5 tahun lalu.
Aku sedang duduk di kasur ku bersama Ben dan mengelus perut ku yang sudah semakin membesar. Aku memakai daster berwarna pink dan Ben memakai kaos polos dan celana joger hitam.
“Kita akan menamakan anak kita siapa nanti ?” Tanya ku kepada Ben yang terus mengelus perut ku dengan lembut.
“Memang nya harus sekarang?” Tanya Ben membuat ku mengerenyitkan dahi.
“Iya lah Ben. Memberi nama itu tidak bisa mendadak”
Lalu Ben menerawang menatap langit-langit terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Nyimas Ayu Prawira” ucap Ben dengan tatapan begitu serius, namun membuat ku memutarkan bola mata ku.
“Ben…” panggil ku memperingati nya agar tidak bercanda untuk saat ini. Karena Nyimas Ayu adalah nama assistan rumah tangga kita di rumah ini.
“Hahaha iya aku bercanda. Aku serahkan semua nya sama kamu”
“Jangan dong. Anak satu-satu nya kita harus kamu yang memberikan nama”
Ben menatap ku dengan terpaku. Dia terdiam tertegun melihat ku. Dan aku memberikan senyuman terbaik ku kepadanya.
“Iya. Justru karena ini akan menjadi anak satu satu nya kita,aku ingin kamu yang memberikan nama. Karena kamu yang telah mengandung nya selama 9 bulan, dan kamu yang nanti akan berjuang untuk melahirkan nya” ucap Ben membuat ku begitu terharu.
“Baiklah kita berdua akan memberikan nama bersama-sama ya” ucap ku agar mendapatkan keadilan.
“Bagaimana jika Karamel?” Tanya nya.
Aku merenyitkan dahi ku menatap nya dengan bingung.
“Kamu kan begitu menyukai caramel,kenapa tidak nanti anak kita di beri nama Karamel”
“Tidak Ben” jawab ku sangat menolak dengan pilihan nya.
“Kenapa?”
“Pokok nya tidak” jawab ku dengan begitu tegas.
Ben menatap ku dengan seksama, dia melihat wajah ku yang sudah terlihat kesal mengingat sesuatu.
“Apa ini ada hubungan nya dengan Nicko?” Tanya Ben dengan penuh hati-hati.
Aku langsung menatap nya dengan kesal.
“Kita sudah janji untuk tidak pernah membicarkan nya kan?” Ucap ku mengingat kan. Wajah ku sudah begitu berubah menjadi menyeramkan membuat Ben merasa takut.
“Aku…” ucap Ben terbata-bata karena cemas melihat ku yang sudah marah seperti ini.
Lalu aku turun dari tempat tidur dengan susah payah karena perut besar ku menghalangi.
“Faw..” panggil Ben dengan lirih.
Aku memakai sandal ku dan berjalan ke luar meninggalkan Ben yang masih diam di tempat tidur kami.
1 bulan kemudian ketika anak ku lahir dan aku sudah mendapatkan kabar jika Ben sudah tiada. Aku terbaring di tempat tidur rumah sakit melamun menatap langit-langit dengan air mata yang tak henti nya mengalir di pipi ku. Keysa yang berada di samping ku terus menemani ku dan menenangkan ku sebisa mungkin.
Seorang suster masuk ke dalam ruangan ku.
“Maaf Mbak. Untuk anak nya mau di beri nama siapa?”
Keysa bingung menatap ku yang masih saja melamun.
“Euh Mbak. Nanti saya beri tahu ya,saat ini teman saya masih..”
“Karamel” jawab ku memotong pembicaraan Keysa.
Keysa mentap ku dengan begitu pilu.
“Karamel Madhava Prawira” jawab ku tanpa bergerak sedikit pun dari tampat tidurku.
Aku memejamkan mata ku untuk menahan sakit yang tengah ku alami. Sakitnya melahirkan sudah aku lupakan begitu saja dan tidak lagi terasa, namun sakit hati yang aku alami begitu membekas untuk kehidupan ku bahkan sampai saat ini.
...—****—...
Kembali ke kehidupan ku yang sekarang.
Keesokan pagi nya aku menelepon Bima untuk meminta izin tidak akan masuk kerja untuk hari ini.
“Kenapa ? Ada kepentingan apa ?” Tanya Bima di sebrang telepon.
“Kamu baru saja masuk beberapa hari Faw, dan kamu sudah minta izin. Aku khawatir Pak Ferdyan tidak akan mengizinkan”
Dalam hati aku berkata.
