Laura turun dari motor ojek online yang di tumpanginya. Gadis itu menghela napas dan berdecak. 3 Hari laura tidak masuk kerja. 3 hari juga laura tidak bertemu dengan nenek dan adiknya juga nana teman baiknya. Sebenarnya nana terus menghubunginya namun laura tidak menjawab. Laura sibuk mengurus marfel. Seperti menyuapinya setiap makan, mengambilkan baju ganti setelah marfel mandi, dan menuntun marfel setiap marfel melangkah kemanapun di sekitar kediaman megahnya.
“Ya tuhan.. Punya suami kaya punya bayi..” Keluh laura.
Laura menghela napas kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam caffe tempat biasanya bekerja. Laura memang akan terus bekerja untuk adik dan neneknya. Dan sepertinya tedy dan lina bahkan marfel juga tidak keberatan.
“Laura.”
Laura baru saja meletakan tasnya di loker saat suara berat handoko menyebut namanya. Laura buru buru membalikan tubuhnya dan menunduk karna handoko sudah berdiri di depanya.
“Iya pak. Saya..”
“Kamu tidak perlu lagi bekerja disini.”
Laura kaget bukan main. Dengan cepat laura menegakan kepalanya menatap tidak percaya pada pria pendek berperut buncit itu.
“Apa? Mak maksud bapak apa?”
“Kamu di pecat.” Tegas handoko.
Laura menggelengkan kepalanya. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Meskipun laura sendiri tidak tau bagaimana rasanya tersambar petir.
Nana yang saat itu juga mendengar ucapan tegas handoko ikut terkejut. Nana berpikir mungkin handoko marah karna laura meliburkan diri selama 3 hari tanpa izin padanya. Tapi menurut nana handoko tidak seharusnya langsung mengambil langkah setegas itu dengan memecat laura. Nana tau bagaimana keadaan nenek laura yang memang sangat butuh perhatian dari laura.
Nana hendak mendekat namun ragu. Bukan tidak perduli apa lagi tidak setia pada teman. Nana hanya tidak ingin bernasib sama seperti laura. Pekerjaan itu sangat berharga untuk nana.
“Pak tapi saya..”
“Tidak ada tapi tapian laura. Kamu di pecat. Silahkan pulang.” Sela handoko tidak menerima alasan apapun dari laura.
Laura menggeleng tidak percaya. Laura memang tidak lebih dulu izin pada handoko. Tapi laura pikir handoko tau karna laura juga meliburkan diri untuk menikah dan mengurus marfel. Dan itu semua adalah persyaratan dari ariana. Pemilik caffe tempat laura bekerja selama lebih dari 2 tahun belakangan.
“Pak saya..”
“Laura, tolong kerja samanya. Saya tidak mau nyonya ariana marah sama saya.” Lagi, handoko menyela.
Laura menelan ludahnya. Laura tidak pernah membayangkan jika dirinya akan kehilangan pekerjaanya.
“Ya tuhan.. Cobaan apa lagi ini?” Batin laura meneteskan air matanya.
Handoko menatap laura sebentar kemudian berlalu dari ruangan samping dapur caffe tempat para karyawanya meletakan barang barangnya seperti tas dan baju ganti.
Sementara nana yang bersembunyi di balik pintu hanya bisa diam. Nana tidak bisa membantu laura kali ini.
Laura mengusap air matanya. Mencari pekerjaan di kota besar tempatnya tinggal tidaklah mudah. Apa lagi jika hanya bermodalkan ijazah SMA yang nilainya pun di bawah rata rata.
Laura hendak meraih kembali tas slempangnya saat tiba tiba bayangan wajah tampan marfel terlintas. Rasa sedih laura sirna seketika mengingat suaminya yang tajir melintir.
“Eh apaan sih. Enggak enggak. Aku nggak boleh meminta minta. Pada tuan marfel sekalipun.” Gumam laura mengenyahkan pikiran yang tidak seharusnya.
