Lelah? Itu yang Elno rasakan. Dalam sehari ia bahkan cuma tidur selama empat jam. Bekerja dan terus seperti itu, tetapi uang yang didapat selalu saja habis.
Kebutuhan rumah tangga yang banyak, lalu biaya pendidikan yang tidak sedikit. Keinginan cuti kuliah selalu terlintas dalam pikirannya. Namun, melihat Kara yang berharap ia lulus secepatnya membuat Elno mengurungkan niat itu.
"Melamun saja. Nih, tugasku tolong dikerjain," ucap Ilmi sembari meletakkan satu makalah di depan meja Elno.
Elno meraihnya, lalu menyimpan makalah itu ke dalam tas. Selepas pulang, ia akan disibukkan dengan pengerjaan tugas-tugas yang tidak pernah selesai, lalu sorenya bekerja di kelab malam sampai pagi buta.
"Kamu enggak mau nebeng, Ted?" tanya Ilmi.
"Aku mau sukses hasil kerja sendiri," sahut Tedi.
Ilmi mencibir. "Halah! Kemarin kamu juga ikut nebeng. Kalau kita semakin banyak kasih Elno tugas, hutang Elno akan berkurang."
Tedi memandang wajah Elno yang biasa saja. Jika pun sahabatnya itu mau mengumpat, maka Tedi memakluminya. Ilmi bukan meringankan beban, tetapi menambah.
Elno sudah sulit dengan pekerjaan ditambah tugas kuliah yang membuat kepala pusing. Belum lagi perihal rumah tangganya. Tubuh Elno saja sudah kurus. Area sekitar matanya menghitam. Elno tampak lebih tua dari umur sebenarnya.
Suara dering ponsel terdengar. Elno merogoh saku kemeja, lalu mengangkat telepon itu. Ia mendengarkan sebelum menjawab dalam keadaan panik.
"Aku pulang sekarang!" ucap Elno, lalu memutus sambungan teleponnya.
"Ada apa?" tanya Tedi.
Elno beringsut berdiri dari kursinya. "Kalian izinin aku buat mata kuliah berikutnya. Aku harus pulang. Finola sakit."
"Nanti kabari kami," pinta Tedi.
Elno mengangguk. "Pasti."
"Hati-hati di jalan, El. Sabar," ucap Ilmi mengingatkan.
Elno berlari menuju tempat parkir. Kara menelepon karena Finola sakit. Malam tadi memang putrinya itu rewel. Kara sudah memberi obat dan kondisinya mendingan saat Elno meninggalkannya.
Segera saja mesin motor dihidupkan. Elno mengendarainya keluar gerbang kampus ke jalan raya menuju rumah sewanya.
...****************...
Kara berusaha menenangkan putrinya yang rewel. Tubuh putrinya panas. Ia juga telah mengompres bagian-bagian yang diperlukan. Tetangga dekat menyuruh Kara mengompres di bagian kening, ketiak dan kaki bagian dalam, dan deman Finola sama sekali tidak turun.
Suara kendaraan roda dua terdengar. Kara lekas membuka pintu karena ia tahu suara khas dari motor milik Elno. Suaminya pulang. Setidaknya perasaan Kara lega.
"Sayang, putri kita," ucap Kara.
Elno turun, lalu melepas helm. Ia masuk ke dalam rumah. "Sudah diberi obat?"
Kara mengangguk. "Baru tiga puluh menit yang lalu. Apa harus dikasih lagi?"
"Jangan dulu. Tunggu lewat empat jam. Aduh! Aku enggak tau harus lewat berapa jam," kata Elno.
"Ganti pakaianmu dulu. Kita gantian gendong Finola. Bahuku rasanya enggak kuat lagi."
"Iya. Aku ganti baju dulu."
Elno melangkah ke dapur, ia membuka pakaian. Mencuci tangan serta wajah baru mengambil baju di kamar tidur. Kara melepas ikatan kain yang berada di bahu. Ketika Elno datang, ia memberikan kain gendongan itu.
"Sini Finola. Sama Papa saja," ucap Elno.
Finola masih menangis. Kara ingin ikut meneteskan air mata juga. Sungguh ia tidak tahu bagaimana menenangkan bayi yang rewel karena sakit. Tidak ada seorang ibu yang berpengalaman membantunya. Untung saja ada tetangga baik hati yang memberi saran.
Setelah di tangan sang ayah, Finola tenang juga. Perlahan Elno melepas kain gendongan, lalu menurunkan Finola ke kasur. Kara sudah terlelap bahkan Elno tidak menyadarinya.
"Papa mohon kamu tenang, Sayang," ucap Elno.
Ia ikut berbaring di samping Kara. Rasa lelah mendera. Elno ingin tidur sejenak sebelum berangkat kerja lagi sore ini.
Rasanya baru saja Elno terlelap, ia sudah mendengar suara jeritan dari sang istri. Kara berteriak sembari memeluk Finola.
"Ada apa?" teriak Elno tidak kalah kerasnya.