Aku tidak peduli jika Nicko akan mengeluarkan ku, karena Kara lebih berarti untuk ku sekarang.
“Aku ada keperluan penting yang tidak bisa aku jelaskan”
“Lebih baik kamu sendiri yang menyampaikan izin ini kepada Pak Ferdy. Karena merasa tidak sopan jika aku yang menyampaikan nya”
Memang benar. Tidak seharusnya aku meminta tolong Bima untuk menyampaikan kepada Nicko terkait izin masuk ku hari ini.
“Baiklah. Aku akan mencoba menghubungi nya. Terimakasih Bim”
“Sama-sama Faw. Semoga urusan mu cepat selesai”
“Oke”
Aku langsung menutup telepon dan menatap layar ponsel ku. Aku berjalan kesana kemari di dalam apartemen memikirkan alasan apa yang akan aku berikan kepada Nicko agar dia mengizinkan ku untuk tidak masuk hari ini.
Aku menarik nafas ku begitu dalam lalu menghebuskan nya dengan tenang. Dan dengan berani menelepon Nicko untuk yang pertama kali nya secara pribadi.
“Ya?” Sapa Nicko dengan begitu dingin.
“Hari ini aku mau izin kerja”
“Kenapa ?”
“Ada urusan penting”
“Urusan apa?”
Aku memejamkan mata ku untuk memikirkan alasan yang tepat kepada Nicko namun sepertinya aku tidak bisa berbohong.
“Aku ada sidang di pengadilan hari ini”
“Sidang? Karena apa?” Tanya nya terdengar begitu panik.
“Aku,,aku mau merebutkan hak asuh Kara dengan mantan mertuaku”
Tiba-tiba Nicko terdiam tak merespond. Terdengar begitu hening di sebrang telepon.
“Hallo?” Sapa ku memastikan telepon masih tersambung.
“Baiklah. Besok pagi aku tunggu di kantor”
Di saat aku bersikap profesional dia malah membuat ku teringat masa lalu karena saikap nya yang seperti ini..
“Terimakasih”
“Oke”
Lalu aku menutup telepon nya. Memikirkan betapa baik nya Nicko kepada ku. Dia bahkan tidak pernah terdengar sedikit pun memarahi ku di kantor jika aku berbuat salah. Dan Nicko terlihat sekali mempertahan ku untuk tetap bekerja disana dengan membuat ku senyaman mungkin untuk bekerja.
Namun tetap saja. Aku tidak boleh terjerumus lagi kedalam kehidupan nya. Aku harus ingat masalah ku dengan Nicko di masa lalu. Aku tidak boleh kembali ke masa itu.
Aku segera mandi dan bersiap dengan pakaian ku yang rapih untuk menghadiri sidang yang di lakukan di pengadilan. Aku akan mempertahan kan Kara, bagaimana pun caranya. Aku tidak ingin Kara jatuh ke tangan orang lain yang bukan tanggung jawab nya. Mama dan Papa Ben harus siap menerima semuanya.
Aku bersiap dengan baju berlengan panjang ku berwarna cream dan celana kulot berwarna hitam. Aku mengikat rambut ku agar tidak menganggu ku saat berperang dengan keluarga Ben nanti, aku pun memakai kan baju Kara warna yang senada dengan ku, dress berwarna cream dan leging berwarna hitam. Rambut Kara pun ikut di ikat sama seperti ku.
Aku mendandani Kara secantik mungkin.
“Mama tidak akan memberikan Kara kepada Oma kan?” Tanya Kara dengan wajah yang begitu khawatir.
Aku begitu kasihan melihat Kara yang sudah bisa merasakan khawatir seperti ini.
“Sayang. Mama sudah berjanji kan,jika Mama tidak akan pernah membiarkan kamu tinggal bersama Oma. Dan Mama akan menepati janji Mama itu” ucap ku dengan penuh keyakinan.
“Mama janji?” Tanya nya lagi dengan mengangkat jari telunjuk nya.
Aku tersenyum dan menahan air mata ku yang hampir menetes,namun aku membendung nya agar Kara tidak khawatir melihat ku yang bersedih.
Aku menyambut telunjuk Kara dengan telunjuk ku,lalu mengaitkan nya. Ini adalah ikatan janji kami,bukan dengan kelingking melainkan dengan telunjuk.
“Janji” jawab ku tersenyum kepadanya dan memeluk nya begitu erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments