Zee menutup rapat-rapat matanya, bertingkah seakan tertidur pulas senatural mungkin ketika pintu kamarnya bersuara terbuka dan tertutup kembali. Langkah kaki terdengar mendekati ranjang. Dari aroma tubuhnya yang khas, dirinya sudah tau jika Seanlah yang masuk ke dalam kamarnya. Zee merasakan bayangan seseorang di depan wajahnya, yang ia tebak jika Sean duduk dihadapannya. Kali ini pada bagian rambutnya yang ia rasakan kecupan lembut, yang dipastikan oleh Sean. Telinganya mendengar bisikan lirih yang berasal dari bibir Sean.
"Sorry, Baby Girl."
Jantung Zee semakin berdegup kencang mendengar suara Sean yang tepat berada di depan telinganya. Ia merasakan Sean menjauhi tubuhnya kemudian beranjak dari duduknya. Tetapi tidak terdengar suara pintu yang terbuka, hanya disusul dengan kasurnya yang mulai bergerak. Dipastikan Sean menaiki ranjang. Tak lama, Zee merasakan Sean yang masuk ke dalam selimut yang sama dengannya dan perlahan memeluk pinggangnya erat. Tubuhnya menempel sempurna dengan tubuh Sean. Rambutnya bahkan menyentuh di bibir Sean. Ia bisa merasakannya. Zee sangat ketakutan sekarang karena berada sangat dekat dengan Sean.
"Aku tidak tau harus memulainya dari mana..." ucap Sean pelan. Jeda selama beberapa detik Sean tak mengeluarkan suaranya.
"Hari itu aku pergi ke kampus untuk mengisi acara di sana dengan berpidato, sebagai pemilik kampus. Saat itulah aku melihatmu yang terlihat acuh dan tertidur pulas ketika aku berpidato." Sean melanjutkan. Jantung Zee semakin berpacu dengan kencang karena semakin takut saat mendengar suara Sean. Ia masih belum mengetahui, kemana arah pembicaraan ini dan apa niat Sean sebenarnya.
"Mungkin itulah kali pertamanya aku tertarik padamu..." Lagi-lagi Sean berdiam sebentar, sebelum melanjutkan.
"Kau begitu berbeda dari mereka. Di saat wanita lainnya menatapku penuh kekaguman dan memujaku, melemparkan tubuhnya secara mudah padaku hanya untuk uang. Tidak ada tatapan memuja pada matamu dan justru kau terlihat ketakutan. Itu sedikit membuat aku geram." Jadi dirinya bisa berakhir di sini hanya karena semua itu?!
"Selama enam bulan terakhir dirimu memenuhi pikiranku, entah mengapa aku juga tak menemukan alasannya. Aku pergi ke Manhattan selama sebulan untuk mengusirmu dari pikiranku. Tapi kau masih mengikutiku sampai di sana. Pikiranku semakin tak tenang dan ingin segera melihatmu di London dengan mataku sendiri, membuktikan bahwa kau baik baik saja disini. Semakin lama perasaan ini ingin menginginkan hal lebih padamu, tak hanya sekedar menatapmu yang dipenuhi berbagai ekspresi dari jauh. Aku ingin semua ekspresimu yang kau tunjukkan hanya padaku, aku ingin kau selalu berada disisiku setiap saat."
"Aku menjadi gila dan lepas kendali saat mendengar kau berusaha pergi dari sisiku, aku semakin gila saat kau memakai pakaian kurang bahan itu! Asal kau tau, aku tidak suka berbagi dengan siapapun. Maaf aku hilang kendali, maaf aku tak mendengarkanmu, maaf aku melukaimu, maaf aku egois. Aku hanya ingin kau selalu berada di sisiku, apa aku terlalu serakah?" tanya Sean diakhir kalimatnya.
"Aku tak berharap banyak dengan mendapatkan maaf darimu, aku hanya ingin kau tetap bersamaku Zee." Sean mengakhiri ucapannya dengan menyematkan kecupan lembut di rambut Zee yang memunggunginya.
Zee sudah meneteskan air matanya dalam diam ketika mendengar apa yang dikatakan Sean. Kemarahan, keputusasaan, dan ketidakpercayaan dirasakan Zee. Ia tidak percaya jika dirinya berakhir di sini karena obsesi gila pria ini. Ia begitu marah karena Sean memperlakukannya begitu buruk hanya karena sebuah alasan sepele yang tidak masuk akal. Di atas semua itu, ia begitu putus asa karena mengetahui, dirinya tidak bisa melakukan apapun. Apakah ia akan berakhir menjadi bahan pemuas nafsu pria ini? Ia lebih memilih mati daripada harus menjadi seperti itu.
Setelah beberapa menit berlalu, air mata Zee akhirnya berhenti keluar. Tak terdengar suara apapun lagi dari Sean, selain dengkuran halus dan napas teratur yang ia rasakan di kepalanya. Zee perlahan membalikkan tubuhnya dengan hati-hati tak mau membangunkan pria di belakangnya. Setelah berhasil membalikkan tubuhnya tanpa membangunkan Sean, Zee menatap wajah Sean dalam diam dengan mata bengkaknya. Matanya menatap Sean yang terlihat begitu polos ketika tertidur. Begitu polos setelah apa yang ia lakukan hingga Zee mengepalkan kedua tangannya. Lagi-lagi, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menahan emosinya yang membuncah.
