"Wehu yang sedih,
Angsa kecil terbangun ....
Senyum satu tahun, akhirnya kembali
Melangkah di permadani duri
Cinta membuatnya pergi dan kembali Ratusan anak tangga, karpet perak
Sepasang tangan saling menyambut
Waktunya, angsa dan malapetaka ....”
Tatap mata Purwa menerawang ke atap-atap kamar selama membaca puisi itu tanpa terbata-bata. Kedengarannya sangat hafal dan ingat betul tiap bait puisi itu.
“Apa artinya itu, Purwa?” tanya Tamma ingin penjelasan tentang makna puisi itu.
“Hampir setiap malam aku memikirkannya, akhirnya aku menyimpulkan .…”
“Apa?” rasa penasaran Tamma yang tiba-tiba muncul, mendorongnya ke tempat Purwa.
“Sang Putri segera sembuh setelah seseorang menolongnya,” jawab Purwa. Mendengarnya, Tamma jadi diam untuk beberapa saat sambil memikirkan tafsir mimpi Purwa.
“Kamu mengada-ada,” ujar Tamma, tidak yakin omongan Purwa.
Purwa jadi cemberut, “Mereka juga meledek setiap kali aku menafsir mimpi dan puisi, lalu untuk apa kau ingin aku menceritakannya? Pergilah ke tempatmu, aku mau tidur!” buru-buru Purwa menarik selimut tebalnya.
“Sst, jangan berisik. Maaf, aku tidak bermaksud meremehkan, aku hanya tidak yakin apa kamu benar-benar bermimpi seperti itu. Apa benar mimpi itu berkaitan dengan Putri?”
“Jadi, kamu tidak percaya padaku?” Purwa menyingkap selimut.
“Bukan begitu, aku hanya merasa ... berkaitan dengan mimpi puisi itu,” kata Tamma.
"Bisa jadi kaulah pelaku dalam puisi itu,“ kata Purwa.
“Pelaku?” Tamma terbelalak.
“Ya, begitulah …,” Purwa garuk-garuk kepala, cemberutnya hilang.
“Inilah pertemuan angsa dan malapetaka … jika angsa adalah Putri Ratnaphati, apa mungkin anak malapetaka itu adalah aku?” Tamma penasaran.
“Aku tidak berkata begitu, tetapi … dalam mimpi itu, aku melihat seorang pemuda belia sepertimu. Mirip sekali! Bahkan aku pernah melihat langsung dengan mata kepala sendiri. Sekali seumur hidup,“ kata Purwa, mengenang kembali peristiwa yang nyaris terlupakan kapan terjadinya.
”Saat itu, karena terlambat setelah mandi, aku mengambil jalan memutar lewat taman belakang istana, melewati sungai air panas."
"Sosok itu menyeruak dari semak-semak. Lalu, tersembul ia dan berdiri menatapku.”
“Lalu?” Tamma tak sabar mendengar kelanjutannya.
“Siapa dia?” tanya Tamma lagi. Tetapi Purwa bungkam, tidak mau mengatakannya lebih lanjut.
“Katakan!” Tamma menggoyangkan genggaman tangan Purwa, praja bertubuh paling mungil di antara teman-teman tim kancil.
Purwa menggeleng. Enggan mengatakannya.
“Kenapa?” Tamma heran.
“Dia sudah mati. Aku tidak berani menyebut namanya, kematiannya sangat mengerikan,” jawab Purwa menarik selimut kembali.
"Mati?!" Tamma terbelalak. Siapa yang dimaksud, Tamma belum paham.
“Karena dia terjun ke telaga?” Tamma menebak.
Purwa menggeleng lagi, “Bukan. Dia dieksekusi mati.”
Tamma tertegun, matanya menyipit tegang, “Eksekusi mati?”
“Sudah cukup. Sekarang kembalilah ke tempatmu!” suara Purwa tertekan di tenggorokan.
“Kamu tahu namanya! Katakan padaku siapa dia?” Tamma menyingkap selimut Purwa.
“Tidak mau. Tidurlah!” tolak Purwa cepat-cepat menarik selimut, tubuhnya melingkar dan membelakangi Tamma.
Terlanjur penasaran, Tamma memaksa Purwa agar mengatakannya, “Ayo katakan, lalu aku akan membiarkanmu tidur … atau aku akan menggelitikmu sampai pagi.“
Purwa menggeliat-geliat geli ketika jari-jari Tamma merayap mulai dari telapak kaki hingga betis, “Baik … baik …, aku akan menulisnya saja."
Akhirnya ia menurut saja. Segera diraihnya sebilah lontar dan pena arang di meja dekat pembaringan.
“Kenapa kau begitu penasaran …,” celoteh Purwa sambil menuliskan sesuatu di lontar.
“Sekarang, jangan ganggu aku lagi," kata Purwa sambil menyodorkan lontar, lalu kembali meringkuk di kasur empuk dan menarik selimut rapat-rapat.
Tamma kembali ke tempatnya berbaring. Tinggal dia sendirian yang masih terjaga. Di bawah remang-remang cahaya kandil sebagai satu-satunya penerangan malam di ruangan, dilihatnya isi lontar dari Purwa.
Tamma tak berkedip, sesaat terkesiap saat membaca sebuah tulisan.
’Bocah Malapetaka.’
Tamma termenung setelah membacanya. Namun sebait puisi berkumandang dari arah luar. Membuyarkan pikirannya.
’Ksatria terbunuh, bulan mati
Raja tertawa, air mata darah
Waktunya Tikus Beryanyi!’
Disusul gong berkumandang.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Ribut BY
siapa ? Apakah putri Alingga?
2022-08-02
5
Ribut BY
Ohh.. jadi Taja di telan oleh ular untuk teleport ke dunia bawah🤩😄😄
2022-08-02
4
Ribut BY
Apakah ular besar yang terpanggil juga menatap mereka?
2022-08-02
4