Hiro duduk menunggu dengan wajah cemberut. Terus menyalang tanpa takut ke arah dua bawahan rentenir yang tidak jauh dari dirinya. Dia sangat ingin memberi pelajaran kepada mereka sekali lagi. Namun terus ditahannya demi Akira.
Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya Akira selesai berbicara dengan Takeshi. Wajah perempuan itu terlihat semakin sembab. Membuat Hiro merasa curiga, kalau-kalau Takeshi sudah melakukan hal buruk kepada ibunya.
Akira dan Takeshi tampak berbicara kembali kepada polisi. Senyuman puas terukir jelas dalam ekspresi Takeshi, dan sangat berbeda dengan kesenduan yang ditunjukkan Akira.
"Hiro, ayo! kita bisa pulang sekarang!" ujar Akira sembari menghapus cairan bening yang terus menetes dari sudut matanya.
"Kau kenapa terus menangis? apa dia melakukan sesuatu hal buruk kepadamu?" tanya Hiro dengan tatapan yang menyelidik.
"Jangan pikirkan itu, yang paling penting masalahnya telah selesai sekarang." Akira menarik lengan Hiro, dan membawanya berjalan keluar dari kantor polisi. Hiro otomatis mengikuti langkah Akira, meskipun tatapannya terus memancarkan ancaman ke arah Takeshi. Bahkan saat dirinya sudah berada di ambang pintu.
"Cuh!" Takeshi mengejek Hiro dengan cara meludahkan salivanya. Dia melakukannya saat Hiro sudah tidak menoleh lagi ke arahnya. "Sudah tidak punya uang, banyak tingkah lagi. Tentu makin susah hidupnya!" hardik Takeshi, lalu tergelak kecil bersama dua bawahannya. Dia terus menatap remeh ke arah Hiro dan Akira yang telah berjalan semakin jauh. Dia dapat melihatnya, karena pintu kantor polisi hanya berupa kaca transparan.
Hiro dan Akira tiba di halte bus. Mereka duduk bersebelahan menunggu dengan sabar. Jujur saja, Hiro rela menyimpan banyak pertanyaannya karena merasa tidak tega dengan Akira. Ibunya tersebut tampak sangat rapuh dan dipenuhi kesedihan. Hiro ingin membiarkan Akira menenangkan diri dengan sendirinya.
"Hiro..." panggil Akira lirih. Hiro pun merespon dengan tatapan seriusnya.
"Berjanjilah, kau tidak akan ikut campur lagi dengan urusan Ibu. Belajarlah dengan serius di sekolah, agar kau tidak memiliki kehidupan yang buruk sepertiku..." tutur Akira pelan, masih bergumul dengan cairan bening di area matanya.
Hiro hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala. Setelah beberapa saat, bus yang ditunggu akhirnya tiba. Dia beserta ibunya bergegas naik ke dalam bus.
...***...
Hiro dan Akira baru saja keluar dari elevator. Keduanya sudah tiba di lantai tujuh, tempat rumah mereka berada. Namun Akira langsung mengerutkan dahi, karena Yuki tampak menunggunya di depan pintu.
Yuki adalah pemilik resmi bangunan yang sekarang ditinggali Akira dan Hiro. Dia dikenal dermawan, dan sangat baik oleh orang-orang. Terutama untuk semua penyewa yang kebetulan tinggal di bangunan miliknya. Anehnya saat itu Yuki menunjukkan mimik wajah merengut, seolah sedang marah kepada Akira. Apalagi ketika menyaksikan kehadiran Akira di depan matanya.
"Ada apa?" tanya Hiro penasaran. Akan tetapi Akira sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Perempuan itu malah berlari menghampiri Yuki, dan berusaha mengukir senyuman lebar.
"Ada apa Yuki-Chan?" tanya Akira pelan.
"Kau harus pergi dari sini!" ucap Yuki dengan nada penuh penekanan. Dia bicara sambil membuang muka dari Akira.
"Apa maksudmu? bukankah aku sudah membayar sewa bulan ini?" balas Akira tak percaya.
"Pokoknya kau harus pergi. Kedatangan para rentenir itu benar-benar mengganggu ketenangan di sini!" Yuki nampaknya bersikeras. Dia terus memaksa Akira dan Hiro untuk segera pergi dari rumah.
"Apa?!" Akira terperangah, dia lantas memegangi lengan Yuki. "Kau tenang saja, setelah kejadian tadi, aku pastikan para rentenir itu tidak akan pernah datang lagi ke sini!" Akira mencoba mengubah pemikiran Yuki. Namun Yuki malah melepaskan genggaman Akira dengan kasar.
Hiro hanya membisu sambil menyilangkan tangan di dada. Dia sepertinya benar-benar menuruti perintah Akira. Yaitu untuk tidak ikut campur lagi urusan orang dewasa.
