Jelang siang. Ruang kelas praktik perakitan senjata tampak tenang. 150 murid praja sedang berkonsentrasi merakit anak panah dari batang bambu dan lempengan besi.
Tamma dan Baiyan berada di posisi meja masing-masing. Di antara meja yang satu dengan yang lain terpisah oleh sekat dinding kayu sebatas dada, sehingga para murid praja bisa saling mengintip karya masing-masing. Kegiatan hari itu masih berlangsung lancar. Beberapa murid sedang mengasah ujung sambungan besi silinder, ada juga yang menajamkan mata panah, selebihnya masih dalam tahap menguliti pangkal bambu.
Tamma memperhatikan gerak-gerik Baiyan tampak kebingungan.
“Pangkal bambunya perlu kau kupas lagi, setelah itu cobalah untuk menyambungnya dengan batang besi …,” ia sedikit memberi petunjuk pada Baiyan. Tetapi justru semakin membuat Baiyan salah tingkah melihat panah Tamma sudah hampir jadi.
“Sabarlah, Bay. Jangan panik! Lakukan saja seperti yang kukatakan, asah lagi pangkalnya lalu sambungkan dengan silinder lalu gabungkan dengan mata panahnya, baru akan menjadi kesatuan panah yang utuh,” ulang Tamma lebih detail sambil menunjukkan panahnya hampir jadi.
“Baik,” Baiyan melakukan secara bertahap seperti yang dikatakan Tamma. Senyumnya mengembang ketika berhasil menyatukan bambu dengan selongsong itu.
“Bagus!” kata Tamma memberi pujian.
“Terima kasih,” ujar Baiyan dan melanjutkan tahap selanjutnya.
Tiba-tiba suasana yang tenang berubah gaduh, puluhan murid-murid berhamburan dari tempatnya masing-masing menuju tepian balkon kelas. Sesaat kemudian mereka saling meneriaki, “Pacuan kuda! Pacuan kuda!!”
Berikutnya, puluhan murid menyusul dan saling mendorong. Dalam waktu singkat saja, balkon kelas perakitan senjata di lantai 3 menjadi sarat murid.
“Purwa si Mungil di urutan terdepan!!!” teriak beberapa praja di antara kerumunan murid berjejal di sana.
Tamma dan Baiyan yang tersisa di kelas menjadi ingin tahu sedang terjadi apa yang bisa menarik perhatian para murid, “Ada apa di luar?”
Baiyan menggeleng, membuntuti di belakangnya. Dan dalam sekejap, murid seisi kelas berpindah ke tepi balkon.
Ternyata, persis di bawah balkon adalah jalur pacuan yang dilewati serombongan murid-murid tabib berkuda. Tamma dan Baiyan terkejut saat melihat salah satu di urutan terdepan adalah Purwa.
“Lebih cepat! Lebih cepat, Purwa!” teriak dua anak itu berbaur dengan sorak-sorak kerumunan murid berseru serupa. Bukan hanya di balkon kelas itu, tapi deretan balkon-balkon lain di sepanjang kiri kanan jalur pacuan. Bayangan puluhan kuda melesat semakin menjauh, tapi semua murid masih belum berhenti menonton pertunjukan gratis yang tiba-tiba lewat. Sampai-sampai mereka lupa akan tugas praktik hari itu.
Brak!!!
Pintu terbuka keras, seseorang guru datang dan berteriak,
“Kembali ke meja masing-masing!” menyadari Ki Gandhana tampak marah, murid-murid seisi kelas langsung menyerbu ke tempat semula masing-masing.
“Tidak disiplin! Memalukan!” bentaknya sambil memelototi semua murid.
Ki Gandhana, pengajar Tanapura di bidang mata pelajaran senjata sekaligus wali kelas Kancil adalah salah satu guru yang pendiam tapi berwatak cukup keras dan sangat mengutamakan kedisiplinan. Dulu, dia adalah seorang laksamana di perairan utara, tetapi semenjak tangan kanannya cacat, ia dialihkan sebagai pengajar. Keahliannya dalam merakit senjata paling mutakhir hingga menciptakan senjata-senjata rahasia membuatnya bertahan di Tanapura.
Suasana kelas kembali sunyi, tak terdengar seorang pun yang bicara. Untuk sesaat Ki Gandhana berlalu lalang, “Waktu habis, silakan tinggalkan ruangan ini dengan tertib dan tanpa gaduh!” katanya mengejutkan semua murid. Karena, sebagian dari mereka belum menyelesaikan tugas.
Karena sekali perintah tidak cukup dilaksankan, Ki Gandhana berteriak lebih keras sekali lagi, “Tinggalkan hasil pekerjaan kalian di meja masing-masing dan jangan lupa memberi nama! Sekarang!”
Berat hati dan terpaksa, selesai atau tidak, akhirnya murid-murid meninggalkan kelas tanpa gaduh.
“Kecuali kalian berdua!” perintah Ki Gandhana, sebelum Tamma dan Baiyan sempat beranjak dari meja masing-masing.
”Tunjukkan hasil karya kalian?” tanya Ki Gandhana sambil melihat ke di meja mereka masing-masing, ”Bawa kemari!” tambahnya.
Tamma dan Baiyan menyerahkan panah mereka masing-masing. Ki Gandhana tidak mempermasalahkan hasil karya mereka. Lebih dari itu, ada hal lain yang ingin disampaikannya pada dua murid ini.
”Jika dalam satu tahun nilai kalian berjumlah total minimal 40 nilai hitam atau 250 poin, maka kalian akan naik ke kelas Kancil Merah. Bertambah 40 nilai hitam lagi atau 500 poin akan dinaikan ke kelas Kancil Hitam. Kemudian tambahan 40 nilai hitam berikutnya akan dinaikkan ke kelas Angsa, kemudian kelas Elang, kelas Singa, sampai nilai tertinggi adalah kelas Naga, dan terdapat tiga tingkatan tim untuk tiap kelasnya, putih, merah dan hitam,” kata Ki Gandhana menjelaskan sebentar perihal sistem kenaikan di Akademi Tanapura.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
🦋⃟ℛ ᴬ∙ᴴᴀᷟ N⃟ʲᵃᵃ ᭙⃝ᵉˢᵗ
mantap 👍👍👍👍👍👍
2022-10-13
2
ヒダヤンティ アルファ
♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
2022-05-27
3
ヒダヤンティ アルファ
jangan mati dong.... 🙄🙄🙄🙄🙄🙄
2022-05-27
3