"Duh, bisa gila aku kerja jadi sekretaris bos galak itu." Meskipun bukan hari pertama, Ica terus-menerus mengeluh. Ia ingin sekali rasanya menjawab-jawab omelan yang Bayu lontarkan, tapi ujung-ujungnya Ica dibuat tidak bisa menjawab dan tertunduk pada ucapan Bayu. Besok akhir pekan, ia makin panas seperti hari ini - Friday, Fry goreng, day hari. Hari penggorengan, yang kesimpulannya menggoreng itu pasti panas.
"Sabar...," Lala yang mendengar ocehan Ica hanya dapat berkomentar seperti itu.
"Bayangin aja, Mbak. Setiap kali aku buat kesalahan, pasti kesalahan aku yang lain diungkit lagi. Padahal kesalahannya udah berlalu. Bahkan, sempat kesalahan aku yang lain-lain di hari lain juga diungkit sama dia. Siapa yang nggak gila kalo bosnya gila kayak dia?" keluh Ica dengan wajah berlebihan, membuat Lala tak sanggup menahan tawa.
"Hahahaha."
"Mbak! Jangan ketawa, dong," Ica berucap jengkel.
"Habisnya, kamu lucu, Ca. Sorry, deh." Lala harus menghentikan tawanya karena Ica lebih terlihat harus dikasihani daripada ditertawai.
Drrrrt Drrrrt Drrrrt
"Duh, masih jam makan siang malah di telpon. Eksploitasi tenaga manusia ini namanya." Ica hanya dapat berdengus kesal karena pada saat seperti ini, yang dibicarakan menelepon.
"Hus..., jangan bicara sembarangan. Bos kamu lho itu. Terus, kalau dia nongol tiba-tiba kayak waktu itu, gimana?" Lala tampaknya peka kalau yang menelepon adalah Bayu.
"Iya juga, ya, Mbak. Astaghfirullah...," cepat-cepat Ica beristighfar.
"Hmm, bagus. Lagian, positif thinking aja dulu, Ca. Mungkin kamu mau di ajak makan siang bareng. Soalnya, kamu nggak sempat bawa bekal karena hampir telat hari ini, kan? Kita juga belum sempat beli makanannya," hibur Lala. Ica yang tadinya akan memesan makanan bersama Lala, harus undur diri dan segera menemui bosnya.
"Mustahil itu mah. Mbak jangan aneh-aneh, deh," ucap Ica yang mulai membalikkan badan.
"Ya udah, kalau misal kayak gitu, kamu beli roti aja buat ganjal perut. Jaga-jaga kalau nggak sempat makan siang. Tapi, kalau diajak beneran, keajaiban dunia, sih, itu. Hahahaha. Ya udah, sana samperin. Ntar diomelin lagi." Lala sedikit mendorong Ica untuk segera mempercepat langkahnya.
...----------------...
"Demi apa, Pak Bayu beneran ngajakin aku makan siang? Mana udah ada makanannya, lagi." Ica melongo tak percaya. Bayu meneleponnya dan menyuruhnya untuk segera ke ruangannya. Tak disangka, Bayu berperikemanusiaan juga dengan memberikan anak buahnya makan dulu sebelum mengeksploitasi tenaganya.
"Raisa, kamu dengar apa yang saya bilang, kan?" Seingat Ica, Bayu menyuruhnya untuk makan dulu baru mengobrolkan pekerjaan. Karena tidak percaya dengan Bayu yang tiba-tiba pengertian itu, Ica masih terdiam.
"Aa..., maaf, Pak."
"Aku terlalu terkejut dengan keajaiban dunia satu ini sampai nggak perhatikan perkataan Pak Bayu."
"Makanya, jangan melamun saat saya bicara," ucap Bayu dengan tegas, belum terhitung galak bagi Ica yang sudah pernah mendapatkan perkataan yang lebih tegas dari ini yang muncul dari mulut Bayu.
"Sekali lagi, maafkan saya, Pak."
"Ya sudah, langsung makan."
"Anda tidak makan?" tawar Ica. Anak buah yang "munafik" berusaha bersikap baik.
"Tidak. Setelah ini saya akan makan dengan seseorang."
"Seseorang? Istri atau pacarnya, ya? Duh, Ica..., ngapain kepoin dia sih?" Ica menebak dalam hati dan merutukinya.
"Setelah kamu makan, saya ingin kamu mengantar saya ke sana."
"Ooh, ini ternyata pekerjaannya. Nggak mungkin Pak Bayu menyalahkan jabatannya, sih, pasti cuma ketemu sama klien doang. Udah ah, fokus makannya, Ca! Ntar kalau lama malah digalakin lagi." Ica hanya berkomunikasi batin untuk mencibir si bos. Tiada hari tanpa mencibir bosnya itu. Mau omongan langsung ataupun omongan dalam hati.
...----------------...
Ica hanya duduk di belakang mobil memasrahkan diri ke mana Bayu akan membawanya. Ia tidak perlu khawatir berduaan dengan Bayu, dilihatnya Bayu tidak pernah melirik wanita sedikit pun, bahkan dirinya. Ia khawatir bahwa Bayu tidak ada ketertarikan pada wanita. Hingga sampailah mereka di restoran yang terlihat sepi pengunjung, namun cukup luas.
"Ke sini selama jam makan siang doang, kan, Pak? Kalau bertemu dengan klien, sih, nggak masalah kalau lewat di jam makan siang ini."
