”Di mana aku?”
Baiyan terbelalak, mendapati dirinya berada di ruangan asing di balik kerangkeng gelap dan pengap. Ia melihat segerombol anak-anak budak dalam kerangkeng yang sama. Tamma lebih dulu terjaga rupanya, bersama anak-anak itu
Sementara anak-anak budak keheranan melihat aksi Tamma dianggap ajaib. Tamma melihat salah satu dari mereka terlihat sangat menderita kesakitan karena luka lebar yang membusuk di kaki. Tamma mendekati anak itu dan mendesis satu kata ’Eist’ berkali-kali. Perlahan pula luka parah di kaki anak itu mulai mengering dan sembuh meskipun masih membekas agak hitam kulit.
”Ajaib!” seseorang dari mereka sampai tidak sadar berseru, diikuti terbelalak mata anak-anak lain sebagai rasa takjub.
”Manteranya sangat ampuh, lukaku seketika sembuh. Sama sekali tidak terasa lagi sakitnya!” sahut anak baru saja sembuh.
”Peri?" bisik-bisik suara anak-anak itu sambil mencuri pandang ke arah Tamma.
"Tampaknya, dia juga sama seperti kita ...,” seorang anak mengatakan itu.
”Itu hanya kiasan!” tanggap lainnya bergantian. Kemudian anak-anak kucel, dekil, dan semuanya berpakaian lusuh, terdiam saja selama mengamati Tamma, Baiyan dan Niratih satu persatu, mulai ujung kaki sampai rambut. Kemudian mereka membicarakan lebih banyak lagi.
”Sepengetahuanku, makhluk peri menyerupai batu ... tanah ... air ...,” satu dua anak menyahut tak karuan. Perhatian mereka tertuju pada Niratih yang bermuka tak lazim.
”Dia itu ..., apa?” desas desus mereka terdengar sampai ke telinga Niratih.
Tamma bergeser ke sisi anak-anak berkerumun di sudut ruangan, lalu menghadap mereka satu-persatu. Ia menyentuh kening seorang anak laki-laki berusia 10 tahun-an yang kebetulan bersimpuh paling depan. Meskipun semula agak takut, ia berangsur-angsur tenang.
Cukup lama sepasang mata Tamma menatap serius mata anak lelaki itu. Semakin Tammam dan kuat sampai-sampai anak lelaki itu merasakan isi kepalanya panas dan langsung tertunduk karena lemas.
”Pusing ...,” suaranya terdengar parau sambil memegangi dahi sendiri. Tarik nafasnya juga berat.
Sementara Tamma juga tak kalah lemas. Ia tertunduk cukup lama mengatur nafas. Anak-anak itu tidak tahu apa yang sedang dilakukan Tamma. Perlahan ia menghadapkan wajahnya ke depan.
”Kita ... berada ... di mana?" Tamma terbata-bata mengucapkan kalimat itu.
"Siapa ... manusia-manusia itu?" Tambah Tamma, disambut muka bingung semua anak-anak kucel di depannya. Berusaha mendengar kalimat Tamma yang kaku.
"Mengapa ... mereka sangat tidak ramah?” Tamma semakin banyak berkomunikasi dengan segerombolan anak-anak itu. Suaranya lirih, agak terpatah-patah dan cedal kedengarannya lantaran pertama kali ia berbicara dalam bahasa orang-orang di luar Gunggali.
Baiyan dan Niratih tidak jauh berada di belakang Tamma, ikut keheranan. Namun mereka mengerti apa yang telah dilakukan Tamma.
”Kamu mencuri pikirannya sehingga mengerti bahasa mereka,” bisik Niratih.
Tamma tersenyum kecil, ”Itu tidak melanggar aturan, 'kan?”
Seorang anak perempuan, salah satu dari segerombolan anak-anak itu menjawab setelah agak lama bungkam.
”Kalian berpikir, orang-orang jahat itu akan bersikap ramah terhadap kita? Ini kapal perompak dan kita sedang tertangkap,” katanya datar.
”Setelah membantai rombongan kami, mereka menangkap kami. Aku sempat mendengar bahwa mereka berniat untuk menjual kami ke suatu negeri,” seorang anak lain menimpali.
”Perompak?”
”Apa itu?” Tamma tak paham istilah yang dikatakan anak itu.
”Manusia menjual manusia?” sama sekali Tamma belum paham maksud jawaban anak-anak itu. Mereka berpandangan, balik merasa bingung karena tingkah Tamma dianggap terlalu polos.
”Kami sudah lebih dari 10 hari berada di kapal ini,” tambah seorang yang lain, paling dewasa di antara mereka.
”Setidaknya sudah lima anak meninggal dalam perjalanan karena sakit tanpa perawatan,” seorang lagi menimpali.
”Kita hanya pasrah, tidak mampu melawan. Jika melawan, kita akan dibunuh satu persatu,” lanjut anak itu menjelaskan.
Tatap mata Tamma jatuh pada yang terakhir bicara. Tampaknya ia seorang anak kecil paling muda. Logatnya pelat di sela-sela isak tangis dan air mata mengering berhari-hari. Tubuhnya sangat letih, sama seperti yang lain. Hampir setiap hari kelaparan kehausan.
”Perompak. Jenis manusia yang tidak baik!” gumam Tamma dalam pikirannya.
”Mendekatlah kalian semua padaku ...,” Tamma merentangkan lengan-lengannya ke arah anak-anak itu dan segera disambut. Mereka berjejal, merapat sedekat mungkin pada Tamma. Satu dua anak perempuan memilih di pelukan Niratih dan beberapa lainnya di merapat ke sisi Baiyan.
Pelan-pelan Tamma membisikkan mantera-mantera syahdu, mirip alunan pengantar tidur untuk menepis ketakutan dan kecemasan anak-anak itu meskipun dirinya sendiri diliputi ketakutan lebih besar lagi.
”Tenanglah, kalian akan merasa tentram jika mendekat padaku ...,” bisik Tamma, menepis kecemasan anak-anak. Ia lupa bahwa mantera yang diucapkannya akan menyebabkan lelah dan kantuk yang tak tertahankan. Satu-persatu anak-anak itu mulai tertidur.
Semuanya terlelap pulas tak terkecuali Baiyan dan Niratih. Hanya Tamma yang terjaga dalam remang-remang kerangkeng usang. Tamma memeluk anak-anak itu. Sesekali ia melirik ke atas lubang ventilasi udara yang berkarat karena termakan usia, tampak suasana luar kemerahan. Langit meredup. Selangkah pikirannya, khawatir akan hal tak terduga, diliputi letupan-letupan cemas dan takut.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
kesatria lembah manah
☕👍
2022-07-31
3
Hendra Permana
good marso good... lanjuuut
2022-06-01
2
ヒダヤンティ アルファ
💐💐💐💐💐💐
2022-05-10
2