"Kelas Naga adalah kelas tertinggi pada Akademi Kesatuan Praja Tanapura. Seorang murid membutuhkan ratusan nilai hitam atau 2500 poin untuk mencapai kelas naga. Jika mampu mempertahankan pada peringkat itu, maka kalian akan masuk ke tingkat Praja Bumi,” tambah Ki Gandhana.
Tamma dan Baiyan tercengang selama mendengarkan penjelasan Ki Gandhana.
”Jadi, berapa target kalian untuk satu bulan ke depan?” tanya Ki Gandhana. Menatap wajah dua muridnya bengong, ia menghembuskan nafas panjang.
”Ya ampun. Aku tidak ingin ada muridku di kelas kancil yang selalu diberi cap bodoh, karena kebanyakan mereka begitu. Dari 100 murid, tidak lebih dari 5 murid dari kelas Kancil yang lulus setiap tahun,” Ki Gandhana mondar-mandir di hadapan Tamma dan Baiyan.
”Apalagi mengingat kalian adalah murid pendatang dan tanpa latar belakang. Jujur, itu membuatku khawatir. Paduka pernah mengajukan pernyataan jika kalian tidak naik kelas sampai dua tahun ke depan, maka kalian akan dikeluarkan dari Tanapura,” bukan maksud suatu ancaman untuk Tamma dan Baiyan karena Ki Gandhana sekedar memberi pengarahan kepada Baiyan dan Tamma. Mereka saling bertatapan sebentar.
”Berapa poin tertinggi di kelas Kancil saat ini, Tuan?” pertanyaan Tamma agaknya membuat Ki Gandhana heran.
”Sungguh menantang! Aku bertanya berapa nilai yang mampu kalian tempuh dalam satu bulan ke depan, tetapi justru kamu menanyakan nilai si Noa, murid yang lulus di kelas Kancil,” Ki Gandhana menyebut nama murid terbaik di kelas Kancil.
”Noa?” Tamma mengulang nama itu. Sedangkan Baiyan menyenggol pelan sikut Tamma, khawatir kalau-kalau salah bicara.
”Ya, Noa. Dia telah mencapai 37 nilai hitam atau 205 poin dan sebentar lagi dia akan naik ke kelas Angsa Putih,” jawab Ki Gandhana sebelum Tamma bertanya lagi.
”Lalu ... siapa murid terbaik Tanapura, Tuan?” agak ragu Tamma menanyakan itu. Ekspresi polos Tamma, dibalas Ki Gandhana dengan tatapan Tamma.
”Jika ku sebutkan angka dari seorang Murid dari Kelas Naga, aku yakin bahwa kalian tidak sanggup mengejarnya dalam waktu dua tahun," berat nada suara Ki Gandhana.
"Rapali, murid Kelas Naga. Skor nilainya lebih dari 650 nilai hitam atau sekitar 4000-an poin. Dialah yang terbaik di dari Kelas Naga sekaligus yang terbaik di tingkat Praja Muda,” jawaban Ki Gandhana membuat dua murid itu lagi-lagi terbelalak.
”Praja terbaik pada tingkat selanjutnya, adalah Bintani, dari tingkat Praja Bumi. Skornya lebih dari 1200 nilai hitam atau 7500-an poin,” lanjut Ki Gandhana.
”Keren!” tanpa sadar Baiyan menyeletuk, ”Ups ...,” cepat-cepat menyumpal mulutnya.
”Lalu, bagaimana dengan kalian?” kali ini Ki Gandhana ganti bertanya. Tamma dan Baiyan hanya saling pandang lagi.
”Bagaimana caranya agar kami mendapatkan nilai sebanyak mungkin?” Tamma balik tanya.
”Ujian. Ikuti banyak kompetisi dan latihan tanding. Setiap ajang seperti itu diadakan, kalian harus ikut. Lebih dari itu, ada penghargaan khusus dari Paduka akan menjadi nilai spesial. Tetapi itu sangat langka, jarang terjadi. Orang-orang berjasa pilihan Paduka akan mendapat gelar Praja Emas, bahkan Putra Langit," jawab Ki Gandhana.
Tamma dan Baiyan dibuat terperangah.
”Adakah murid praja yang mendapat gelar itu?” Baiyan menyeletuk. Ki Gandhana tersenyum anyir.
”Belum ada dari tingkat murid praja, tetapi ada satu-dua orang yang dari kalangan kesatuan prajurit. Ketua Sujinsha, dia menolak gelar Putra Langit.”
”Menolak gelar setinggi itu?” gumam Baiyan hampir tidak terdengar dan sepasang matanya tidak berkedip selama membayangkan gelar-gelar itu. Melihat paparan kisah mereka dari Ki Gandhana saja, sudah hampir mustahil baginya untuk mendapatkan salah satu dari tiga gelar itu.
”Gelar tinggi dari jerih payah luar biasa. Gelar itu berlaku untuk umum, praja atau rakyat jelata sekalipun,” Ki Gandhana membuyarkan pikiran Baiyan. Ia terbengong, menyadari bahwa Ki Gandhana dan Tamma sedang memperhatikannya.
”Baiklah, kami akan berusaha sebaik-baiknya, Tuan,” sigap Tamma, membuyarkan hening mereka bertiga di ruangan.
”O, iya? Bagus, jika memang kalian bersemangat. Aku berharap nanti kalian bisa membuktikan yang terbaik. Jangan sampai ada yang beranggapan bahwa kalian hanya menumpang tidur dan makan di Tanapura,” sindir Ki Gandhana, seraya menunjukkan dua kitab lontar tertanda nama dua murid itu masing-masing.
”Ini akan dibagikan setiap pelajaran harian selesai dan kalian harus membawanya setiap hari. Kitab lontar ini milik kalian dan masih kosong, maka tidak diberikan pada kalian," sambung Ki Gandhana. Memberikan kitab itu masing-masing pada Tamma dan Baiyan.
”Baik, Tuan!” kata Tamma dan Baiyan bersamaan meskipun sebenarnya Baiyan kebingungan.
”Ada yang ingin kau tanyakan, Bay?” tanya Ki Gandhana melihat gelagat Baiyan.
”Tidak, Tuan.” jawab Baiyan meskipun raut muka tidak mengartikan demikian.
”Kalau begitu kalian boleh pergi,” perintah Ki Gandhana. Kemudian Tamma dan Baiyan keluar dari ruangan.
Sepanjang koridor menuju arena pacuan kuda, Baiyan membicarakan tentang penjelasan Ki Gandhana tentang skor dan gelar. Sejak keluar dari ruangan perakitan senjata, tampak semangatnya berapi-api.
”Bagaimana dengan sebutan Baiyan, Sang Putra Langit?” celotehnya dalam beberapa kali. Tamma geleng-geleng menanggapinya.
”Aku mulai nilaiku hari ini dengan pelajaran berpacu kuda!” semangat Baiyan menjulang tinggi ketika membuka pintu arena pacuan.
Dua murid itu terpana sesaat setelah melihat di balik pintu belakang arena, jalur masuk menuju lapangan pacuan.
”Wow! Ratusan murid praja di sini hanya untuk melihat ujian berkuda!” Baiyan terkejut, banyak murid praja memenuhi tribun arena pacuan kuda.
Tamma menoleh, ”Apa kau siap berkuda?”
”Kenapa tidak?” tanggap Baiyan tak takut. Terpikir olehnya tersirat dalam ulasan senyum kecil, ’inilah saat menunjukkan kemampuanku’. Lalu ia melirik pada Tamma.
Riuh murid-murid berjejal di sekitar garis mulai pacuan meramaikan suasana siang itu. Tamma dan Baiyan mendekat ke sana.
”Hai, Bay. Lama benar kamu! Pelatih sudah menyebut namamu sejak tadi!” kata Rambiloto, muncul di antara kerumunan praja.
”Aku?” Baiyan tidak yakin. Kaget rupanya.
”Ya! Kamu mendapat undian urutan ke-dua untuk berpacu kuda,” kata Rambiloto.
Belum sempat berpikir lebih lama, teriakan pelatih dari bangku tinggi terdengar lagi.
"Posisi kuda 7, Baiyan!” seru pelatih, mencari-cari murid si pemilik nama.
”Ayo, ke sanalah!” Tamma mendorong Baiyan.
Baiyan mendadak canggung, "Hah?! Sekarang?!" ia ragu melangkah ke jalur pacuan kuda. Tak percaya ia mendapat giliran secepat itu, "Duh, Gusti ...."
Semakin ramai sorak riuh murid-murid praja yang menonton di sekeliling tribun. 10 peserta beriringan menuju baris lintasan pacuan kuda. Di sana, 10 ekor kuda praja yang ditentukan, siap menunggu di ambang garis pacu.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Oded Manggala
Covernya udah ganti ya?? 👍👍
2022-03-04
4
Oded Manggala
Seruuu.. 👍👍
2022-03-04
4
Oded Manggala
🙏🙏🙏
2022-03-04
4