'Aku ingin melihat bagaimana Akira mengatasi masalahnya. Apa dia akan menangis lagi?' pikir Hiro masih mematung diposisinya. Dia bahkan sempat memasukkan jari telunjuknya sendiri ke salah satu lubang hidung. Menggali serpihan kecil yang menurutnya pantas dibuang.
"Aku mohon Yuki, beri kesempatan lagi kepada kami. Aku tidak tahu harus pergi kemana!" Akira memohon dengan histeris. Tanpa diduga, dia duduk berlutut dan memegangi salah satu kaki Yuki. Akira sepertinya sudah tidak punya pilihan lain.
"Ugh! sudah kuduga. Perempuan lemah sepertinya pasti melakukan itu!" gumam Hiro, yang akhirnya turun tangan untuk membantu Akira. Hiro memaksa Akira untuk berdiri lagi.
"Hiro, apa yang kau--"
"Sudahlah, lebih baik kita pergi saja Bu. Aku tidak sudi tinggal di bangunan milik orang sepertinya!" Hiro menatap jijik ke arah Yuki, lalu bergegas masuk ke dalam rumah untuk memasukkan barang-barang penting ke dalam tas.
"Hiro! kita tidak punya uang lagi untuk menyewa tempat lain. Semua uang sudah aku gunakan untuk membayar sewa bulan ini," ujar Akira yang tengah mencoba mencegah tindakan putranya.
"Jual saja ini!" Hiro menyodorkan ponsel miliknya. Dia berhasil membuat mata Akira terbelalak.
"Kau yakin?" Akira bertanya untuk memastikan. Sebab dirinya tahu, Hiro sangat menyayangi ponsel miliknya.
"Yakin! aku sudah terbiasa hidup tanpa ponsel," jawab Hiro, yang tentu saja membicarakan perihal kehidupan sebelumnya.
Akira mengernyitkan kening. Dia tidak memahami maksud dari perkataan putranya. 'Apakah aku salah dengar?' benak Akira bertanya-tanya.
"Bisakah kalian cepat?! aku tidak punya waktu menunggu!" pekikan Yuki terus mendesak.
Akira menghela nafas panjang. Dia akhirnya mengikuti saran Hiro. Satu per satu barang pentingnya dimasukkan ke dalam tas. Selanjutnya dia dan Hiro bergegas pergi meninggalkan lingkungan rumah susun.
...***...
Ponsel Hiro terjual tidak begitu tinggi, sehingga membuat Akira berpikir kalau uangnya tidak akan cukup untuk menyewa hunian yang layak. Perempuan tersebut melangkah dengan berat keluar dari toko. Dia memandang Hiro yang terlihat terpaku menatap lampu neon.
Sebuah motor perlahan berhenti di depan toko. Tidak begitu jauh dengan posisi Akira berada. Pemilik motor itu merupakan jasa pengantar makanan. Terlihat jelas dari banyaknya kotak pizza menumpuk di atas jok motornya.
Lelaki pengantar makanan tersebut turun dari motor, matanya langsung membulat sempurna tatkala melihat keberadaan Hiro.
"Senpai!" tegur lelaki itu, yang tidak lain adalah Shima.
Panggilan Shima kepada Hiro, sontak membuat Akira heran. Karena sebutan senpai sangatlah aneh jika diberikan kepada putranya. Dari sepengetahuan Akira, Hiro hanyalah lelaki biasa, anaknya tersebut bahkan tidak mempunyai keahlian apapun.
"Shima-Kun!" Hiro membalas teguran Shima. Jujur saja, dia merasa sangat senang bisa bertemu dengan Shima secara kebetulan. Apalagi di waktu yang menurutnya sangatlah tepat.
"Senpai? Kun? kau Shima kan? bu-bukankah kau dan Hiro seumuran?" tanya Akira sambil menatap Hiro dan Shima secara bergantian. Dia memang mengenal Shima, karena lelaki itu satu-satunya orang yang bersedia menjadi teman putranya.
"Emm..." Shima mengusap tengkuknya tanpa alasan. Matanya meliar kemana-mana karena dia kebingungan harus menjawab apa.
"Lupakanlah Ibu, lebih baik kita minta bantuan Shima untuk mencari rumah!" Hiro berjalan mendekat, dan sengaja mengubah topik pembicaraan.
"Rumah? kenapa kalian..." Shima tidak kuasa meneruskan kalimatnya lagi, ketika matanya tidak sengaja menyaksikan tas besar yang sedang dibawa Hiro dan Akira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
xixi
tor kenapa kamu milih Hiro berpindah ke tubuh orang miskin si, kan kasian
2021-09-12
1
nGemilbatako_17
lah diusir.. apa apaan ini si pemilik gedung..
wah pengorbanan hiro, kalau hiro yang asli kayanya ngga rela kali hpnya dijual..haha
seumuran secara raga.. tapi jiwanya.. 😆
2021-08-21
6