"Jangan sok mengajari saya. Kalaupun terlambat kembali ke kantor, saya sudah menyelesaikan pekerjaan di sana untuk hari ini. Dan benar, yang kita temui bukanlah seorang klien."
Ica penasaran, siapa yang akan ditemui oleh Bayu. Dan jika bukan urusan kantor, kenapa harus membawa Ica?
"Sorry, lama, Ca."
"Ooh, nggak papa, santai aja. Aku udah pesenin kamu makanan dan minuman, nih, biar waktunya nggak terbuang sia-sia."
"Omaigat..., Pak Bayu nggak pernah mandang wanita sampai aku kira nggak selera sama wanita, ternyata di belakang udah punya pasangan, toh. Mana nama panggilannya sama kayak aku, lagi. Eh, nggak, sih. Pak Bayu masih manggil pakai nama Raisa kalau mau panggil aku. Jangan kegeeran kamu, Ca. Bikin malu aja." Ica hanya dapat berkomunikasi batin dengan dirinya sendiri, sudah terlihat seperti dukun ia sekarang.
"Kenalin, ini sekretaris aku, Ca. Namanya Raisa. Dia akan bantu kita mencatat pembicaraan penting selagi kita bicara saat makan. Jadi, aku nggak harus terlambat balik ke kantor."
"Tunggu, woy! Mana ada aku diamanahkan untuk mencatat obrolan kalian. Hadeh..., ternyata pemberian makan tadi demi ini. Pantas aja aku nggak ditawari makan juga karena tugasku cuma mencatat obrolan mereka."
"Hai, kenalin aku Salsa. Bayu selalu manggil dengan sebutan Caca. Kalau kamu mau manggil begitu juga, nggak papa banget. Malah aku senang kita bisa akrab." Wanita itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman, lalu langsung disambut oleh Ica.
"Umm, saya Raisa, Mbak. Kebetulan banget nama panggilan kita mirip. Saya biasa dipanggil Ica, kadang juga Ca. Tapi, Pak Bayu nggak pernah manggil seperti itu, kok. Soalnya, beliau udah punya Mbak Caca, mana mungkin beliau berani memanggil akrab wanita lain dengan nama panggilannya yang mirip." Biarlah bermuka dua. Begini-begini bisa memanfaatkannya untuk belajar. Toh, ia ada di divisi humas yang dituntut untuk bermulut manis dan dapat mempengaruhi klien.
"Ooh, begitu, ya? Saya jadi tersanjung mendengarnya."
Obrolan langsung dilanjutkan. Bayu tampak tak ingin menyia-nyiakan waktu. Agak kesal juga Ica rasakan, di saat mereka makan enak, Ica malah menderita menulis dengan cepat isi pembicaraan mereka.
"Bagus, sudah dicatat semua obrolan pentingnya. Aku langsung ke kantor, ya, Ca. Besok pagi kita ketemu lagi."
"Siip..., sampai jumpa besok Bayu, Ica."
Ica dan Bayu buru-buru menuju parkiran, waktu jam istirahat sepertinya sedikit terlewati. Mengemudikan mobilnya juga cukup laju dari biasa. Nampak Bayu tidak ingin membuang waktu.
"Seperti yang kamu dengar, besok kamu ikut ke pertemuan seperti ini lagi."
"Besok itu akhir pekan, Pak. Jangan sementang saya sekretaris Anda—" Ica menolak dengan tegas, tapi ucapannya tidak ia sambung. Jika ia sambung, sama saja ia seperti Bayu yang suka mengaitkan dirinya dengan ayahnya.
"Ya sudah, saya sadar kamu merasa tersiksa. Pertemuan tadi juga. Saya hanya tidak ingin berduaan dengan Caca. Akhir-akhir ini, Caca suka sekali menempelkan tangannya untuk menyentuh saya. Saya mulai risih dengan itu, dan tujuan saya membawa kamu untuk meminimalisir itu. Dan ternyata berhasil. Bahkan, Caca sama sekali tidak menyentuh saya dan fokus pada pembicaraan."
"Oiya, saya tidak masalah kalau kamu ingin membuat suasana hatinya bagus seperti tadi. Tapi, kamu salah soal itu. Caca cuma teman seangkatan saya waktu SMA. Mungkin Caca sekarang menganggap hubungan ini lebih dari itu, karena kami membuka bisnis bersama sejak masih ngampus. Apalagi, pernyataan cinta saya yang pernah saya ucapkan, meskipun di tolak waktu itu. Caca pasti mengira kalau saya masih menyimpan rasa yang sama untuknya. Lagian, siapa juga yang menyimpannya. Saya sudah terlanjur sakit hati. Setelah SMA pernyataan cinta saya bukan untuk berpacaran, tapi untuk mengajak Caca menikah, tapi itu malah ditolak mentah-mentah oleh Caca."
"Sudah sampai, kita lanjutkan kapan-kapan pembicaraan tentang Caca. Kamu tidak perlu ikut, besok. Tapi, saya ingin kamu untuk membangunkan saya dua jam sebelum pertemuan. Setiap akhir pekan, kadang saya suka tidur lagi setelah subuh."
Ica mendengar banyak tentang Bayu, tentang kehidupan Bayu. Sebenarnya ia ingin menerima saja kalau ikut untuk menemani, tapi ia gengsi kalau menarik kata-katanya. Ya sudah, membangunkan Bayu juga membantunya, kan? Sama saja berarti, pikir Ica.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments