Mata Hiro terbelalak. Dia langsung berusaha kembali merebut ponsel miliknya. Namun lelaki yang sekarang berada di hadapannya dengan sigap menjauhkan ponsel dari jangkauan Hiro. Badannya yang lebih jangkung, membuatnya dengan mudah mengangkat ponsel lebih tinggi.
"Apa kau mau terkena pukulanku lagi?" ancam Hiro dengan sorot tatapan tajamnya.
"Cih, jangan berlagak angkuh. Kau pikir aku takut? harusnya kau yang takut kepadaku!" balas sang lelaki yang memiliki nama Takeshi itu. Dia berbalik badan dengan santainya, dan beranjak pergi.
Hiro berseringai kesal. Dia tentu tidak akan membiarkan Takeshi pergi dengan mudah. Atau setidaknya ponselnya bisa direbut kembali. Dia sekarang melajukan pergerakan kakinya. Hingga sebuah tendangan dari kakinya menghantam punggung Takeshi.
Buk!
Takeshi langsung kehilangan keseimbangan. Dia tidak pernah menduga dengan serangan tersebut. Ponsel yang ada dalam genggaman lelaki itu terlepas begitu saja. Dia sekarang terjerembab dalam keadaan tengkurap. Ponsel Hiro terlihat terhempas ke tanah dan berada tidak jauh dari posisi jatuhnya Takeshi.
"Aku peringatkan, jangan pernah berani lagi mengganguku dan Akira, camkan itu!" ujar Hiro. Sebelah kakinya menginjak punggung Takeshi dengan kuat. Selanjutnya dia bergegas mengambil ponsel dan langsung melanjutkan perjalanan pulangnya.
"Dasar anak tidak tahu diri." Takeshi memaki dengan nada pelan sambil berusaha bangkit. Dia mengelap saliva yang sedikit keluar dari sudut bibirnya. Bukannya marah, lelaki itu tergelak kecil untuk sesaat. Penglihatannya tertuju pada punggung Hiro yang semakin menjauh. Salah satu tangannya merogoh saku celana. Dia mengambil ponsel miliknya sendiri, kemudian menyambungkan panggilan.
"Apa kalian sudah melakukannya?"
"Sudah, beberapa menit yang lalu. Sekarang wanita itu menangis tersedu-sedu," jawab suara lelaki dari seberang telepon.
"Bagus. Setidaknya anak itu mendapat sedikit pelajaran!" Sebuah seringai lantas terukir diwajah Takeshi.
...***...
Hiro melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Dia sebenarnya bisa lewat elevator yang tersedia. Akan tetapi dia merasa lebih nyaman jika melalui tangga. Karena menurutnya dia bisa sambil berolahraga dengan tenang. Tidak ada suara berisik dari manusia maupun alat-alat teknologi. Lagi pula badannya sekarang harus banyak dilatih agar memiliki kekuatan yang lebih.
Berjalan di tangga sampai ke lantai tujuh, membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak. Pelipis Hiro tampak sudah dipenuhi dengan keringat. Nafasnya pun mulai ngos-ngosan. Jujur saja rasa lelah sudah menguras sedikit tenaga ditubuhnya. Hingga lari Hiro akhirnya menjadi lambat. Sekarang dia berjalan dengan berat melangkahi tangga. Berpegangan pada pagar teralis yang ada.
"Huhh... tubuh anak ini benar-benar payah, padahal dia masih muda. Kalau begini, aku harus banyak-banyak berlatih lagi... sial!" keluh Hiro yang pada akhirnya duduk berselonjor di salah satu anak tangga. Mencoba mengatur deru nafasnya yang bergerak naik turun dalam tempo cepat.
"Harusnya malaikat maut berdiskusi dahulu denganku, sebelum melempar jiwaku ke tubuh lain. Mungkin saja, aku bisa memilih berpindah ke tubuh seorang kaisar atau jenderal perang. Kenapa harus anak ini?" Hiro menggerutu sendirian. Berharap ada salah satu malaikat yang mendengar keluhannya.
Tak! Tak! Tak!
Suara langkah kaki terdengar kian mendekat. Bunyi derap tersebut terdengar menggema. Menyebabkan kepala Hiro reflek menoleh ke arah sumber suara. Muncullah seorang wanita paruh baya berambut ikal. Dia terlihat memegangi sekantong pelastik hitam besar, yang isinya kemungkinan adalah sampah. Namanya adalah Chiyoko, salah satu tetangga Akira. Dia juga tinggal di lantai yang sama dengan Hiro.
"Hiro-Kun, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Chiyoko dengan ukiran dahi yang berkerut.
"Hah?" Hiro menampakkan ekspresi bingung. Sebab dirinya sama sekali tidak mengenal wanita yang sekarang berjalan semakin mendekat ke arahnya.