Zee menatap wajah Sean dari dekat membuat ia bisa melihat dengan jelas bagaimana sempurnanya pahatan wajah Sean. Alis yang tebal, dengan bulu mata yang tak terlalu tebal maupun lentik, netra birunya ketika terbuka selalu menatap dirinya datar dan dingin. Hidungnya yang mancung dipadukan dengan bibir yang tak terlalu tebal berwarna merah muda kemerahan membuat wajah Sean semakin menawan. Jangan lupakan rahangnya yang tegas dan bentuk dagu yang sempurna. Ditambah jambang halus yang tumbuh di sekitar rahangnya membuat kesan hot dan dewasanya Sean.
Untuk pertama kalinya Zee mengakui ketampanan wajah Sean setelah menatap dan memperhatikannya dari dekat. Tak heran banyak wanita yang mendekati Sean karena ketampanannya. Ditambah dengan bentuk tubuhnya yang atletis, didukung dengan kekayaan Sean yang tak perlu diragukan lagi. Semua sempurna seakan tak ada celah di mata Zee. Sempurna jika saja apa yang sudah ia lakukan tidak ia lakukan.
Meskipun Sean adalah pria sempurna di muka bumi ini, Zee sudah melihat bagaimana Sean memperlakukan wanita karena dirinya sudah merasakannya. Setampan apapun Sean dan sekaya apapun kekayaannya, tak akan bisa mengubah perspektif Zee tentang Sean. Pria ini sudah menghancurkan dirinya luar dan dalam.
'Kau sama saja dengan ***--*** di luar sana!' Tiba tiba suara Sean terdengar di depan wajahnya dalam lamunan Zee, menyentak kesadarannya. Ia melihat sekali lagi wajah Sean yang masih memejamkan matanya.
'Mati! kau pantas mati!' Suara Sean kembali terdengar.
Zee segera bangun dari tidurnya dan berdiri dari atas ranjang secara tiba tiba membuat Sean terusik dalam tidurnya. Zee menatap Sean yang nampak sedang mengumpulkan kesadarannya, dengan ketakutan.
'*Kenapa kau masih hidup?'
'Berapa lama lagi?'
'Pergilah ke neraka*!'
Suara-suara itu terus terdengar meskipun Zee menutup telinganya. Zee beringsut mundur ke pojok kamar. Meringkuk ketakutan sembari menutup telinganya.
"Tidak! Tidak!" teriak Zee histeris. Sean menatap Zee yang ketakutan berusaha menghampirinya.
"Pergi! Jangan dekati aku!" teriak Zee semakin keras. Air matanya kembali mengalir dengan deras tanpa komando.
"Zee tenanglah," ucap Sean lembut masih berusaha mendekatinya.
"Kau akan menyakitiku lagi! Kau akan membunuhku, kan?!" teriak Zee ketika melihat wajah Sean, ia melemparkan setiap barang yang ia lihat ke arah Sean. Bodyguard yang ada diluar sudah masuk ke dalam ketika mendengar teriakkan Zee.
"Tidak! Pergi kalian! Kalian akan membunuhku!" teriak Zee lagi-lagi melemparkan barang ke arah Sean dan kedua bodyguardnya. Zee semakin ketakutan melihat kedua pria besar bodyguard Sean.
Sean memberikan kode kepada kedua bodyguardnya untuk keluar. "Panggil Marlyn," ucap Sean pelan. Kedua bodyguard itupun keluar menuruti perintah Sean.
Zee duduk meringkuk menekuk lututnya sembari menutup telinganya. Matanya melihat pecahan beling dari vas yang ia lempar. Dengan cepat tangannya mengambil pecahan beling tersebut. Sean yang melihatnya mendekati Zee yang akan mengiris pergelangan tangannya dengan pecahan beling tersebut, tetapi terlambat. Darah sudah mengalir dari pergelangan tangan Zee membuat kesadarannya saat itu juga hilang. Sean segera menghentikan pendarahan yang keluar dengan merobek pakaiannya. Marlyn masuk ke dalam kamar yang sudah sangat berantakan bagai kapal pecah.
"Cepat panggil Trisha kemari!" teriak Sean panik sembari mengikat sobekan pakaiannya pada pergelangan tangan Zee. Sean mengangkat tubuh Zee kembali ke atas kasur. Sedang kedua bodyguardnya langsung menelfon Dokter Trisha agar segera datang sebelum bosnya yang panik memecat mereka.
Beberapa menit berlalu, Dokter Trisha sudah datang dan segera masuk kedalam kamar yang sudah tak berbentuk. Ia segera melakukan tugasnya tanpa berbicara apapun saat melihat kondisi Zee.
30 menit berlalu, Dokter Trisha selesai melakukan tugasnya. Sean dan Marlyn mendekati ranjang Zee setelah Dokter Trisha menjauhi ranjang Zee. Pergelangan tangan Zee sudah tertutupi perban dengan rapi.
"Kau sudah menelfon psikiater?" tanya Trisha menatap Sean. Sean mengangguk sekali.
"Hal seperti ini mungkin akan sering terjadi, jaga dia," ucap Trisha sembari menepuk bahu Sean. Marlyn mengantar sang Dokter keluar kamar Zee.
Sean berdiri seperti mayat hidup hanya menatap Zee yang terbaring di atas kasur. Perlahan menggerakkan tubuhnya untuk duduk di sisi ranjang. Ia mengambil tangan Zee dan menggenggamnya. Mengarahkannya pada bibirnya. Mengecup dalam tangan Zee sembari menundukkan wajahnya. Apa perasaan bersalah adalah seperti ini?
*
*
*
tbc
Follow ig Riby_Nabe
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Krystal Zu
halloo aku mampir nihhh
2022-11-23
1
Etik Yuliana
semangad thor....
2021-09-14
1