Sean memandangi wajah Zee yang tampak berantakan. Air mata yang mengering di pipinya, rambut kusut dan lepek akibat keringat bercampur air mata, dan sekitar matanya yang membengkak. Ia mengingat setiap apa yang dilakukannya. Fakta baru yang ia ketahui adalah Zee sudah tak virgin. Apa keperawanannya sudah ia berikan pada pria itu? Memikirkannya membuat emosi Sean naik kembali. Zee ternyata sama seperti gadis lainnya yang bisa memberikan keperawanannya pada siapapun.
Itulah penilaian Sean saat mengetahui jika Zee sudah tak virgin. Tetapi kenapa saat Sean menyetubuhinya, Zee sangat memberontak? Apa gadis ini sebegitu membencinya? Jika memang iya, maka Sean akan membuat gadis ini jatuh cinta padanya, tak peduli fakta jika dirinya bukan yang pertama bagi Zee. Sean semakin merasakan tantangan dalam diri Zee. Jika wanita lain akan dengan terang terangan menggodanya, tetapi tidak dengan Zee. Wanita asing ini sudah membuat obsesi dalam diri Sean bangkit. Kita lihat siapa yang akan memenangkan permainan ini.
Setelah lama Sean memandangi wajah Zee, ia perlahan beranjak dari atas kasur dan berjalan ke arah walk in closet untuk memakai pakaiannya dan mengambil pakaian untuk Zee serta kotak p3k. Ia merasa sedikit bersalah karena bermain kasar pada Zee tanpa mempedulikan luka yang ada di tubuhnya.
Emosinya naik saat mendengar Zee melarikan diri, tetapi ia menemukan Zee di jalan itu. Tetapi pakaian yang Zee kenakan membuat Sean kembali naik pitam. Jiwa posesifnya keluar saat Zee memakai pakaian yang memperlihatlan perutnya pada para bodyguardnya di mansion. Ia tidak bisa membiarkan siapapun melihat atau menyentuh miliknya! Sehingga ia menulikan telinganya terhadap teriakan, tangisan, dan jeritan kesakitan Zee. Ia akan tunjukan pada gadis ini, jika apa yang sudah dirinya miliki tak akan bisa dimiliki oleh siapapun barang seinchi pun. Anggap saja jika semua yang ia lakukan adalah hukuman untuknya.
Setelah memakai pakaiannya, Sean keluar membawa pakaian Zee dan kotak p3k. Perlahan ia melepas ikatan dasi pada tangan Zee dan memakaikan Zee pakaian kembali dengan penuh kehati-hatian. Ia mengecup lembut kedua mata Zee yang terlihat membengkak karena menangis. Sean mengecup juga dahi Zee yang memar sebelum memberikannya salep dan menutupnya dengan hansaplas. Ia beralih mengobati memar merah ditangan Zee akibat ikatan dasi yang terlampau kencang. Miliknya telah terluka akibat dirinya.
Matanya menangkap luka bekas sayatan di sepanjang tangan Zee yang banyak. Hansaplasnya sudah hilang entah kemana. Luka yang terlihat baru itu terlihat memerah dan belum mengering dengan sempurna. Ia mengobati juga luka yang terbuka itu lalu menutupnya dengan hansaplas kembali. Ia menatap lama luka tersebut dan bertanya tanya, mengapa Zee melukai dirinya sendiri? Kenapa sisi lain dalam diri Sean seolah marah dan tak terima jika gadis ini melukai dirinya sendiri?
Lama ia melihat tangan Zee, lalu setelahnya mengecup tangan Zee yang sudah tertutup hansaplas itu dengan lembut. Ia beralih ke kaki Zee yang memar dan membengkak besar karena terkilir. Sean memberikan salep pada kakinya dan menutup kembali tubuh Zee dengan selimut sampai ke lehernya. Setelah selesai, akhirnya Sean dapat bernapas dengan lega. Sebelum ia meninggalkan Zee, ia mengecup lembut rambut Zee dan memunguti pakaiannya dan pakaian Zee lalu menyimpannya pada keranjang pakaian kotor. Ia lantas keluar dan masuk kembali ke dalam ruangan yang berada di seberang kamar Zee.
