Hiro telah kembali ke rumah dengan senyuman yang merekah diwajahnya. Tatapan Akira yang seolah mengancam seketika membuat senyuman itu langsung memudar.
"Mana Izumi?" timpal Akira. Dia tadi sebenarnya berniat menyusul Hiro dan Izumi, tetapi urung karena mengurus pakaian pelanggan yang harus dicuci.
"Dia sudah pulang," jawab Hiro seraya melingus pergi ke arah kamarnya.
"Tunggu, hidungmu kenapa?" tanya Akira yang mendadak sudah memegangi wajah Hiro, lalu memperhatikan keadaan hidung putranya.
"Aku tidak apa-apa." Hiro melepaskan tangan Akira dari wajahnya. "Pokoknya hidup kita akan baik-baik saja. Kau bisa tenang sekarang," tutur Hiro lembut. Kembali dengan senyuman simpul. Dia pun segera masuk ke kamarnya.
Akira hanya bisa mengernyitkan kening, karena tidak memahami maksud ucapan Hiro.
Gelap perlahan menyelimuti. Sore pun berubah menjadi malam. Hiro sekarang tengah duduk saling berhadapan dengan Akira. Di sebuah meja makan kecil yang memang hanya terdapat dua bangku. Suara lalu-lalang transportasi menemani suasana makan malam. Benar, dua ibu dan anak tersebut memilih untuk menghening.
Akira menatap sendu ke arah Hiro. Putranya itu terlihat sangat menikmati hidangannya. Memakan begitu lahap nasi dan sayuran dengan menggunakan sumpitnya. Sesekali ia akan mengambil beberapa pangsit untuk dimasukkan ke mulut. Indera pengecapnya bergumul dengan giat merasakan dan menghancurkan campuran makanan.
Akira sedikit mengerutkan dahi, karena setelah divonis amnesia, perilaku putranya itu berubah drastis. Dia merasa asing dengan Hiro yang sekarang. Namun apalah daya, sebagai seorang ibu yang baik, Akira akan menerima Hiro dalam keadaan bagaimana pun. Bahkan jika anaknya itu mengalami cacat sekali pun.
"Hiro..." Akira sepertinya mencoba memulai pembicaraan. Dia membuat Hiro langsung mendongakkan kepala dan membalas tatapannya.
"Hmm?" Hiro merespon sambil melebarkan kelopak matanya. Dia segera meletakkan sumpit dan lekas-lekas menelan makanan melalui tenggorokannya.
"Kau tadi tidak melakukan hal buruk lagi kepada Izumi kan?" tanya Akira.
"Aku tidak..." Hiro menghela nafas sejenak. "Sebenarnya aku sama sekali tidak pernah berbuat buruk kepadanya. Biar kuberitahu, Izumi itu sepenuhnya menipumu. Dia ingin membuatmu marah kepadaku. Sebagai seorang ibu harusnya kau lebih mempercayaiku dari pada gadis itu!"
"Hiro, Izumi menangis tersedu-sedu saat datang. Terdapat lebam dan juga luka disudut bibirnya, dia bilang kau-lah yang telah menyakitinya!" balas Akira, kembali mengukir kernyitan di keningnya.
"Jadi kau tidak percaya kepadaku?"
"Bukan begitu, dia adalah seorang perempuan. Ibu yang merasa sebagai perempuan tentu merasa tidak tega melihatnya." Akira memberikan penjelasan.
"Apa dia memberikan bukti kepadamu kalau akulah yang menyakitinya?"
Akira langsung membisu. Dia mencoba mengingat apa yang dilakukannya saat saling bicara bersama Izumi. Akira sangat ingat, kalau gadis tersebut hanya membicarakan perihal penderitaannya dan terus-terusan menyalahkan Hiro.
"Tidak ada kan?" timpal Hiro, mengamati raut wajah yang sedang ditunjukkan oleh sang ibu. "Kau harus mempercayai anakmu, dan kau juga harus tahu betapa buruknya sikap Izumi saat di sekolah." Hiro menggelengkan kepala pelan, karena mengingat sikap buruk Izumi ketika di sekolah.
Akira sudah mengangakan mulut, karena hendak bicara. Namun suara ketukan di pintu membuatnya harus menyimpan kalimatnya terlebih dahulu. Kemudian menggerakkan kaki menuju pintu.
Ceklek!
Akira membuka pintu, dan dia langsung disambut oleh penampakan dua sosok pria msiterius.
"Apakah benar ini rumah kediaman milik Akira Kenichi?" tanya salah satu lelaki dengan jaket kulit hitamnya. Terdapat sebuah pistol tersemat di ikat pinggangnya. Selanjutnya dia segera menunjukkan sebuah kartu yang menunjukkan identitasnya. Ternyata kedua lelaki itu adalah polisi.
"I-iya? itu saya sendiri..." jawab Akira enggan. Dia mulai diserang rasa cemas, meskipun masih tidak mengetahui alasan dibalik kedatangan polisi ke rumahnya.
