Setelah menghabiskan semua makanan, Hiro langsung mengeluarkan sendawanya. Pertanda keadaan perutnya sudah terasa kenyang. Ia sekarang mengedarkan penglihatannya ke sekeliling.
Hiro menanyakan banyak hal kepada Akira. Pertama dia menanyakan tahun sekarang dirinya berada. Kemudian lanjut bertanya mengenai benda-benda seperti televisi, pemanas ruangan, AC dan barang-barang yang kebetulan ada dalam ruangan.
Akira sebenarnya sangat bingung dengan amnesia yang diderita Hiro. Apakah memang seharusnya sampai begitu? bagaimana bisa dia tidak mengetahui kegunaan benda-benda yang ada di sekelilingnya. Akira merasa amnesia yang di alami putranya sangatlah parah. Bahkan Hiro terlihat seolah-olah baru pertama kali menyaksikan gedung-gedung tinggi yang nampak di jendela.
"Hiro, kau benar-benar melupakan semuanya? tetapi apakah kau ingat dengan kegunaan benda ini?" Akira mengeluarkan sebuah ponsel dari saku bajunya. Ponsel itu sendiri memang adalah milik Hiro, tepatnya sebelum lelaki tersebut mengalami luka di area kepala.
Dahi Hiro berkerut, dia langsung menggelengkan kepala. Jelas ia tidak mengetahui fungsi ponsel yang sedang dipegang oleh Akira.
"Padahal ini adalah benda favoritmu," ujar Akira mengangkat kedua keningnya bersemangat. Sebagai ibu, perempuan berusia empat puluh delapan tahun tersebut tentu sangat tahu mengenai kebiasaan Hiro. Yaitu bermain ponsel hingga lupa waktu. Bahkan tidak jarang Akira meledakkan amarahnya, karena Hiro terlalu berlebihan memakai ponselnya.
"Benda apa itu? apakah sama seperti benda yang dapat mengatur suhu ruangan?" Hiro menyamakan kegunaan ponsel dengan remot AC. Raut wajahnya nampak polos. Membuktikan bahwa dirinya benar-benar tidak tahu.
Akira sontak terkekeh. Sebelah tangan reflek memegangi mulutnya sendiri. Dia merasa menghadapi anak balita yang baru saja tumbuh. Selanjutnya Akira menyalakan ponselnya dan memperlihatkan sebuah video kepada Hiro.
"Apa ini televisi versi kecil?" tanya Hiro tertarik. Pupil matanya seketika membesar.
"Anggap saja begitu, dan kegunaannya lebih mudah dibanding televisi. Namanya ponsel, orang-orang sekarang kebanyakan menyebutnya smarthpohe. Artinya ponsel pintar," jelas Akira pelan sambil memberikan ponsel kepada Hiro.
"Benda ini memang terlihat pintar!" ucap Hiro yang terkagum dengan ponsel dalam genggaman tangannya.
"Itu milikmu!" kata Akira, hingga membuat mata Hiro kembali membola.
"Benarkah? kau memberikannya kepadaku?" tanya Hiro memastikan. Akira langsung menjawab dengan anggukan kepala. Seketika patrian senyum terukir diwajah Hiro.
"Terima kasih!" balas Hiro yang sedikit membungkukkan badannya.
"Itu memang ponsel milikmu dari awal," ungkap Akira seraya menepuk pundak Hiro dengan pelan. Setelahnya keduanya segera beristirahat.
Di kala larut malam. Hiro kebetulan terbangun dari tidurnya. Perlahan kepalanya di arahkan ke samping, tepat dimana posisi Akira berada. Perempuan berhati tulus itu tengah tertidur pulas di dekat tangan Hiro.
'Andai dia tahu kalau aku bukan Hiro yang sebenarnya, pasti dia akan sangat sedih, apakah Hiro yang asli telah mati?' gumam Hiro dalam hati, sambil menatap nanar ke wajah Akira yang tampak sedikit keriput. 'Ternyata begini rasanya memiliki seorang Ibu.' Hiro kembali membatin.
Hiroshi memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dikarenakan sejak kecil dirinya sudah berada di akademi ninja. Sekarang setelah menjadi Hiro Kenichi, dia merasakan sesuatu yang tak pernah diduga. Yaitu kasih sayang seorang ibu.
Hiro berpikir kehidupan di abad 21 terasa mudah dan praktis. Dia menyimpulkannya karena melihat benda-benda canggih yang membuat kehidupannya terasa nyaman. Hiro merasa benar-benar dimanjakan dengan barang-barang asing tersebut. Dia penasaran dan juga kadang merasa gugup. Takut kalau-kalau salah satu benda canggih itu menimbulkan bahaya. Sebab Hiro tahu sepenuhnya bahwa sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
...***...