"Kamu seharusnya tidak di sini. Cepat bantu ibumu, dia sedang kesusahan sekarang!" ucap Chiyoko seraya menepuk pundak Hiro. Dia tidak sengaja menggunakan tenaga yang cukup kuat seperti wanita paruh baya pada umumnya. Sehingga Hiro pun lantas meringiskan wajah, dan reflek memegangi pundaknya yang sudah menjadi korban pukulan Chiyoko.
"Apa maksudmu? Apa sesuatu hal buruk menimpa Akira?" tanya Hiro dengan kedua alis yang terangkat. Dia penasaran sekaligus merasa cemas. Perlahan Hiro bangkit dan berdiri.
Plak!
Tanpa diduga, Hiro malah mendapat satu geplakan di kepala dari Chiyoko. Wanita tersebut terlihat menyalangkan mata dan mengomel, "Kau tidak sopan sekali memanggil ibumu dengan sebutan namanya!" Chiyoko tidak lupa beberapa kali mengarahkan jari telunjuknya ke arah Hiro.
"Cepat pulang! dan bantu ibumu membereskan rumah!" tambah Chiyoko yang sekarang melakukan pose berkacak pinggang.
"Kenapa kau terus memukulku tanpa alasan? dasar wanita tua. Sikap mereka tidak pernah berubah dari zaman dulu." balas Hiro sambil berjalan melingus melewati Chiyoko.
"Hehh! apa kau bilang tadi?!" pekik Chiyoko yang merasa tersinggung dengan perkataan Hiro.
"Sial." Hiro semakin melajukan langkahnya. Berniat tidak ingin memperpanjang urusan dengan wanita paruh baya layaknya Chiyoko.
Tidak terasa, Hiro sekarang sudah tiba di lantai tujuh. Dari kejauhan, dia dapat menyaksikan bagian depan rumahnya berhamburan. Barang-barang perabotan rumah tampak hancur dan berantakan. Akira terlihat membersihkan semuanya sambil terus mengusap pipi yang dilinangi air mata.
"Aki-- " Hiro lekas-lekas mengunci mulutnya. Karena lagi-lagi dia memanggil Akira dengan sebutan nama. Dia akan berusaha terbiasa untuk lebih sering menyebut panggilan Akira sebagai ibu.
"Apa yang terjadi?" tanya Hiro seraya mengamati barang-barang yang berhamburan di depannya. Dia sudah menghampiri Akira dengan keadaan mata yang membulat.
"Para rentenir itu datang lagi, dan mereka merampas semua barang-barang berharga kita. Maafkan Ibu Hiro..." jelas Akira lirih. Sesekali dia mengelap cairan bening yang terus menetes di sudut matanya. Dengusan hidungnya pun terdengar jelas. Di bagian dahi dan lengannya terdapat lebam berwarna ungu kehitaman. Akira terlihat rapuh, apalagi dengan keadaan badannya yang kurus sekarang.
Hiro mendengus kesal. Kedua tangannya mengepalkan tinju. Dia berpikir, seharusnya dirinya membuat rentenir itu babak belur. Sejak dahulu, tepatnya di kehidupan sebelumnya. Hiro tidak pernah suka dengan perlakuan penagih hutang. Kelakuan mereka sama saja sampai sekarang. Sama-sama menuntut tagihan dengan paksa dan kekerasan.
Tanpa pikir panjang, Hiro berbalik badan dan pergi lagi. Terdapat raut cemberut dalam semburat wajahnya. Dia membulatkan tekad untuk memberi pelajaran kepada para rentenir yang sudah berani menyakiti Akira.
"Hiro! kau mau kemana lagi?!" Akira memanggil dengan suara yang sedikit parau. Dia segera mengejar putranya yang sudah memasuki elevator.
"HIRO!" pekik Akira lagi. Dia berhenti di depan elevator. Posisinya saling berhadapan dengan Hiro.
"Orang-orang itu harus diberi pelajaran!" ucap Hiro dengan binar mata berapi-api. Pertanda kalau kesabarannya sudah habis.
"Tidak Hiro, itu malah akan membuat masalah semakin panjang. Kau tidak mengerti, dengarkanlah aku sebentar--"
"Aku tidak akan membiarkan kau terus menderita begini!" sahut Hiro, tidak sengaja memotong ucapan Akira. Dia memaksa Akira keluar dari elevator.
"Hiro! ibu mohon jangan--" suara Akira sudah tidak terdengar lagi ketika pintu elevator telah tertutup rapat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
shinobi chan
ok..ok..ok
2021-10-28
1
asya
tpi yokk yg ngutang ama bapak gw kaga pernah dibalikin giliran bapak gw yg butuh alesan muku inilah itulah padahal kaga ada bunga atau ape cih anjing
2021-09-17
0
asya
gasuka cara rentenir
2021-09-17
0