"Finola. Tubuhnya kejang-kejang."
Elno lekas berdiri, lalu keluar rumah. Entah apa diteriakkan oleh Kara ketika ia pergi, tapi yang pasti Elno harus mencari seseorang untuk melihat buah hatinya.
"Bu Warni!" seru Elno.
"Ada apa, El?"
"Tolong, Bu. Finola kejang," kata Elno.
"Kejang?" Bu Warni lekas berlari menuju rumah Elno.
Di dalam rumah, Kara tidak tahu harus apa. Ia cuma memeluk agar Finola tidak kejang lagi. Bu Warni masuk begitu saja. Ia segera mengambil alih dengan memiringkan tubuh Finola.
"Demamnya tinggi. Kalian harus bawa Finola ke rumah sakit," kata Warni.
Kara menangis. Ia tidak tahu apa-apa pun, tetapi ia manut atas saran dari tetangga. Elno mengusap wajah. Putrinya baru berusia dua bulan sudah menderita seperti ini.
"Ayo, El. Kita bawa Finola ke rumah sakit," kata Kara.
"Iya, kita ke rumah sakit sekarang."
Tubuh Finola mereda dari kejang. Kara meraih putrinya masuk dalam gendongan. Ia kecup kening Finola yang terasa panas.
"Bawa secepatnya," kata Bu Warni.
"Titip rumah, Bu," sahut Elno.
"Jangan khawatir soal itu."
...****************...
Sampai di rumah sakit, Finola segera dibawa ke unit gawat darurat. Elno menenangkan Kara untuk bersabar menerima ini semua.
"Kenapa bisa Finola seperti itu?" tanya Kara.
Elno menggeleng. "Aku enggak tau. Pas aku meletakkannya di kasur, dia diam saja."
"Seharusnya kita membawa ke rumah sakit dengan segera."
"Iya," jawab Elno.
Jika waktu bisa diputar, maka Elno akan membawa Finola ke rumah sakit. Seandainya saja ia punya banyak uang, Elno tidak akan berpikir lagi untuk menemui dokter.
Pintu ruang tindakan dibuka. Kara dan Elno dipersilakan masuk menemui dokter di dalam. Kara melihat putrinya di atas ranjang pasien dengan kaki diinfus.
"Kita lihat dulu perkembangannya. Demamnya sangat tinggi," kata Dokter.
"Anak saya tidak apa-apa, kan?" tanya Kara.
"Demamnya tinggi dan Anda membawanya saat kondisinya sudah parah. Kita berdoa saja anak Anda membaik malam ini."
"Iya, Dok. Terima kasih," ucap Elno.
Dokter dan suster pergi setelah memberi pertolongan pertama bagi Finola. Elno terpaksa izin kerja untuk menemani istri serta anaknya.
Hari sudah sore. Belum ada suster yang berkunjung ke ruang perawatan. Cairan infus juga sudah hampir mau habis dan harus diganti.
"El, kamu panggil susternya. Apa infusnya terlalu lancar? Sudah mau habis itu," ucap Kara.
Elno mengangguk, lalu keluar. Ia memanggil suster untuk memeriksa. Petugas kesehatan datang dengan membawa satu botol infus dan menggantinya milik Flora dengan yang baru.
Tidak lama suster itu keluar, dokter kembali datang memeriksa. Kata-kata yang diucapkan sama saja. Kara dan Elno harus menunggu perkembangan putri mereka.
"Kalau banyak duit enggak begini pelayanannya," celetuk Kara.
"Berdoa saja semoga Finola baik-baik saja," sahut Elno.
Malamnya, Elno dipersilakan untuk keluar. Hanya Kara saja yang boleh menemani putrinya. Finola kembali menangis. Kara menyusuinya, lalu keadaan semula kembali terjadi.
Deman Finola tidak kunjung turun, dan ia mengalami kejang lagi. Kara memencet tombol merah yang ada di samping brankar pasien.
"Sayang," ucap Kara lirih.
Masih belum ada yang datang. Kara kembali memencet tombol merah itu. Finola tiba-tiba saja terdiam dan Kara memeluknya. Elno yang terganggu atas langkah dari suster segera bangun. Ia masuk saja ke ruang putrinya di rawat.
"Kenapa dia kejang lagi? Kenapa kalian tidak cepat datang?" teriak Kara.
"Sabar, Bu. Pasien bukan hanya ibu saja," sahut suster.
Seorang wanita berseragam putih datang mengambil alih. Ia memeriksa, lalu menghela napas panjang.
"Anak Anda tidak bisa diselamatkan."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Trisna Khasin
😭😭😭😭😭😭yaaAlloh.. ga kuat lma2 ga komen thor ree sabar..elno kara...
2023-06-14
0
🍀 chichi illa 🍒
dedek jadi bidadari surga ya dek udah gak sakit lagi 😭😭😭😭😭😭😭😭
2022-12-17
0
🍍 selai nanas~Q®F🍍
waduh bikin sedih aja🥺🥺
2022-11-14
0