Tak berapa lama, Sean kembali masuk bersama seorang wanita yang memakai jas putih khas seorang dokter ke dalam kamar yang ditempati Zee, setelah menelfonnya. Zee terlihat tengah berbaring di kasur, sudah terbangun tanpa melakukan apapun, selain memandang kosong ke langit langit kamar.
Sean menunjuk pergelangan kaki Zee yang membengkak besar. Sang dokter memeriksa kaki Zee dan sekujur tubuhnya yang terdapat banyak luka memar serta sayatan di tangannya. Setelah memeriksanya sang dokter menutup kembali tubuh Zee dengan selimut.
"Hai Nona, siapa namamu?" tanya sang dokter lembut menatap Zee yang terlihat seperti mayat hidup.
"Linzy Alanza," jawab Sean karena Zee tak mengeluarkan suaranya. Sang dokter menatap Sean kesal, sedangkan Sean menatap dokter wanita itu datar.
"Tuan Sean, bisakah Anda keluar? kami ada obrolan sesama wanita!" ucap dokter tersebut dengan nada intimidasi sembari mendorong tubuh Sean agar keluar. Tam memiliki pilihan, Sean akhirnya keluar.
"Nona Linzy, aku dokter Trisha. Kau bisa memanggilku Trisha saja," ucap dokter Trisha yang masih tak mendapat respon apapun.
"Kau bisa menganggapku kakakmu. Kau boleh bercerita apapun padaku," lanjutnya lagi masih dengan nada lembut.
"Jika kau belum ingin berbicara padaku tak apa, kau bisa menelfonku." Akhirnya dokter Trisha memilih menyerah karena merasa bukan bidangnya.
"Kalau begitu aku pamit dulu, jangan lupa untuk minum obatmu dan jaga kesehatanmu ya." Dokter itupun berpamitan pada Zee yang masih tak merespon apapun. Ia keluar dari kamar yang sudah ada Sean menunggunya di depan pintu.
"Ada yang ingin kukatakan, Sean." Dokter Trisha menatap serius Sean, begitu ia menutup pintu kamar.
"Ikut aku." Sean melenggang pergi ke ruang kerjanya yang berada di depan kamar Zee dan diikuti oleh Dokter Trisha.
Dokter Trisha menyeruput tehnya yang masih mengepulkan uap dengan perlahan, begitu minumannya diantarkan. Sean menatap Dokter di depannya dengan datar. Setelah menyeruput tehnya ia meletakan kembali gelasnya.
"Apa saja yang sudah kau lakukan pada gadis itu?" tanya Dokter Trisha memulai pembicaraan.
"Aku hanya menidurinya," jawab Sean acuh.
"Apa dia terlihat sangat memberontak?" tanya dokter Trisha kembali. Kali ini Sean menyerngitkan dahinya. "Kenapa kau tau?" tanya Sean heran.
"Kau lihat luka sayatan di pergelangan tangannya?" tanya sang dokter kembali yang diangguki Sean.
"Itu adalah salah satu tanda pasien pengidap depresi," lanjut dokter Trisha tenang.
"Ini bukan bidangku, kau harus membawanya ke dokter psikiater sebelum terlambat." Sean menatap Dokter di depannya sekaligus sepupunya ini dengan tatapan yang masih belum mengerti.
"Pengidap depresi rentan bunuh diri jika emosinya terguncang. Dan biasanya, pasien memiliki emosi yang berubah-ubah secara ekstrem." Ucapan dokter Trisha membuat hati Sean mencelos begitu saja.
"Menurut yang kau katakan, ia mungkin telah depresi karena hal yang telah kau lakukan dilakukan oleh orang lain sehingga itu membuat ia semakin parah." Dokter Trisha menghela napas. Sean masih diam mencerna apa yang dikatakan oleh Dokter Trisha.
