di atas mejanya. Tadi malam ia tidak bisa tidur juga. Telah melakukan shalat istikharah di malam itu pun, hatinya cenderung mengatakan ingin menolak perjodohan ini. Ica tampak tertidur pulas sebab belum ada tidur hari ini. Ia tidak tidur lagi saat subuh sudah dikerjakan, agar ia tidak terlambat jika bangun kesiangan.
"Tadi melamun, terus, sekarang malah keenakan tidur. Raisa! Mau makan gaji buta, kamu? Mana pekerjaan yang saya suruh untuk kamu kerjakan?" Suara keras itu terdengar lagi dari mulut Bayu. Karyawan di luar ruangan mereka pun dapat menjelas suara yang memekakkan telinga itu.
"Raisa! Bangun! Ini bukan hotel!" ucap Bayu lagi semakin keras.
"Pemalas, Bangun! Jangan karena ini perusahaan milik ayah kamu, kamu bisa seenaknya saja bolos pekerjaan dan tidur pulas." Kali ini ia malah membawa-bawa hal itu lagi.
Gubrak!! Bayu memukul meja kerja tempat Ica tidur dengan kuat agar Ica terbangun. Sebenarnya, Ica sudah bangun saat ucapan Bayu yang pertama kali keluar dari ruangannya itu terucap. Ica hanya pura-pura tidur.
"Raisa!" Bayu sudah tidak sabaran karena Ica tak kunjung menunjukkan wajahnya juga.
"Jangan buat saya memaksa kamu untuk bangun. Jika dilihat orang-orang, mereka akan salah paham kalau saya telah melakukan tindak kekerasan kepada kamu," ucap Bayu sinis. Bahkan, Bayu sudah bukan saingan emak-emak saking sinis dan cerewetnya, ditambah sifatnya yang suka marah-marah.
"Raisa?" Bayu mulai merendahkan nada bicaranya saat terdengar isakan tangis dari Ica.
"Coba duduk tegap. Kamu menangis? Apa saya berlebihan kali ini sampai melontarkan ucapan yang menyakiti hati kamu?" Bayu mencoba menormalkan nada bicaranya.
"Hiks... hiks... hiks.... Pak Bayu, Anda selalu seperti ini," jawab Ica terisak. Ia membuat nada seperti menyalahkan Bayu.
"Oops, ternyata salah sudah berbaik hati sama kamu. Kamu malah menyalahkan saya? Aneh kamu ini!" seru Bayu sarkas.
"Pak Bayu terlihat biasa saja setelah perjodohan itu diumumkan. Dari awal, apa Anda tahu kalau keluarga calon yang Anda bilang ingin ditemui itu adalah keluarga saya? Kenapa Anda diam saja dan tidak memberitahu saya?" ucap Ica kuat, tak kalah dengan tangisnya yang kian deras.
"Kamu pikir saya tahu? Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah bertemu dengan keluarga calon, karena saya tidak pernah diberitahu akan menikah dengan siapa. Saya sendiri juga terkejut saat supir membawa saya ke rumah kamu," balas Bayu menantang.
"Kenapa Anda setuju gitu aja? Harusnya Anda nggak sudi dinikahkan dengan orang tidak kompeten seperti saya," tanya Ica dengan ironi.
"Itu pilihan terbaik dan menguntungkan."
"Sudah saya duga Anda akan bicara seperti itu."
"Maaf, Pak, sepertinya saya izin pulang dulu. Saya ingin ke dokter, sepertinya saya demam. Dan Anda tidak perlu khawatir, saya tidak berbohong kalau saya demam, soalnya saya belum ada tidur dari semalam. Soal pekerjaan, akan saya kirimkan lewat email saja. Saya permisi dulu, Pak," pamit Ica yang begitu saja melengos pergi meninggalkan Bayu.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments