Sean menunggu Zee sadar dengan sabar. Ia tak beranjak ataupun melepas genggaman tangannya barang sedikitpun pada tangan Zee. Ia masih tetap pada posisinya. Sudah satu jam namun Zee belum sadarkan diri.
Matanya fokus pada satu titik. Hanya memandangi wajah Zee yang tertidur dengan damai. Terlihat sangat cantik meskipun matanya tertutup. Untuk pertama kalinya ia berharap melihat mata indah itu terbuka dan menatapnya sekali lagi. Ini adalah penantian pertamanya hanya untuk meminta maaf pada seorang gadis. Gadis itu adalah Linzy Alanza. Gadis yang sudah membangkitkan obsesi dalam dirinya. Benarkah yang ada di dalam hatinya hanya sebuah obsesi untuk gadis ini?
Jari tangan Zee yang bergerak menyentak Sean yang tengah melamun. Ia menatap mata Zee yang perlahan namun pasti terbuka memperlihatkan warna netra hitam kecoklatan yang indah. Satu tangan Zee memegangi kepalanya yang terasa nyeri berdenyut, sedang tangan lainnya terasa begitu kebas. Ia melepaskan genggaman tangannya dengan tangan Sean dan bergerak mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping memunggungi Sean. Zee tak sanggup untuk menatap kembali pria yang sudah menghancurkannya. Yang dipikirannya sekarang adalah tak melihat Sean. Jika dirinya tak bisa keluar dari mansion ini agar tak melihat Sean, maka ia akan mati agar semuanya lebih mudah.
Sean hanya bisa menghela napasnya ketika melihat Zee yang tak mau menatapnya. Tentu saja, apa yang ia harapkan dari korban pemerkosaanmu sendiri? Tetapi setelah melihat Zee bangun, itu sudah cukup untuknya sekarang. Ia beranjak turun dari atas ranjang dan keluar kamar. Sean memerintahkan bodyguardnya untuk masuk ke dalam kamar Zee dan menjaganya sementara ia mengambilkan makanan Zee.
Tak lama ia kembali dengan nampan berisi makanan dan minuman untuk Zee karena sedari pagi perut Zee belum terisi apapun. Ia meletakkan nampan tersebut di meja nakas kemudian berjongkok untuk melihat Zee yang berpura pura menutup matanya.
Kedua bodyguardnya keluar begitu bos mereka sudah masuk kembali. Tangan Sean terangkat untuk mengelus rambut Zee dengan lembut. Raut wajah Zee begitu ketakutan ketika tangan Sean menyentuh rambutnya. Sean yang sadar pun menarik kembali tangannya dari rambut Zee dan berdiri kemudian menyuruh bodyguardnya untuk memanggil Marlyn. Tak lama Marlyn masuk ke dalam kamar.
"Tolong suruh ia untuk makan, Marlyn," ucap Sean yang diangguki Marlyn. Sean berjalan gontai keluar dari kamar Zee dan berdiri bersandar di depan pintu.
Bagaimanapun ia adalah pelaku dari pemerkosaan sekaligus yang menjadi pemicu trauma Zee. Akan sulit untuknya masuk ke dalam hatinya dan membujuknya kembali. Tetapi apapun yang terjadi, dirinya akan membuat Zee percaya padanya bahkan mencintainya. Sean mulai merasa tidak ingin jika dirinya dilihat sama seperti bajingan yang sudah melukai Zee pertama kali. Ia ingin Zee melihatnya sebagai pelindungnya. Apapun caranya, Sean akan berusaha membuat hal itu terjadi!
"Zee, Sayang. Ini Bibi..." panggil Marlyn dengan lembut. Ia mengambil kursi dan duduk dihadapan Zee. Mata Zee tak kunjung terbuka.
"Sean sudah pergi, Sayang," lanjut Marlyn yang perlahan membuat mata Zee terbuka dan menatap Marlyn yang tersenyum padanya.
Air mata Zee perlahan mulai turun membasahi pipinya, ia kemudian bangun dan memeluk Marlyn erat. Tangisannya pecah disertai isakan tangis yang begitu kencang memilukan. Sean yang mendengar dari luar menggenggam erat pegangan pintu hingga buku jarinya memutih. Tangisan yang tak mau ia dengar ketika ia melakukan hal bejat di hari itu kepada Zee. Kini bahkan Zee enggan untuk menangis di depannya. Jangankan menangis di hadapannya, menatap dirinya saja Zee mungkin sepertinya jijik.
Ini pertama kalinya Zee menumpahkan semua yang ia rasakan pada seseorang. Bahkan kedua sahabatnya, tidak pernah melihat dirinya di titik ini. Zee seolah menumpahkan seluruh beban yang dibawanya selama ini. Baik beban satu tahun lalu, ataupun kini.