Laura menatap ruangan 3x3 meter itu. Hari ini adalah hari terakhir laura menginjakan kakinya di caffe tersebut.
“Aku nggak boleh nyerah. Aku pasti bisa mencari pekerjaan di tempat lain.”
Laura menghela napas. Laura berusaha menbangkitkan kembali semangatnya. Laura sadar dirinya adalah satu satunya harapan adik dan neneknya. Laura harus terus berjuang demi keduanya. Bagaimanapun caranya.
”Ra..”
Laura menoleh saat mendengar suara pelan nana. Gadis itu memejamkan sesaat kedua matanya. Nana tidak boleh tau jika laura di pecat hari ini.
“Eh na..” Senyum laura berusaha menutupi kesedihanya.
Nana menatap dari atas sampai bawah penampilan simple laura. Rambut yang di kuncir, kaos seragam caffe yang sedikit kebesaran, dan celana jins dengan sepatu kets yang begitu pas membalut kaki kecilnya. Mulai hari ini nana akan sangat sulit bertemu dengan laura.
“Kamu di pecat yah?”
Laura terdiam. Suara handoko memang cukup keras dengan ketegasanya. Tidak heran jika nana mendengarnya. Bahkan mungkin bukan hanya nana saja yang tau. Teman temanya yang lain pasti juga tau.
“Maaf yah aku nggak bisa bantu kamu.. Soalnya aku nggak bisa kehilangan pekerjaan ini. Tapi aku janji aku pasti bantuin kamu..”
Laura tertawa kecil. Laura juga tau pekerjaan itu sangat berharga untuk nana. Mereka sama sama orang tidak punya. Wajar jika kehilangan pekerjaan sangat menakutkan bagi mereka.
“Nggak papa na. Aku juga nggak mau kali kamu sampai di pecat juga sama si buncit itu.”
Nana menghela napas. Kehilangan teman ngobrol dan teman kerja sedisiplin laura mungkin akan sangat membuatnya bosan nanti. Tapi nana juga tidak mungkin melepaskan pekerjaan itu. Mau makan apa nanti keluarganya jika nana tidak bekerja.
“Emm.. Ya udah na aku pulang yah..”
Laura kembali mengenakan tas slempang yang sebelumnya sudah laura taruh di lokernya.
“Ra..” Panggil nana pelan.
“Ya na.. Kenapa?” Tanya laura mengangkat sebelah alisnya bingung.
“Kalau aku telpon tolong di angkat yah. Kan meskipun kita nggak kerja bareng lagi kita tetap teman.”
Laura tertawa mendengarnya. Gadis itu menepuk nepuk bahu nana pelan.
“Sampai kapanpun juga kita tetep bakal jadi temen. Kamu nggak usah khawatir.”
Senyum nana mengembang. Di raihnya tangan laura yang berada di pundaknya. Nana menggenggam erat tangan laura membuat laura terdiam.
“Jangan berubah yah.. Tetep jadi laura yang aku kenal.” Lirihnya.
Laura merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Genggaman tangan nana begitu erat namun juga penuh kelembutan. Dan laura merasa nyaman dengan genggaman itu.
“Eemm.. I iya na. Ya udah aku pulang dulu.”
Laura menarik tanganya dari genggaman nana kemudian melenggang pergi dengan detak jantungnya yang seperti tidak normal.
“Nih jantung kenapa sih ah.. Jangan lompat dong, aku cuma punya satu jantung.”
Laura menyetop ojek yang saat itu melintas di depanya. Namun saat hendak naik ke boncengan tukang ojek tersebut laura terdiam.
“Apa aku ke nenek aja?”
Laura tampak berpikir. Gadis itu terdiam cukup lama merasa di lema antara pulang ke rumah suaminya atau ke tempat tinggal baru sang nenek. Bukan tanpa alasan laura ragu. Pasalnya laura mempunyai tanggung jawab mengurus semua keperluan marfel. Namun di sisi lain laura juga merasa sangat merindukan nenek dan adiknya yang 3 hari ini hanya bisa berkomunikasi lewat telpon.