Tiga hari berlalu, Hiro sudah di ijinkan pulang ke rumah oleh dokter. Mentari pagi menyapa dari balik jendela. Pendar cahayanya mulai mengalahkan lampu yang sedang menyala. Akira tampak sudah bangun dalam keadaan pakaian yang rapi.
Hiro yang baru bangun dari tidurnya langsung bertanya, "Mau kemana?"
Akira tersenyum. "Kata dokter kau sudah bisa pulang hari ini," sahutnya sembari memasukkan beberapa barang ke dalam tas.
Setelah berganti pakaian, Hiro sepenuhnya siap untuk pulang. Dia dan Akira kali ini menaiki bus, yang jelas-jelas tidak akan menghabiskan biaya terlalu banyak.
Hiro tentu saja dibuat semakin bingung. Terutama saat dirinya dan Akira sedang berjalan beriringan di terminal. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, karena heran dengan banyaknya orang-orang yang berlalu lalang. Ia bahkan sesekali tidak sengaja tertabrak beberapa orang yang mendadak muncul di hadapannya.
"Hiro, pegang tangan Ibu!" ujar Akira seraya memegang erat lengan putranya. Hiro pun otomatis mengikuti langkah Akira. Sekarang keduanya tengah berada di dalam bus. Duduk saling berdampingan bersama.
"Apa benda ini berbahaya?" bisik Hiro pelan ke telinga Akira.
"Tidak, jika kau tidak nekat keluar saat bus-nya berjalan," balas Akira pelan. Hiro lantas menganggukkan kepala pertanda mengerti.
Hiro dan Akira akan kembali pulang ke Kyoto. Keduanya sekarang berada di Tokyo karena hendak mengurus sesuatu hal penting. Namun kecelakaan yang mengakibatkan Hiro terluka, membuat Akira memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.
Hiro menghela nafasnya saat merasakan bus mulai berjalan. Baginya rasanya sama saja dengan menaiki mobil, namun hanya dalam ukuran yang lebih besar.
Setelah memakan waktu beberapa jam, Hiro dan Akira akhirnya tiba di rumah. Akira berjalan memimpin lebih dahulu, memasuki area bangunan yang disebut rumah susun. Nomor rumah Akira sendiri adalah 207, tepat berada di lantai tujuh.
Hiro melangkahkan kaki untuk pertama kalinya ke rumah. Dia menyaksikan keadaan tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya itu sangat memprihatinkan. Dari mulai kaca yang pecah, piring-piring dan pakaian kotor yang menumpuk, serta bau tidak sedap.
"Aku belum sempat membersihkan pakaian pelanggan-pelanggan kita. Padahal besok sudah harus dikembalikan!" ujar Akira yang mendadak menyibukkan diri mengambil tumpukan pakaian di atas sofa.
"Pelanggan?" tanya Hiro tak mengerti.
"Aku mencucikan pakaian untuk orang Hiro, dari sanalah aku bisa mendapatkan uang," terang Akira seraya mendengus kasar. "Kau lebih baik beristirahat saja di kamar." Akira membukakan pintu kamar Hiro.
Dug! Dug! Dug!
Terdengar suara gedoran di pintu depan. Dapat diketahui dari nada ketukannya, kalau orang yang bertamu tengah marah.
"Aku akan membukakan--"
"Tidak Hiro!" Akira lekas-lekas mencegah putranya. Dia segera meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, agar Hiro dapat menutup mulutnya rapat-rapat.
"BUKA PINTUNYA! jika tidak, kami tidak segan-segan mendobraknya!" ucap lelaki yang sedari tadi menggedor pintu.
"Siapa dia?!" tanya Hiro dengan keadaan mata yang membola.
"Dia sepertinya bawahan rentenir!" jawab Akira seraya menunjukkan mimik wajah paniknya. Karena merasa terdesak, dia akhirnya berderap menuju pintu dan membukanya. Akira langsung diperlakukan dengan kasar oleh dua tamu lelaki berbadan kekar itu. Mereka mendorong Akira hingga terjatuh ke lantai.
"Mau sampai kapan kau mau menunda pembayaran hah?!" timpal salah satu lelaki dengan tato naga di lehernya. Dia menjongkokkan badan sambil melayangkan tatapan mengancam kepada Akira.
"Dasar sialan!" pekik Hiro yang tidak terima sang ibu disakiti. Dia melayangkan satu tendangan tepat ke wajah lelaki yang telah mendorong Akira hingga terjatuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
kok enggak ada ingatan dr pemilik tubuh sih
2023-07-24
0
shinobi chan
keren thor.....semangatttt
2021-10-28
1
Dwi Putra
Cerita Yang Menarik💯
2021-09-12
3