Satu tahun lalu tak ada yang bisa membuat ia menumpahkan semuanya, Zee melampiaskannya dengan melukai dirinya sendiri. Namun kali ini seorang Bibi yang baru dikenalnya, dengan lapang dada menerima semua air mata Zee yang keluar dari beton bendungan yang selama ini ia tahan.
"Dia melukaiku Bi... dia... dia... menyentuhku dan tak mau mendengarkanku..." ucap Zee di tengah tangisannya yang penuh sesegukan. Marlyn membalas pelukan Zee tak kalah erat sembari mengelus punggungnya lembut.
Marlyn mengusap air matanya yang ikut menetes begitu saja mendengar tangisan memilukan Zee. Gadis ceria, rendah hati, dan cantik yang ia temui beberapa hari lalu, kini berubah menjadi gadis yang tengah menangis rapuh dipelukannya. Hatinya merasakan sakitnya meskipun Zee bukan putri kandungnya.
"Iya, Sayang... Ceritakan semuanya, tumpahkan semuanya pada Bibi," ucap Marlyn sembari mengusap punggung Zee yang masih bergetar.
Zee menangis dengan kencang seakan tak ada habisnya. Suara tangisannya terdengar sampai telinga Sean yang duduk diam di depan pintu kamar Zee, masih mendengar tangisan pilu itu. Entah kenapa membuat hatinya seakan tersayat pisau tak kasat mata. Hatinya mencelos begitu saja, bagai jatuh ketika mendengar suara tangisan Zee.
Berangsur-angsur, tangisan Zee mulai tak terdengar. Marlyn masih mengusap punggung Zee dengan sabar untuk menenangkan Zee yang masih bergetar sesegukan. Setelah puas menangis Zee melepas pelukannya dan mengusap sisa air matanya dari wajahnya.
"Maaf, Bi," ucap Zee serak. "Jangan sungkan, Sayang. Kau bisa menceritakan apapun padaku," ucap Marlyn mengusap rambut Zee sayang. Zee diam menundukkan kepalanya.
"Makanlah dulu agar kau bisa meminum obatmu," ucap Marlyn sembari mengambil nampan berisi semangkuk bubur sayuran, air putih, dan obat.
Dengan telaten Marlyn menyuapi Zee. Setelah lima sendok bubur masuk ke dalam perutnya, Zee menggelengkan kepalanya ketika suapan keenam di depan mulutnya. Marly menurunkan kembali sendok penuh bubur itu ke dalam mangkuknya, lantas memberikan air putih dan obatnya untuk Zee minum. Setelah selesai meminum obat, Zee kembali membaringkan tubuhnya.
"Istirahatlah kembali, jika kau membutuhkanku, aku ada di dapur. Panggil aku kapanpun kau butuh," pesan Marlyn sebelum akhirnya ia pergi. Marlyn keluar kamar Zee yang terhalangi tubuh Sean di depan pintu kamar.
"Bagaimana Zee, Marlyn?" tanya Sean seraya berdiri.
"Dia baru saja tidur setelah makan sedikit dan meminum obatnya," jawab Marlyn membuat napas Sean lega. Setidaknya makanan masuk kedalam perutnya daripada tidak sama sekali.
"Sean, apa kau benar benar mencintainya?" tanya Marlyn membuat Sean terdiam.
Mencintainya? tidak mungkin! Namun memorinya memutar kilas balik bagaimana gadis itu tersenyum dan tertawa ketika bersama dengan temannya seolah ia tak memiliki beban. Namun kini, gadis itu menjadi gadis mayat hidup yang sudah kehilangan raganya. Menangis, meraung, menjerit meminta ampun padanya yang gelap mata memperkosanya.
"Sebaiknya tinggalkan dia jika kau tak benar-benar mencintainya, aku rasa disini dia akan semakin menderita karenamu." Perkataan selanjutnya dari Marlyn, sungguh membuat Sean tertampar. Ia yakin jika perasaannya ini hanyalah sebuah rasa bersalah.
Sean masuk ke dalam kamar dengan hati hati. Berusaha untuk tak menimbulkan suara yang bisa membuat Zee terbangun. Ia duduk di kursi hadapan Zee menatap mata Zee yang tertutup dengan damai. Begitu cantik dalam kondisi apapun, kapanpun, dan dimanapun. Zee seperti putri tidur di mata Sean.
Cinta, kata itu terus berputar di kepalanya ketika memandangi Zee. Sean terkekeh pelan seorang diri sembari menutup matanya dengan tangannya. Beberapa detik kemudian ia kembali memandang Zee yang masih memejamkan matanya.
"Kita lihat apa aku bisa merasakannya?"
*
*
*
tbc
Follow ig Riby_Nabe
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Mutiara Wati
mmaf mu wis twlat mas
2021-09-24
1
Yunia Abdullah
mudah bnget blng MF..tpi mudah kah memaafkan y
2021-09-18
1
Lanang sejati
cari tau sean.apa yg terjadi sama Zee 1 tahun yg lalu
2021-09-06
1