"Kami mendapatkan laporan, kalau anda dan putra anda terlibat dalam penyerangan yang terjadi di rumah Tuan Takeshi!" ujar salah satu polisi menjelaskan.
Akira membelalakkan mata. Dia langsung menoleh ke arah Hiro, dan mulai merasa curiga.
Hiro baru saja berjalan menghampiri Akira. Dia menatap heran ke arah semua orang. Sebelah tangannya menggaruk tengkuk tanpa alasan.
"Kalian harus ikut ke kantor kami sekarang juga!" ucap salah satu polisi lagi, mendesak.
"Ada apa?" tanya Hiro tak mengerti.
"Hiro, apa yang sudah kau lakukan?!" tanya Akira dengan nada penuh penekanan.
"Apa maksudmu?" sahut Hiro terheran. Dia hanya berharap Akira dapat menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Kalian bisa membicarakannya di kantor polisi. Ayo!" kata polisi, sengaja menghentikan interaksi yang terjadi di antara Hiro dan Akira. Mereka semua akhirnya pergi ke kantor polisi.
...***...
Hiro dan Akira sudah berada di kantor polisi. Di sana Hiro kembali bertemu Takeshi. Terdapat juga dua bawahannya, yang siang tadi sempat mendapat pukulan dan tendangan dari Hiro.
"Hei! bukankah aku sudah memberikan kalian--"
"Hiro, hentikan!" Akira lekas-lekas menutup mulut putranya. Dia tidak ingin masalah yang menimpanya semakin panjang.
"Kenapa kau selalu berusaha mencegahku! padahal ini juga demi keselamatan--"
Plak!
Ucapan Hiro lagi-lagi terputus. Kali ini dia mendapatkan tamparan keras dari Akira. Sebelah pipinya sekarang terasa sakit dan sedikit memerah.
"Menurutlah! biarkanlah orang dewasa yang mengurus masalah ini. Kau lebih baik diam dan duduk saja!" omel Akira dengan keadaan mata yang sudah berembun. Dia terpaksa melakukan pukulan keras agar Hiro tidak ikut campur lagi dengan urusannya. Sebagai orang tua, tentu Akira tidak akan membuat putranya ikut terlibat dalam masalah yang besar.
"Dasar anak muda zaman sekarang!" Takeshi melakukan sarkas secara terang-terangan. Dia menatap remeh ke arah Hiro. Kemudian terkekeh dengan geli bersama dua bawahannya.
Hiro hanya bisa menyalangkan mata. Pantatnya perlahan duduk ke sebuah kursi panjang yang ada di dekatnya. Sebenarnya dia sangat ingin menyumpal mulut Takeshi dengan kepalan tinju, namun tidak dilakukannya demi perasaan sang ibu.
Akira dan Takeshi terlihat sedang di interogasi bersama. Mereka menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Terutama Takeshi, dia berbicara dengan lugas dan meyakinkan. Lelaki berkumis tipis tersebut berhasil memojokkan Akira, dengan cerita mengenai serangan Hiro dan juga masalah hutang yang belum dibayar. Akira sontak tertohok. Apalagi saat Takeshi menunjukkan surat kontrak yang sudah ditandatangani oleh Akira. Takeshi juga menuding, kalau Akira-lah yang menyuruh Hiro melakukan serangan ke rumahnya.
"Sepertinya kau terbukti bersalah. Jika Takeshi meneruskan tuntutannya, kau bisa dimasukkan ke penjara!" ujar polisi yang bertugas. Dia menatap Akira dengan serius.
Akira menundukkan kepala. Dia mencoba menahan air mata yang terus memaksa untuk keluar. Dia tidak tahu polisi yang ada dihadapannya sekarang, saling bertukar tatapan penuh arti kepada Takeshi. Benar, polisi bernama Mizou itu memiliki hubungan tertentu dengan Takeshi. Tidak heran dia selalu menyetujui setiap pernyataan Takeshi, dan berhasil membuat Akira kalah telak.
"Bolehkah aku dan Takeshi saling bicara terlebih dahulu?" tanya Akira, yang sepertinya sudah punya rencana untuk menyelesaikan masalahnya.
"Maksudmu secara empat mata?" Mizou memastikan.
Akira menjawab dengan anggukan kepala. Dia dan Takeshi segera pergi ke suatu tempat untuk berbicara serius. Seringai puas pun perlahan terukir diwajah Takeshi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
shinobi chan
mantab thor..semangattttt
2021-10-28
0
Whidie Arista 🦋
Tuh Polisi pasti dah di sogok sama si rentenir kampret😒
2021-08-17
5
Lubby®
biarkan thor hiro baku hantam di kantor polisi itu pasti epik momen, wkwk 😁
ok next up...
salam dari Group 😁
jangan lupa mampir sejenak ya..
2021-08-17
1