“Neng kenapa bengong?”
Laura tersentak mendengar pertanyaan tukang ojek tersebut.
“Ya tuhan.. Maaf maaf pak.”
Laura segera naik ke boncengan tersebut. Laura merasa tidak enak karna sudah membuat tukang ojek itu menunggunya yang sempat larut dengan pikiranya.
“Kemana neng?” Tanya tukang ojek tersebut.
Laura memberi tau alamat tujuanya. Setelah berpikir laura lebih memilih untuk pulang ke rumah suaminya. Laura merasa punya tanggung jawab pada marfel.
“Sudahlah. Nanti aku minta izin dulu sama tuan marfel untuk mengunjungi nenek dan tian.” Gumam gadis itu dalam hati.
-----
Di tempat lain tepatnya di sebuah gedung pencakar langit di tengah hiruk pikuknya ibu kota marfel sedang melangkah dengan seorang pria yang terlihat sebaya denganya. Pria itu tidak lain adalah asisten pribadi marfel. Pria yang sangat di percaya dan selalu bisa di andalkan oleh marfel.
Marfel menghela napas. Semua karyawan yang menyambut kedatanganya tampak menundukan kepalanya saat berpapasan denganya. Padahal yang mereka tau marfel buta, tapi sepertinya rasa hormat mereka tetap tidak berkurang pada CEO tampan berambut coklat gelap tersebut.
“Jo..” Panggil marfel pada asistenya.
“Ya tuan..” Angguk joshua patuh.
“Kita langsung ke ruangan saya saja. Ada yang mau saya bicarakan sama kamu.”
“Baik tuan.”
Joshua menuntun marfel menuju lift. Pria dengan setelan jas hitamnya itu membawa marfel menuju lantai 9 dimana ruangan marfel berada.
Saat sampai di ruanganya marfel langsung melepaskan tangan joshua yang menuntunya. Marfel menghela napas kemudian berjalan santai menuju meja kerjanya.
Joshua yang menyaksikan sendiri hal itu mematung di tempatnya. Setau joshua tuanya mengalami kebutaan. Tapi apa yang di lihatnya benar benar di luar dugaan.
“Tuan anda..”
“Saya tidak buta.” Sela marfel.
Joshua menggelengkan kepalanya. Seluruh media mengabarkan tentang kebutaan tuanya. Dari media tv sampai surat kabar. Dan mungkin berita tentang kebutaan marfel sudah masuk sampai ke pelosok wilayah ibu kota.
Marfel mendudukan dirinya dengan santai di kursi kerjanya. Tanganya meraih beberapa berkasnya dan membacanya singkat.
“Ini rahasia kita berdua jo. Mamah dan papah saya bahkan tidak tau tentang ini. Termasuk juga laura. Istri kedua saya.”
Joshua mengangguk. Pria itu yakin marfel mempunyai alasan kuat melakukanya.
Joshua melangkah pelan kemudian berdiri tepat di depan meja kerja marfel.
“Duduk.” Perintah marfel.
“Ya tuan.”
Joshua menurut dan segera mendudukan dirinya di kursi yang berada di depan meja kerja marfel.
“Saya yakin kamu tau tentang ana. Kamu juga melihat bukan waktu ana jalan dengan pria itu?”
“Ya tuan.”
“Saya mau kamu menyelidiki semuanya.”
“Baik tuan.”
Marfel melirik joshua yang hanya diam di depanya.
“Selidiki dan cari tau juga semua tentang laura.”
Joshua mengeryit.
“Maaf tuan sebelumnya tapi nona laura..”
“Dia di bayar oleh ariana agar mau menjadi istri kedua saya. Selidiki semua tentang laura.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Muliana Nasir
sejauh ini novelnya good
2023-07-21
0
susi 2020
😲😲🙄😲🤓😍
2022-12-20
0
susi 2020
🥰🥰🤓😍🥰🤛
2022-12-20
0