"Untuk luka memar di tubuhnya ambil salepnya di apotek, pakai secara rutin. Aku akan memeriksanya dua minggu sekali. Aku pulang dulu, dan ingat ucapanku." Dokter Trisha memberikan sebuah kertas pada Sean. Ia beranjak berdiri dari duduknya setelah menghabiskan tehnya.
"Dokter Johan kenalanku adalah psikiater yang berpengalaman, kau mau aku menghubunginya?" tanya dokter Trisha sebelum ia benar benar keluar dari ruangan Sean.
"Tidak perlu," jawab Sean dingin. Dokter Trisha mengangkat bahunya acuh kemudian berlalu pergi.
Sean menghela napas dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi kerjanya. Ia memejamkan matanya. Setelah apa yang dikatakan oleh sepupunya, Sean mendadak merasakan penyesalan mulai menghampiri dirinya. Ia mulai berandai-andai.
Andai ia bisa mengontrol emosinya lebih baik, andai ia mendengarkan Zee, andai ia tak memperkosa Zee. Atau mungkin, ia harusnya berhenti terobsesi pada Zee. Semua kata pengandaian tak berguna untuk memutar kembali waktu. Semua yang terjadi pada gadis itu terjadi karena dirinya. Akhirnya ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Sean memejamkan matanya guna mengendalikan dirinya dari semua rasa bersalah dan penyesalannya. Tetapi rasa kemarahan lebih besar dari semua itu. Siapa pria brengsek yang sudah membuat miliknya seperti ini?
Sean berdiri dari kursinya kemudian keluar dari ruangan. Ia berjalan ke pintu sebrang. Sebelum dirinya membuka pintu kamar Zee, ia menarik napas dalam. Kali ini ia akan menurunkan egonya dan meminta maaf pada gadis itu. Biar bagaimanapun, rasa bersalah ini menganggu Sean. Ketika ia membuka pintu kamar, Zee tidak ada di kasurnya. Sean mempercepat langkahnya untuk mencari Zee. Pintu yang pertama ia buka adalah walk in closet. Zee tidak ada, Sean masuk ke dalam walk in closet untuk mencari Zee di dalam toilet karena mendengar suara gemericik air yang mengalir. Begitu ia membuka pintu toilet, Zee sudah tenggelam di dalam bathup tak sadarkan diri.
"Zee!" teriak Sean langsung mengangkat Zee keluar dari bathup dan membawanya kembali ke kasur.
Sean memanggil bodyguard yang berjaga di luar untuk memanggil Marlyn. Tak lama Marlyn datang dan tak kalah terkejutnya melihat Zee tak sadarkan diri dengan keadaan basah kuyup.
"Tolong gantikan pakaiannya Marlyn," ucap Sean panik. Sedangkan dirinya keluar kamar dan kembali ke ruang kerjanya untuk mengambil ponselnya, menelfon Axel.
"Cari dokter psikiater wanita terbaik di dunia ini segera Axel dan bawa dia kemari!" Sean memberikan perintahnha setelah Axel menjawab telfon. Sean kembali menutup telfon dan memasukannya ke dalam saku celananya. Ia kembali masuk ke dalam kamar Zee yang sudah diganti pakaiannya. Marlyn sedang mengeringkan rambut Zee. Sean naik ke atas ranjang di sisi Zee lainnya. Ia memegang tangan Zee yang dingin dan mengecupnya dalam.
Ia tidak menyangka jika Zee separah ini. Penyesalan semakin menggelayuti hatinya.
*
*
*
tbc
Parah Sean!
Follow ig Riby_Nabe
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Fina Tanjung
setidaknya cwonya baik
2021-10-20
1
Aisyah Prasutio
bagus Thor novelmu,aqu doain banyak yg like ,sukses trus💪💪💪💞💞
2021-09-04
2
🌸 andariya❤️💚
up double ya
2021-08-29
4